Oleh Moh. Aslim Akmal
Pada pertengan akhir abad ke-19 TU kota Mekah menjadi pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan dunia. Selain sebagai tujuan melaksanakan ibadah haji, pada masa itu Mekah juga menjadi pusat tujuan belajar ilmu agama pemuda Islam sehingga lahirlah banyak ulama dunia, tak terkecuali dari Nusantara. Situasi tersebut terjadi berkat dukungan transportasi dunia yang sudah mulai lancar.
Mereka yang belajar Islam di Mekah bermula dari niat menunaikan haji dan mukim di sana. Sepertinya kedua hal itu sudah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan. Mekah tidak lagi sebagai pusat spiritual, tapi mulai dimaknai sebagai pusat pembelajaran ilmu-ilmu keislaman. Di akhir pertengahan abad 19 inilah komunitas Jawi mulai menemukan bentuknya, dengan adanya puluhan halaqah yang tersebar di penjuru Mekah, khususnya di masjid al-Haram.
Syaikh Hamid Manan Kudus (1863-1915) atau yang sering disebut dengan Syaikh Abdul Hamid Kudus termasuk salah satu ulama Jawa yang sudah mukim dan mengajar di Mekah dan memiliki tempat tinggal sendiri pada masa itu. Ia mukim di sebuah kampung bernama Shi’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kampung tempatnya bermukim disebut juga dengan kampung kudusan. Sebutan nama kudusan diduga karena sering digunakan sebagai tempat transit calon haji asal Kudus.
Selain sebagai pengajar, Syaikh Hamid Manan Kudus adalah juga sebagai koordinator para “syaikh” di bawah nauangannya. Syaikh adalah istilah atau sebutan bagi pembimbing manasik haji bagi calon jama’ah haji yang berasal dari Jawa. Sekarang ini istilah tersebut sering dinamai dengan muthawwif. Ada sebuah dokumentasi (manuskrip) berbentuk surat berbahasa Arab yang dikirimkan oleh Syaikh Hamid Manan Kudus dan diduga ditujukan kepada masyayaikh Sidogiri bernama KH. Nawawi Sepuh. Surat tersebut sampai sekarang masih tersimpan di perpustakaan peninggalan KH. Sholeh Lateng, Banyuwangi. Dalam surat tersebut salah satu isinya berbunyi:
وأخبرنا عن حجاج هذه السنة، عسى كثير مثل العادة.
“Beritahu aku tentang calon haji tahun ini. Semoga banyak seperti biasanya.”
Syaikh Hamid Manan Kudus seringkali mengajak orang-orang Jawa yang sedang menunaikan ibadah haji untuk bermukim di kediamannya di Mekah. Tetapi tidak banyak informasi yang bisa diperoleh tentang siapa saja muslim Jawa yang pernah mukim di kediamannya. Ada dua nama yang sudah terdokumentasi sebagai mukimin Mekah di kediamannya, yaitu R. Asnawi Bendan Kudus dan Manshur bin Abdurrahman Kalipucang, Jepara.
R. Asnawi Bendan Kudus (1861-1959)
Pada saat R. Asnawi Bendan menunaikan ibadah haji yang kedua kalinya pada tahun 1891 ia berjumpa dengan Syaikh Hamid Manan Kudus. Syaikh Hamid Manan Kudus mengajak R. Asnawi Bendan agar berniat mukim di Mekah. Syaikh Hamid Manan Kudus lah yang akan menyediakan tempat tinggal dan memberinya kebutuhan sehari-hari selama bermukim di Mekah. Ajakan tersebut diterima dan mulai saat itu R. Asnawi Bendan mukim di Mekah. Namun setelah R. Asnawi Bendan menikah dengan Nyai Hamdanah, ia tidak lagi berada di kediaman Syaikh Hamid Manan Kudus karena sudah mendiami rumahnya sendiri di Jabl Qubais. Pada waktu mukim di kediaman Syaikh Hamid Manan R. Asnawi Bendan Kudus, ia bertemu dengan Manshur bin Abdurrahman yang sama-sama berasal dari Jawa, yaitu Kalipucang, Jepara.
Manshur bin Abdurrahman Kalipucang, Jepara (1873-1928)
Manshur bin Abdurrahman berasal dari Kalipucang, Jepara. Tidak diketahui secara pasti kapan tepatnya ia mulai mukim di kediaman Syaikh Hamid Manan Kudus dan siapa yang lebih dahulu mukim di sana, R. Asnawi Bendan ataukah Manshur bin Abdurrahman. Di duga keduanya berada di kediaman Syaikh Hamid Manan Kudus pada tahun yang sama (1891), pada saat keduanya menunaikan ibadah haji. Mereka berdua sama-sama mukim di kediaman Syaikh Hamid Manan dan sama-sama menuntut ilmu agama kepada beberapa ulama besar di sana, seperti KH. Saleh Darat as-Samarani dan Sayyid Umar Syata’. Mereka juga sama-sama membuka halaqah mengajar di majid al-Haram.
Sama halnya dengan R. Asnawi Bendan, pada saat menjelang datangnya musim haji tiba Manshur bin Abdurrahman Kalipucang juga berperan sebagai syaikh. Dalam hal sebagai syaikh, baik R. Asnawi Bendan maupun Manshur bin Abadurrahman keduanya di bawah koordinasi Syaikh Hamid Manan Kudus yang sudah memiliki jaringan agen-agen pemberangkatan haji di beberapa wilayah tanah Jawa.
Pada saat mukim di Mekah, Baik R. Asnawi Bendan dan Manshur bin Abdurrahman Kalipucang keduanya sama-sama produktif dalam menulis kitab. Dalam hal menulis kitab, keduanya memiliki visi yang sama, yaitu menulis dengan menggunakan bahasa Arab jawen atau pegon. Hal itu dimaksudkan agar bisa dibaca dan mudah dipahami bagi orang-orang Jawa yang belum menguasai bahasa Arab secara sempurna.
Pada tahun 1916 di kota Mekah terjadi pemberontakan yang cukup besar, situasi dan kondisi Mekah pada saat itu dianggap tidak aman bagi R. Asnawi Bendan dan Manshur bin Abdurrahman sehingga keduanya sepakat bersama-sama pulang ke tanah air, Jawa. Pada saat pulang tersebut R. Asnawi Bendan tidak sempat membawa kitab-kitab karyanya, sementara Manshur bin Abdurrahman berhasil membawa banyak kitab hasil tulisannya. Namun sangat disayangkan, kitab-kitab karyanya yang berhasil dibawa pulang banyak yang tak terawat dan terselamatkan lagi. Ada beberapa kitab yang berhasil diselamatkan dan disimpan baik oleh salah satu cucunya. Salah satu kitab tersebut berupa terjemahan (pegon) Risalah Nahjah as-Salikin karangan as-Syaikh Sulaiman Zuhdi. Kitab tersebut berisi tuntunan (kaifiyah) dalam praktik thariqah Naqshabandiyah Khalidiyah.
Ketika R. Asnawi Bendan dan Manshur bin Abdurrahman sama-sama tiba di Jawa, keduanya masih menjalin persahabatan dan persaudaraan. Bahkan keduanya sama-sama aktif di masa-masa awal pendirian NU. Jalinan persahabatan dan persaudaraan keduanya semakin akrab ketika R. Asnawi menjadi pengasuh majlis ta’lim di Majid Kriyan, Jepara. Bahkan R. Asnawi sempat menikah dengan seorang gadis kriyan yang bernama Zubaedah. Namun pernikahan tersebut tidak berumur panjang.
Wallahua’lam bish-showaf