SANTRIMENARA.COM, KUDUS – Jalan Kiai Haji Turaichan Adjhuri menjelma laut bagi manusia. Orang-orang yang seluruhnya berbaju putih, berpeci hitam, bergegas merangsek ke sebuah pintu yang telah puas menanti. Ya, menanti santri-santri yang dulu ditimangkannya hijaiyyah, datang dari arah yang jauh dan yang dekat, untuk memulangkan rindu.
Pekik kerinduan dari kedalaman hati benar-benar tak terbendung. Jelas terlihat dari pandang mata yang sembab, mereka terus-menerus bersalaman tiada henti, menyapa sahabat lama, bertukar kabar, saling medo’a. Seperti luhur namanya, Tasywiqut Thullab Salafiyyah (TBS), madrasah penuh berkah itu sedang berhelat perjamuan rindu dalam majlis akbar Silaturrahim Nasional dan Ngaji Bareng Masyayikh TBS.
Namun perjamuan rindu baru saja dimulai. Tidak seluruh yang terpendam diuraikan. Ini baru awal dari semua kejutan yang direncana, pun yang tak direncana. Mereka harus menunda rindu yang belum seluruhnya tertunai, dan mata sembab yang menggenang juga harus ditahan. Ini waktu untuk menuangkan ide, berpikir, dan bermimpi. Focus discussion group (FGD) telah dimulai. Santri-santri lintas generasi itu akan berdiskusi di berbagai divisi kelompok yang berbeda.
Divisi Aswaja, di sana seolah mereka dipulangkan kepada wejangan-wejangan para masyayikh TBS, hingga ingatan-ingatan dawuh itu membulatkan mereka bermufakat, bahwa ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah harus dikawal. Santri TBS, sebagai basis dari santri menara, bertanggung jawab atas tugas agung ini.
Di lain forum, divisi ekonomi menggodok ide-ide pemberdayaan ekonomi santri, khususnya santri menara. Ini sebagai manifestasi dari gus jigang yang diajarkan sunan Kudus; bahwa selain alim dalam ilmu, santri juga perlu mahir dalam kewirausahaan.
Sementara divisi jaringan alumni berbicara tentang penguatan jalur silaturrahim antar alumni, divisi media dan jaringan memunculkan ide-ide segar suksesi dakwah aswaja di media, terutama media virtual. Lahirnya “santrimenara.com” yang dalam hitungan jam akan difatihahkan malam harinya, adalah produk nyata dari dakwah dan pengarusutamaan ideologi aswaja.
Beranjak dari forum diskusi yang mempertemukan ide, pemikiran hingga mimpi lintas generasi mutakhorijin TBS, barulah majlis perjamuan rindu yang belum tuntas, berlanjut. Fatihah menggema, membuka Silatnas dan Ngaji Bareng Masyayikh TBS. Sejak lantun sholawat nabi dikumandang, panggung singgasana para masyayikh itu telah menjelma magnet yang menarik mereka untuk mendekat, lebih dekat.
Mereka duduk di kursi, berjubal di kelas-kelas yang disulap menjadi auditorium, menggelar plastik atau koran di lantai. Namun semua ruang sekejap memadat, memuntahkan mereka ke jalan, dan pemandangan santri-santri bersila sesak, mengular sepanjang jalan, menyentuh hati para masyayikh yang baru saja rawuh. Dan inilah perjamuan rindu yang sesungguhnya, antara murid dan guru, anak dan bapak.
Dawuh-dawuh para masyayikh semerbak seolah misik yang mengantarkan wewangian ilmu. Para santri itu bungkam, tertunduk khusyu’, hingga benar-benar mereka seolah seorang santri kecil dulu, ketika mereka duduk di bangku, dan kiai mereka rawuh, masih kiai yang sama, dengan wajah teduh yang semakin bercahaya, membacakan ayat-ayat ilmu. Ya, para alumni itu, yang muda, juga yang tua, mereka kembali menjadi santri, malam itu.
Sesepuh dan ketua yayasan Madrasah TBS, KH. Choiruzyad TA, memanaqibkan sejarah perjuangan pendirian madrasah TBS. Beliau mengajak anak-anaknya kembali mengingat serpih sejarah madrasah mereka berdiri, di tangan mulia para kiai khos pada masa itu. Satu siratan pesan, bahwa tidak seorangpun murid boleh lupa dari mana mereka berasal; ojo lali weton.
Melanjutkan, KH. M. Ulil Albab dalam mauidhohnya mengajak para santri meresapi lebih dalam pesona Al Qur’an sebagai sumber dari segala ilmu, akhlaq, dan petunjuk dalam seluruh sendi kehidupan. Dan merujuk dari salah satu inspirasi Qur’ani, beliau berpesan agar para santri membudayakan membaca dan menulis, sebagai ikhtiar mengabdi kepada ilmu dan mengamalkan ajaran Al Qur’an.
Mauidhoh ketiga, KH. Arifin Fanani mewanti para santri agar selain memegang teguh Al Qur’an dan sunnah nabi, mereka juga harus selalu dekat dengan ulama. Sebab di mana dan hingga kapanpun, ulama adalah segala-galanya. “Dengan Al Qur’an dan hadits seorang mendapat petunjuk, dan dengan mengikuti ulama dia akan selamat,” salah satu petik dawuh beliau.
Masih berlanjut, KH. Hasan Fauzi menasihatkan para santri untuk terus menyelamatkan diri dari kematian hati. Sementara KH. Mustofa Imron mengkhatami rangkaian mauidhoh dengan seuntai wasiat agar para santri meneladankan diri kepada para ulama, membaca manaqib-manaqibnya, dan menuliskan keteladanannya adalah sesuatu yang penting untuk mempertahankan khazanah kearifan para salafussholih.
Hataman mauidhoh tidak berarti perjamuan rindu telah tuntas. Sejudul buku “Santri Membaca Zaman” yang ditulis oleh 25 santri TBS adalah kejutan lain yang ditunggu-tunggu. Penyerahan secara simbolik oleh editor, Nur Said, M.Ag, MA kepada pengurus Madrasah TBS menandai detik lahirnya si anak pertama dari perjamuan intelektual Ikatan Siswa Abituren (IKSAB) Indonesia. Sejak detik itu, bertumpuk-tumpuk buku yang disedia panitia telah sah untuk dibawa pulang sebagai bingkisan rindu.
Detak-detak kerinduan yang dipulangkan itu mengujung pada launching website santrimenara.com. Dengan semangat, Abdullah Badri, pemimpin redaksi website mengajak para para santri yang hadir malam itu, seluruhnya, untuk bergandeng tangan menguatkan barisan demi menjaga ideologi aswaja khas santri menara. Sedetik setelah difatihahkan oleh KH. M Ulil Albab Arwani, website itu mengudara, dan siap menyambut siapapun di antara umat Islam Indonesia yang merindukan kesejukan ilmu. (smc-111)