SANTRIMENARA.COM, KUDUS – Tak terasa, bulan Ramadhan akan segera tiba. Setelah pekan ini kita disemarakkan dengan peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam di berbagai kampung, kini sebentar lagi menyongsong Dhandangan tahun 1442 H./2021 M. Dalam sejumlah literatur klasik disebutkan bahwa Rajab adalah bulan menanam, Sya’ban saatnya menyiram dan Ramadhan adalah panen raya. Analogi tersebut sangat indah dimana kita diingatkan para salafus shaleh bahwa dunia adalah tempat menanam untuk kehidupan akhirat yang lebih hakiki.
Namun situasi sekarang masih luar biasa. Sudah genap setahun kita menghadapi pandemi Cobid-19 yang telah memporakporandakan tatanan sosial dan spiritual bahkan telah berdampak krisis berbagai bidang. Bersalaman yang semula dianjurkan dalam agama, kini untuk sementara harus ditahan, karena sentuhan adalah berpotensi penyebaran virus Covid-19. Tradisi jama’aah, silaturrahim dan kumpul-kumpul untuk jamaah Yasin, Tahlil atau tradisi slamentan lainnya untuk sementara juga ditangguhkan karena kerumunan juga bagian dari kesukaan virus Covid-19 dengan mudah menyebar. Ngaji dan proses pembelajaran dengan bermuwajahah antara santri dan kiai, murid dan guru juga mahasiswa dan dosen sementara ditiadakan karena dikhawatirkan terjadi kontaks fisik yang bisa jadi akan menjadi petaka bagi para kiai, guru atau dosen sepuh yang memiliki penyakit bawaan.
Bahkan seperti dilaporkan oleh Detik.com (26/02/2021) ulama yang meninggal dalam periode Februari 2020 hingga Januai 2021 telah mencapai 333 ulama. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang periode yang sama pada tahun sebelumnya (sebelum Covid-19 tersebar) yang berjumlah sekitar 50 ulama wafat. Sementara daya beli masyarakat menurun dan sejumlah pasar dan pusat perdaganagan tutup untuk sementara waktu, sehingga krisis ekonomi tak bisa terhindarkan. Ini menjadi tantangan bagi etos Gusjigang (Bagus, Ngaji dan Dagang) di tengah masyarakat menghadapi Dhandangan, Ramadhan dan juga Lebaran.
Dhandangan, Bedug Panen Raya
Setiap kali bulan Suci Ramadhan datang menjelang, umat Islam di Kudus dan sekitarnya menyambut dengan suka dan cita. Maka mementum kehadiran bulan Ramadhan menjadi sesuatu yang istimewa. Bahkan penanda masuknya bulan Ramadhan yang oleh para ulama salaf sebagai bulan panen raya. Tentu panen raya yang dimaksud di sini adalah panen raya pahala, karena ibadah di bulan suci Ramadhan akan dilipatgandakan bahkan di dalamnya ada momentum Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qodar yang dirindukan setiap insan.
Lalu apa yang perlu dilakukan di tengah pandemi Covid-19 menjelasng Ramadhan? Kita tahu pandemi Covid-19 disamping telah berdampak krisis ekonomi dan krisis kesehatan, juga telah berdampak pada kepanikan yang meraja lela. Padahal seperti telah populer diingatkan oleh Ibnu Shina bahwa serba kawatir/panik adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh pengobatan, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan.
Karena itu memasuki bulan Suci Romadhan di samping saatnya panen pahala dan kita isi dengan berbagai macam ibadah, juga dapat kita jadikan sebagai terapi sehat. Kita tentu masih ingat dawuh Kanjeng Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat terkenal “berpuasalah, maka kamu akan sehat”. Maka kalau kita yakini dawuh ini kita jalankan atas dasar iman dan untuk menggapai ridla Allah Subhanahu wata’ala tentu dampak sehat akan kita peroleh. Imun semakin kuat dan Corona akan minggat. Insya Allah.
Maka momentum Dhandangan yang menurut cerita semula dicetuskan oleh Sunan Kudus bisa kita jadikan sebagai penanda zaman. Tradisi itu bermula dari kebiasaan mendengarkan pengumuman dari sesepuh masjid Menara Kudus (baca: Sunan Kudus) mengenai kapan dimulainya hari pertama puasa Ramadlan. Pengumuman itu diawali dengan pemukulan beduk yang berbunyi dhang-dhang-dhang. Bunyi beduk itulah yang memunculkan kata Dhandangan, sehingga kebiasaan tersebut dikenal dengan tradisi Dhandangan.
Dhandangan tahun ini menjadi luar biasa karena berlangsung dalam situasi new normal pandemi Covid-19 masih berlangsung, sementara proses vaksinasi juga baru saja dimulai. Tak perlu ada keramaian dan kerumunan dalam tradisi Dhandangan tahun ini. Namun bukan berarti tidak ada kegiatan. Justru saat yang tepat untuk bermuhasabah, ketika banyak para ulama, para sahabat dan tetangga dekat juga kolega ada yang sudah mendahului kita karena Covid-19, kita menjadi sadar betapa bernilainya anugerah hidup yang perlu kita syukuri bersama dengan memanfaatkannya untuk kemaslahatan umat dan khidmah menuju khaira ummah. Apalagi di tengah bulan suci Ramadhan tentu segala khidmah dan ibadah kita akan memberi add values yang berlipat-lipat.
Maka bedug Dhandangan dalam hal ini bisa menjadi penanda masuknya ruang dan waktu sebagai terapi spiritual (riyadlah) melalui quantum syukur dan ikhlas di bulan penuh berkah itu. Ini tidak hanya didasari atas iman saja, tetapi dalam kajian sains modern seperti dipaparkan oleh David R. Hawkins dalam Power Verses Force, ia menyebutkan bahwa frekuensi diri berpengaruh pada daya tahan melawan serangan Covid-19. Covid-19 memiliki frekuensi sekitar 5,5 Hz dan mati pada 25 getaran perdetik. Menurut Hawkins orang-orang yang bersyukur memiliki frekuensi 150 Hz, ikhlas 350 Hz. Subhanallah, dengan nalar sains tersebut bisa dipahamai bahwa menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang disasari imanan wa ihtisaban, penuh syukur dan ikhlas ternyata dampaknya dahsyat bagi penguatan imunitas seseorang.
Ketika imun kuat, tentu kebal dari berbagai penyakit termasuk dari ancaman Covid-19 sehingga tetap bisa menjalan etos Gusjigang di tengah pandemi ini. Di tengah krisis akibat pandemi Covid-19, etos Gusjigang sebagai modal budaya dan modal spiritual khas Kudus perlu diaktualkan untuk memberi solusi atas problem umat manusia yang membutuhkan uluran tangan dari berbagai pihak.
Gusjigang Prototipe Kepribadian Khas Kudus
Telah lama diakui oleh sebagian masyarakat Kudus bahwa yang dimaksud pemuda ideal harus memiliki minimal 3 (tiga) karakter yang populer dalam akronim “Gus-Ji-Gang” (Bagus akhlaknya, pintar mengaji, dan trampil berdagang). Pertama, “Gus” bermakna bagus atau cakep. Kecakepan ini tak sekedar secara fisik tetapi juga cakep secara kepribadiannya (inner beauty). Aspek moral sangat ditonjolkan bagi masyarakat Kudus. Dalam kaitan ini biasanya dengan memperhatikan nasab, pendidikan dan pergaulannya (wong kang sholeh kumpulono).
Kedua, “Ji” pintar mengaji atau lebih populer dengan sebutan santri yang diharapkan menjalankan rukun Islam secara lengkap termasuk ibadah ibadah haji, maka sering disebut kaji (haji). Hal ini menjadi prioritas penting karena karakter santri ini sebagai dasar bagi calon pemimpin rumah tangga dan calon pemimpin bangsa yang berorientasi ketaatan pada Syari’at Islam. Karakter ini biasanya diidentifikasi dengan melihat latar belakang pengalaman ngaji dan pendidikan.
Mereka lebih memprioritaskan santri yang memiliki pendidikan berbasis agama (baca: pesantren) daripada umum. Maka santri jebolan pesantren dalam hal ini jauh akan lebih memiliki kedudukan terhormat ketimbang yang santri kuliahan formal saja. Maka, akhir-akhir ini menjadi tren para orang tua agar memperoleh dua-duanya, maka santri masa kini perlu kuliah dan sekaligus mondok di pesantren. Apalagi seiring perkembangan zaman tata kelola pesantren makin keren dan berkembang pesat. Hal ini diharapkan bisa mengantarkan kader intelektual santri menjadi kiai cendekiawan.
Hal ini tak lepas dari hirarki sosial masyarakt Kudus, yang menempatkan kiai pada posisi yang tertinggi. Bahkan kiai tak sekedar sebagai sumber keilmuan Islam tetapi sebagai tempat berguru dalam segala persoalan yang ada terkait masalah individu, keluarga maupun sosial, sehingga terbangun sebuah hubungan guru-murid dalam tasawuf yang mencerminkan dominasi ikatan spiritual ketimbang material. Dalam posisi inilah posisi santri yang pintar mengaji menjadi idaman orang tua yang memiliki anak gadis siap dinikahkan.
Ketiga, “Gang” terampil dalam berdagang. Belum lengkap rasanya menjadi warga Kudus, kalau tidak mampu berdagang. Ketrampilan berdagang ini ditonjolkan karena tak lepas dari pilihan mata pencaharian yang lebih menjunjung tinggi profesi sebagai pedagang, meskipun pergeseran juga seringkali terjadi. Karena spirit dagangnya didasari dengan nilai-nilai Islam maka profesi dagang yang diinginkan adalah pedagang yang jujur, sebagaimana Sunan Kudus dan Nabi SAW juga seorang wali saudagar.
Revitalisasi Gusjigang dalam Momentum Dhandangan
Karena spirit Gusjgang tak lepas dari keteladanan Kangjeng Sunan Kudus yang punjernya adalah di Masjid Menara Kudus, titik dimana tradisi Dhandangan itu ditabuh, maka momentum Dhandangan sangat strategis sebagai situs untuk melakukan pembaruan semangat dalam setahun sekali, yakni semangat etos Gusjiagang menjadi makin hidup dalam kehidupanya nyata.
Apalagi di tengah pandemi Covid-19, tiga core values Gusjigang perlu dikontekstualisasi dalam merespon isu pandemi Covid-19. Kebagusan akhlak sebagai representasi Gus-nya Gusjigang antara lain perlu diterapkan dalam konteks mengikuti protokol kesehatan. Kebijakan dokter melalui pemerintah selalu mengingatkan pentingnya 3-M yakni: memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta mencuci tangan pakai sabun dengan air yang mengalir. Ini harus dimulai dari keteladanan para santri Gusjigang dengan meneladani para kiai, demi menjaga kita dan keluarga kita, lebih kiai-kiai kita. Tak lain demi menjaga kehidupan sehat bersama. Mengikuti aturan pemerintah yang baik mencerminkan perilaku akhlak mulia sebagai perwujudan menjalankan pesan Al Qur’an, taatilah Allah, Rasul dan ulil’amri minkum (pemerintah).
Sementara Ji-nya Gusjigang memberi motivasi kepada para santri (menara) bahwa permasalahan kemanusiaan seperti Covid-19 tidak bisa didekati dengan satu disiplin ilmu saja, tetapi perlu pendekatan interdisipliner. Perlu mendialogkan antara iman dan imun secara interdisipliner dan bahkan multidisiplier. Maka santri menara disamping mondok di pesantren juga perlu ada yang concern melanjutkan studi kedokteran khususnya terkait epidemiologi dan ilmu terkait lainnya.
Sedangkan Gang-nya Gusjigang memberi isyarat bahwa di tengah krisis ekonomi akibat Covid-19 santri menara perlu tetap survive dengan kreatif, inovatif dan progresif mencari jalan keluar. Menampilkan Islam sebagai agama solutif adalah tantangan bagi santri menara dan generasi bangsa ini. Semua itu antara lain ciri-ciri etos dagang yang mensinergikan kecerdasan spiritual, intelektual dan juga kecerdasan mosional. Santri menara yang menjadi trendsetter bukan menjadi korban tren sehingga pro-aktif turut mewarnai era digital.
Maka dengan semangat SantriMenara Reborn diharapkan, situs santrimenara.com bisa menjadi washilah dalam menggapai cita-cita para auliya dan impian para ulama dalam li’ilai kalimatillah. Semua itu tak lepas dari pendahulunya yaitu Kangjeng Sunan Kudus yang pernah kota ini sebagai Kudus Darussalam, yaitu sebuah kawasan yang religius, toleran, damai dan sejahtera atau dalam bahasa al-Qur’an baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur. Semoga santrimenara.com tetap istiqomah ila yaumil qiyamah sebagaimana diharapkan oleh Rama KH. M. Ulil Albab Arwani saat peluncurannya tahun 2016. ***
Nur Said
Ketua IKSAB TBS 2016-2020.