SANTRIMENARA.COM, KISAH – Dalam sebuah cerita, KH Sanusi sepuh dari Jekulo Kudus, pernah ditemui oleh KH Muhammadun Pondoan, Tayu, Pati, menanyakan ihwal kesulitan memaknai kitab kuning. Peristiwa ini terjadi puluhan tahun lalu. Dituturkan kembali oleh Ulil Aidi al-Hafidz, biasa dipanggil Gus Edi, putra KH Muhammad Mansur (alm), masyayikh Madrasah TBS, di Kudus, Rabu (3/08/2016) malam.
“Kang, saya bisa baca kitab kuning itu, bisa memberikan tarkib, murad serta mampu memberinya makna, tapi kok tidak paham,” tanya Kiai Muhammadun kepada Mbah Sanusi yang masih saudara itu. “Kitabnya apa?” Respon Mbah Sanusi.
Ternyata penjelasan Mbah Sanusi dimulai dari sejarah penyusunan kitab tersebut. Kala itu, tutur Mbah Sanusi, muallif (pengarang) kitab tersebut sedang merasa terganggu dengan orang-orang berjubah di sekitar Masjidil Haram Makkah yang tiba-tiba saja klotekan atau menabuh rebana bareng-bareng. Padahal muallif sedang merampungkan penulisan kitab tersebut.
Karena suara alat musik bertalu-talu tak berhenti, muallif akhirnya mengusir mereka semua agar menjauh. Beberapa saat kemudian ada suara tanpa rupa (hatif) yang terdengar olehnya. “Orang-orang yang kau usir itu adalah kekasih Allah,” begitu yang terdengar.
Merasa sedih, kecewa, khawatir bercampur penyesalan atas perbuatan spontan tersebut, muallif mengalami kebingungan dan kehilangan semangat. Untuk sementara, proses penulisan dihentikan. Dilanjutkan lain waktu agar penyesalan tersebut mendapatkan ampunan dari Allah. Ia tidak tahu cara meminta maaf kepada orang-orang yang diusir tersebut karena sama sekali tidak ada yang dikenal.
“Kebingungan seperti muallif itulah yang akan kembali dirasakan oleh para pembaca kitab kelak,” jelas Mbah Sanusi kepada Kiai Muhammadun. Di masyarakat, Mbah Sanusi hanya kiai biasa. Hanya kitab-kitab kecil yang ia ajarkan kepada murid-muridnya. Fashalatan salah satunya. Namun wawasan tentang kitab-kitab babon ternyata tidak ketinggalan. Bahkan sejarah penyusunan kitab pun tahu.
Kitab yang dimaksud dalam cerita ini judulnya adalah Tuhfatul Muhtaj syarah al-Minhaj karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami. Tebalnya 4 jilid.
Menurut penuturan cucu Kiai Muhammadun, Gus Umam, Mbah Muhammadun bukan hanya kebingungan, tapi justru mengalami sakit berminggu-minggu hingga Mbah Sanusi mengobatinya.
Cerita ini mengisahkan betapa besar pengaruh penyusunan kitab terhadap pembaca. Hanya karena bingung atas penyesalan, pembaca ternyata bisa mengalami hal serupa walau tidak pada semua halaman.
Lalu, bagaimana jika muallifnya seorang yang tidak berakhlaq dan berpenyakit hati? Bagaimana nasib murid jika guru yang mengajar memiliki sifat sombong dan suka merendahkan orang lain? Murid adalah anak rohani guru. Dan itu berlaku selamanya. Bersambung….(smc-212)
Akhirnya gimana keterangan tentang murod tersebut? Sudah terpecahkan apa belum?
Tunggu kisah berikutnya ya Gus. Hehe
Ditunggu kelenjutannya Yai…
Lanjutkan ceritanya, bos. Nyimak….
Hmmm pantes,klo gak ngaji dgn guru,gak akan paham..itulah gunanya talaqi..ada sebuah maqola yg bunyinya ” tidaklah ilmu itu yg ada dikitab,tp ada pada dada2 mereka para ahli (ulama).
Tuhfatul muhtaj tidak sampe 10 jilid,hanya 4 jilid.yg 10 an jilid itu syarahnya “syarwani”.mohon ut diluruskan.suwun