Dahulu, saat sakit Umar bin Khattab semakin parah akibat ditikam oleh Abu Lu’luah, Umar membentuk sebuah tim legislatif dalam menentukan suksesi kepemimpinan selanjutya. Para sahabat memberi saran kepada Umar untuk menunjuk pengganti sebagaimana dilakukan oleh Abu Bakar, namun Umar enggan menerima saran tersebut. Sebagai jalan keluarnya, Umar menunjuk enam sahabat sebagai dewan dalam memilih Khalifah selanjutnya, mereka adalah Ustman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin Auf. Enam sahabat inilah yang merupakan cikal bakal model kepemimpinan yang disebut Ahl al-Halli wa al-‘Aqdi (AHWA).
Nahdlatul Ulama (NU) yang merupakan organisasi berbasis keIslaman terbesar di Indonesia, memiliki beragam formatur kepengurusan yang tersebar mulai dari pusat hingga cabang. Sebagai bagian demokrasi, NU menyadari bahwa dibutuhkan kontestasi yang humanis dan beradab dalam sebuah peralihan kepemimpinan, hal ini tercermin dalam Muktamar NU ke-34 yang digelar di Lampung Tengah, pada tanggal 22-24 Desember 2021. Dalam rundown Muktamar NU ke-34 yang dirilis panitia,tertulis bahwa pemilihan Rais Aam PBNU dipilih melalui sistem Ahlul Halli Wal Aqdi (AHWA) sedangkan Pemilihan Ketua Umum PBNU tetap dilakukan secara langsung (one man-one vote). Hal ini sebagai konsekuensi atas keputusan Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) yang diadakan pada 25-26 September kemarin. AHWA sendiri merupakan sistem pemilihan pemimpin NU berdasarkan 9 kyai khos yang dipilih muktamirin berdasarkan kredibilitas, tafaqquh fid-din (wawasan keagamaan yang luas), serta wara’.
Sebuah hal yang wajar bilamana terjadi perbedaan dialektis dalam tubuh NU di setiap perhelatan muktamar, hal tersebut menjadi dinamika tersendiri dalam menentukan pucuk kepemimpinan baru NU dikalangan masyarakat nahdliyyin.Sebuah ironi bilamana adanya keterlibatan ‘sengkuni’ dalamsetiap pelaksanaan Muktamar NU. Persoalan kandidat ketua umum menjadi isu paling sensitif, tak jarang dibumbui dengan isu perundungan, kompetisi yang tidak sehat, saling menjatuhkan, dan sebagainya.
Bagi masyarakat nahdliyyin, AHWA bukanlah istilah asing. saat ini, AHWA menjadi model yang cukup demokratis jikaditerapkan di lingkungan NU dalam menetapkan pimpinan jajaran Syuriah, bahkan menurut KH. Syafruddin Syarif dalam wawancara yang dimuat majalah Aula edisi November 2021, AHWA adalah produk asli NU sejak awal NU berdiri. Sistem AHWA sendiri dinilai berhasil meniadakan risywah atau jual beli suara serta meminimalisir konflik antar nahdliyyin.
Dikutip dari detiknews.com, Greg Fealy, pengamat dari Universitas Nasional Australia menjelaskan bahwa AHWA secara prinsip merupakan metode yang baik dalam mekanisme pemilihan calon pemimpin terutama meminimalisir money politik dalam muktamar. Sistem pemilihan secara langsung merupakan cermin demokrasi yang baik, namun tak dapat dipungkiri mengingat budaya politik uang masih mewarnai sistem pemilihan langsung terutama dalam pelaksanaan Muktamar NU.
Dalam sejarahnya, mekanisme pemilihan langsung dalam pemilihan Rais Aam pada muktamar sebelumnya terkesan adu kekuatan antar kyai sehingga muncul kubu-kubuan diikuti mobilisasi tim sukses mempengaruhi muktamirin. Berdasarkan pengalaman, Muktamar ke-32 di Makassar menimbulkan luka mendalam bagi para kyai sepuh. Hal inilah yang dikhawatirkan akan merusak marwah kyai sehingga dipandang kurang etis. Tak wajar bilamana posisi spiritualitas tertinggi di kalangan NU diperebutkan. Oleh karena itu, AHWA hadir menjadi jalan keluar dalam pemilihan Rais Aam maupun Ketua Umum PBNU. Sistem ini telah diuji-coba pada Muktamar ke-33 di Jombang.
Namun bagaimanapun, sebagai warga nahdliyyin yang santun kita harus tetap menghormati segala keputusan Munas dan Konbes NU terkait pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU. Kecuali para Muktamirin sepakat untuk mengubah sistem pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum PBNU di forum tertinggi NU tersebut.