Falakkudus

Mengurai Perbedaan Dalam Kebersamaan Berpuasa Dan Berhari Raya

4 Mins read

Oleh: Muhammad Syaifuddin, S.H.I
Guru MTs NU TBS Kudus

Marhaban Ya Ramadlan adalah ungkapan syahdu yang sering diucapkan umat Islam dalam menyambut bulan suci Ramadlan. Tak terasa, sebentar lagi kita akan bersama-sama memanen pahala di bulan yang mulia itu. Rasa bahagia menyeruak ke relung jiwa bagaikan menanti seorang kekasih yang tercinta. Pertanyaannya, kapan bulan yang dinanti-nanti itu hadir menyapa kita?, maka di sinilah peran penting displin ilmu falak untuk menjawab.

Secara historis, ilmu falak dahulu memang dianggap sebelah mata oleh sebagian orang karena dibutuhkan ketekunan serta ketelitian dalam menghitung dan memasukkan data. Bahkan dari seringnya kegiatan menghitung ini llmu falak lebih dikenal dengan sebutan Ilmu Hisāb. Perhitungan yang menjadi kompetensi disiplin ilmu ini antara lain; perhitungan arah kiblat, menentukan kapan terjadinya gerhana baik Matahari maupun Bulan dan yang terakhir adalah menghitung waktu shalat dan awal bulan qamariyah. Dari sinilah ilmu falak juga dikenal dengan istilahIlmu Mawāqit.Kaitannya dengan awal bulan qamariyah inilah kemudian ilmu falak menjadi issu nasional karena menyajikan informasi sekaligus dasar perbedaan umat Islam dalam mengawali puasa dan hari raya.

Mengurai Benang Kusut Seputar Awal Puasa dan Hari Raya

Banyak kalangan bertanya-tanya, mengapa umat Islam seringkali berbeda dalam mengawali puasa dan ber-hari raya?. Bukankah umat Islam itu umat yang solid, mengapa sampai sekarang umat Islam belum mempunyai kalender mapan layaknya umat lain yang sudah mempunyai kalender Masehi?, yang lebih terjamin kepastiannya ketimbang kalender Hijriah. Seperti halnya ketika umat Kristen menjalankan hari raya Natal-nya pada hari yang samamaka di sisi lain umat Islam masih sering berbeda dalam menjalankan hari raya Idul Fitri-nya. Ini terkadang menjadi persoalan serius bagi umat Islam.

Persoalan ini seakan-akan tak pernah putus dari peredaran, seperti halnya orbit Bumi mengelilingi Matahari yang terjadi terus menerus sepanjang waktu. Hal ini terjadi karena ketidaksepahaman umat Islam dalam menginterpretasikan teks-teks normatif baik dari al-Qur’an maupun as-Sunnah terkait perintah berpuasa dan ber-hari raya yang kemudian berkembang menjadi persoalan hisab dan rukyat. Sebagian kelompok menganggap bahwa mengawali dan mengakhiri puasa harus dengan rukyat (observasi), sedangkan di kelompok lain beranggapan cukup dengan hisab (kalkulasi). Meski antara keduanya masing-masing punya kelemahan, yaitu rukyat tidak dapat dilaksanakan tanpa melalui proses hisab sedangkan hisab selamanya tak akan menjadi realitas tanpa adanya rukyat. Maka hemat penulis, keduanya harus saling melengkapi dengan meyakini bahwa kebenaran hisab adalah kebenaran hipotesis verifikatif. Tentunya untuk memverifikasi kebenaran hisab tidak ada cara lain kecuali dengan rukyat.

Baca Juga  DHANDANGAN DAN GUSJIGANG DI TENGAH PENDEMI

Rukyat sendiri adalah kegiatan melihat Hilal (Bulan sabit muda) sesaat setelah Matahari terbenam pada tiap tanggal 29 bulan Hijriah. Adapun hisab sering diartikan dengan proses perhitungan berbasis data-data astronomis, yang di dalam hisab sendiri terdapat pengklasifikasian berdasarkan tingkat akurasi perhitungan dari terendah (low accuracy)sampai yang tertinggi (high accuracy). Maka untuk menjembatani dua madzhab ini yaitu madzhab hisab dan madzhab rukyat, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI menggunakan kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS (tinggi Hilal minimal 20, umur Hilal 8 jam, sudut elongasi minimal 30) yang secara sekilas mampu mengakomordir dua madzhab ini. Artinya, keadaan Hilal yang sesuai dengan syarat-syarat tersebut memungkinkan untuk dapat dirukyat, sehingga ketika terdapat seseorang yang bersaksi meihat Hilal yang secara hisab sudah memenuhi kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS maka kesaksiannya akan diterima. Sebaliknya, jika terdapat seseorang yang bersaksi melihat Hilal yang secara hisab belum memenuhi kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS maka kesaksiannya pun akan ditolak.

Anggapan bahwa dengan kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS ini dapat menjembatani kedua madzhab di atas secara teoritis iya, tetapi secara implementatif ternyata tidak. Buktinya, Muhammadiyyah masih konsisten dengan hisabnya dengan menggunakan kriteria wujūdul hilāl, sedangkan NU tetap dengan rukyatnya sebagai penentu awal bulan. Adapun ormas-ormas yang lain seperti Al-Irsyad, Al-Washliyyah masih tetap menggunakan kriteriannya masing-masing, seperti Persis yang masih cenderung menggunakan kriteria Lapan, meski tidak jarang sesekali mereka tunduk terhadap hasil keputusan pemerintah.

Kapan 1 Ramadlan dan 1 Syawal 1439 H ?

Banyak kalangan dengan kelakarnya menganggap bahwa puasa diawali tanggal 1 Ramadlan dan hari raya Idul fitri jatuh pada tanggal 1 Syawal. Kalau seperti itu pertanyaannya, kapan 1 Ramadlan dan kapan 1 Syawal jatuh pada penanggalan Masehi, tepat pada tanggal berapa dan jatuh pada bulan apa?, tentu bagi orang awam cukup sulit untuk menjawab. Maka dibutuhkan kecakapan dalam disiplin ilmu falak untuk menjawab persoalan tersebut.

Baca Juga  Alhamdulillah. MA NU TBS Raih Dua Penghargaan Tingkat Nasional

Sekilas dengan melihat petavisibilitas hilal berdasarkan hisab global Mohammad Odeh, seluruh wilayah Indonesia tampaknya masih diarsir dengan warna merah. Artinya, pada tanggal 15 Mei 2018 M atau 29 Sya’ban 1439 H kondisi hilal sangat tidak mungkin untuk terlihat (impossible) di seluruh wilayah Indonesia.

Berdasarkan kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS, dapat dipastikan pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama RI akan menetapkan tanggal 1 Ramadlan 1439 H jatuh pada hari Kamis Pahing, 17 Mei 2018 M dengan pertimbangan istikmāl (menggenapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari). Karena ketinggian Hilal berdasarkan hisab kontemporer atau haqīqī bi at-tahqīq kebanyakan masih menunjukkan nilai negatif atau di bawah ufuk, maka baik ormas Persis, Al-Irsyad, Al- Washliyyah bahkan NU akan sepakat memulai puasa Ramadlan secara bersama-sama dan “mungkin” juga bagi Muhammadiyyah.

Lantas bagaimana dengan 1 Syawal 1439 H?. Mari kita lihat sekali lagi peta visibilitas hilal Mohammad Odeh untuk kasus 1 Syawal 1439 H. Ternyata berdasarkan gambar di bawah ini, hampir seluruh wilayah Indonesia diarsir dengan warna biru. Artinya, pada tanggal 14 Juni 2018 M atau 29 Ramadlan 1439 H kondisi hilal sangat memungkinkan untuk terlihat, meski dengan alat bantu seperti teleskop atau yang lain (need optical aid).

Adapun secara hitungan di atas kertas yaitu berdasarkan hisab kontemporer atau haqīqī bi at-tahqīq, kondisi hilal pada akhir bulan Ramadlan yaitu ketinggian Hilal sesaat setelah Matahari terbenam dari Sabang sampai Merauke ternyata sudah di atas ufuk sekitar lebih dari 6 derajat yang artinya sudah memenuhi kriteria Imkān ar-rukyah MABIMS dengan umur Hilal lebih dari 8 jam terhitung dari saat konjungsi atau ijtimā’ dan sudut elongasi lebih dari 3 derajat. Maka dipastikan Kemenag RI akan menetapkan 1 Syawal 1439 H jatuh pada hari Jumu’ah Legi, 15 Juni 2018 M. Kemungkinan besar hal ini akan diikuti oleh sebagian ormas Islam di Indonesia, dari Muhammadiyyah, Persis, al-Irsyad, al-Washliyyah tetapi “belum tentu” bagi NU. Meskipun kondisi Hilal sangat mungkin terlihat, tetapi jika di seluruh Indonesia tidak ada satu pun orang yang bersaksi melihat Hilal maka dijamin NU akan memutuskan untuk istikmāl. Meski sampai saat ini kondisi seperti itu jarang atau bahkan tidak pernah terjadi, sebab dengan ketinggian 2 derajat pun NU pernah melaporkan melihat Hilal apalagi ini dengan ketinggian lebih dari 6 derajat.

Baca Juga  Konfercab IPNU Kudus: Merancang Strategi dari Hasil FGD

Singkat kata, untuk tahun ini kemungkinan besar ormas-ormas Islam di Indonesia akan memulai puasa maupun ber-hari raya secara bersama-sama. Meski dalam ilmu falak, “selalu ada potensi untuk berbeda” tetapi dalam semangat yang sama yakni terwujudnya unifikasi kalender hijriah nasional untuk kemashlahatan umat Islam, tentu saja kebersamaan akan selalu diupayakan. Wallahu a’lam.

Komentar
Related posts
ke-TBSanKhazanahKisahkudusmadrasahmasyayikhpesantrenprofiltbskudus

Wahai Guru Terbaik, KH. Taufiqurrahman Ma'mun

4 Mins read
Dibaca: 542 KH. Taufiqurrahman adalah putra dari pasangan KH. Ma’mun Ahmad dan Nyai Hj. Asnah. Beliau merupakan putra ke-tiga dari 5 bersaudara….
Kisahkudus

Makam Sedio Luhur Krapyak Kudus

2 Mins read
Dibaca: 511 Oleh Moh. Aslim Akmal Pada tahun 1970-an, saya dan kawan-kawan suka sekali mencari buah kersen di makam Krapyak yang bernama…
Kisahkudussejarah

Seputaran Jaringan Ulama Syaikh Hamid Manan Kudus di Mekah

3 Mins read
Dibaca: 354 Oleh Moh. Aslim Akmal Pada pertengan akhir abad ke-19 TU kota Mekah menjadi pusat peradaban Islam dan ilmu pengetahuan dunia….

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.