Oleh Yanuar Aris Budiarto
SANTRIMENARA.COM, ESAI BERSERI (2) – Bertahun-tahun lalu Abu Wardah Santoso menjadi buron nomor satu Polri. Tak dipungkiri dia telah menjadi wajah baru terorisme tanah air. Apalagi setelah muncul anggapan baru dari sejumlah pihak yang “gagal faham” bahwa Santoso alias Abu Wardah adalah pahlawan Poso.
Santoso cs diklaim telah mendirikan dan melaksanakan kamp pelatihan senjata di Poso bagi kelompok militan radikal di Poso. Dia juga dikaitkan dengan berbagai aksi dan serangan mematikan terhadap polisi dan gereja. Dalam beberapa tahun terakhir, puluhan tersangka militan tewas dalam kejaran polisi. Lebih dari 100 orang ditahan. Santoso, yang sejak dulu bersumpah akan membalas aksi-aksi kepolisian dan detasemen antiteror Densus 88, juga diklaim telah membunuh sejumlah aparat keamanan.
Dia memimpin kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur. Tahun 2014, kelompok itu mendeklarasikan kesetiaan pada ISIS. Berdasarkan data yang ada, Santoso sudah diburu selama lima tahun oleh aparat keamanan, namun selalu berhasil lolos dari kejaran.
Puncaknya adalah tahun ini, sekitar 2.500 personel keamanan, termasuk pasukan elit tentara meningkatkan operasi pengejaran sejak awal tahun ini di Poso untuk menangkap Santoso dan kelompoknya. Hingga akhirnya, oleh bantuan pasukan khusus TNI, Abu Wardah tertangkap meski dalam keadaan tak bernyawa.
Momen pemakaman Santoso diabadikan secara lengkap oleh jurnalis panjimas.com yang terjun langsung ke lokasi. Jenazah Santoso dijemput dari Rumah Sakit Bhayangkara, Palu, pada Sabtu, 23 Juli 2016, sekitar pukul 08.00 WITA pagi hari. Sejak pagi, kaum muslimin Poso sudah menanti kedatangan jenazah Santoso. Spanduk bertuliskan “Selamat Datang Syuhada Poso” terpampang di depan lorong rumah orang tua Santoso yang terletak di Desa Lanto Jaya, Landangan, Kecamatan Poso Pesisir.
Ustadz Adnan Arsal, yang disebut panjimas.com sebagai ulama sepuh Kota Poso, memberikan taushiyahnya. Ia menyebut bahwa Santoso adalah pejuang membela kebenaran dan insya Allah gugur syahid.
Dangkal
Pertanyaan sederhana ada dalam pikiran saya, logika apa yang dipakai oleh sejumlah golongan yang menyebut bahwa Santoso, yang mendalangi terorisme di wilayah Timur Indonesia, yang bersembunyi di balik kesalahannya di hutan, sebagai sosok pahlawan, mati syahid, mujahid fi sabilillah?
Berbagai kisah tentang asal muasal drama terorisme di sana muncul, yang jamak diberitakan adalah Santoso menuntut balas dendam karena keluarganya mati terbunuh atas ketidakadilan yang terjadi di Poso. Namun apakah emosi, pelampiasan, dan balasdendam demikian diperbolehkan dalam agama? Pemikiran dangkal saya akan dengan mudah menjawab “tidak”.
Sikap yang paling baik untuk diamalkan oleh seorang muslim ketika ada yang menyakitinya adalah memaafkan, bukan menyimpan kemarahan dan membalas menyakiti atau yang diistilahkan dengan membalasdendam. Itulah yang diajarkan di dalam agama Islam. Allah ta’ala berfirman: “Orang yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (QS Asy Syura: 43)
Banyak tersiar berita, mayat Santoso tersenyum, baunya wangi. Jika diingat-ingat, setiap ada teroris yang mati, selalu muncul kabar yang sama “mayatnya tersenyum, baunya wangi.” Padahal jika Anda mengamati lebih dekat, silahkan zoom gambarnya. Tidak ada senyum di wajah mayat Santoso.
Intinya, teroris barbar dan penyulut makar manapun yang mati akan disebarluaskan dengan berita mayatnya wangi, mati tersenyum. Apa tujuannya? untuk mempengaruhi masyarakat kita yang awam religius ini agar aksi kriminal berkedok agama dianggap benar dan bernilai syahid.
Propaganda murahan itu akan sangat mudah menyebar cepat di kalangan umat yang kaya semangat jihad namun fakir nalar ini, dan rentan mempengaruhi anak-anak muda yang kehilangan tujuan, miskin motivasi. Maka diiming-imingilah surga dengan mudah. Caranya? “Kafirkan yang tak sejalurmu, tinggalkan keluargamu, kembali kepada khilafah… raih surga dengan mudah.”
Nalar para manusia unyu-unyu, yang putus asa dalam kehidupannya dan miskin ilmu agama, akan mudah terbujuk rayuan gombal, “tak perlu risau… tak perlu galau… bidadari surga untuk kau. Ayo, jidahlah dengan cara yang sama… Lawan negara dan raihlah surga.” Menanggapi hal itu, penting kiranya kita berilmu agama dengan aswaja, selalu dekat dengan ulama, agar pengobral surga palsu tak bisa menggoda. Wallahu a’lam. (smc-69/ edited-212)
Yanuar Aris Budiarto, santri biasa, alumnus Hubungan Internasional UNWAHAS Semarang