Rivalitas kedua madrasah, TBS dan Qudsiyyah sudah berlangsung agak lama, setidaknya selama kami sekolah di TBS sudah merasakan sentimen dan rivlitas keduanya. Entah apa sebabnya kedua madrasah salaf dikudus ini seperti itu. Rivalitas keduanya memuncak setelah terbitnya buku Satu Abad Qudsiyyah (SAQ). Yang didalamnya berisi konten konten yang agak sensitif untuk dibahas. Atas dasar tersebut, sedikit banyak memancing amarah dari alumni madrasah TBS yang kemudian mendesak agar buku itu ditarik dari peredaran dan syarat syarat lainnya. Respon yang kurang dari pihak madrasah Qudsiyyah atau lebih tepatnya pengarang buku SAQ ini menyebabkan banyak alumni geram dan muncul lah buku dalil sejarah TBS.
Buku ini, Dalil Sejarah TBS merupakan sebuah bentuk reaksi atas beredarnya buku “Satu Abad Qudsiyyah” (SAQ). Yang dikarang oleh enam orang, yakni H.M Ihsan, M. Zainal Anwar, M. Rikza Chamami, Makus Ali, Khasan Ubaidilah, Syaifullah Amin, dan Furqon Ulya Himawan. sejatinya buku tersebut telah diterbitkan pada tahun 2016, tepat dimana madrasah Qudsiyyah merayakan seribu abad berdirinya madrasah mereka. Terbilang unik karena buku yang terbit di tahun 2016 itu baru di resensi sekaligus di kritik oleh penulis pada akhir tahun 2018. Dalam buku SAQ tersebut banyak sekali terjadi kejanggalan kejanggalan sejarah. Banyak informasi yang diperoleh oleh Penulis SAQ tidak di melakukan klarifikasi kepada yang bersangkutan (TBS), sehingga mengakibatkan pengaburan sejarah. Karena alasan itulah muncul Buku Dalil sejarah TBS yang secara rinci menyampaikan kritk terhadap buku SAQ. Mungkin tidak secara keseluruhan buku SAQ itu di kritisi, walaupun penulis hanya mengkritisi sesuatu yang berhubungan dengan TBS dan yang menyangkut dengannya.
Seperti contoh kritik penulis terhadap buku SAQ yang didalamnya mengatakan bahwa kata School yang di pakai oleh TBS merupakan bentuk kompromi dengan belanda pada waktu itu. Penulis membantah dengan fakta fakta dari sumber yang bisa dipertanggung jawabkan.
Selanjutnya, dalam buku ini juga memuat sejarah Madrasah TBS, dari mulai berdirinya lalu pendirinya dan sejarah seputar madrasah TBS dengan lugas dijelaskan oleh penulis. Walaupun masih banyak yang perlu dijelaskan dan perlu di pastikan tentang sejarah madrasah yang belum atau sedang dikaji.
Seperti, siapa pendiri dari madrasah TBS ini, dalam buku SAQ disebutkan ada dua nama yakni KH. Arwani Amin said dan dihalaman lain disebutkan ternyata KH. A. Khaliq. Namun itu dibantah keras dalam buku dalil sejarah TBS, dalam buku ini dijelaskan bahwa ada dua versi sejarah mengenai siapa pendiri dari madrasah TBS ini. Versi pertama yakni versi KH Choiruzzad yang mengatakan bahwa pendiri TBS adalah KH Muchit dan versi kedua adalah versi dari keluarga dalem KH Ma’mun Ahmad berpendapat bahwa KH Ahmad adalah pendiri TBS.
Kelebihan
Terdapat banyak sekali kelebihan dari buku dalil sejarah TBS ini, yang pertama, Mengkritik buku SAQ dengan isi buku SAQ itu sendiri, seperti pada hal 49-51. Kritik yang terbilang brilian yang dilakukan oleh penulis, kedua, penulis menyajikan data dari beberapa buku guna mengkritisi ataupun menolak tuduhan berkompromi dengan yang ada dalam buku SAQ kepada TBS, sajian datanya terbilang lengkap dan mudah difahami. Dan terkesan buku dalil sejarah TBS ini tidak buku yang asal asalan dibuat (hal 39-46). Ketiga, buku ini ditulis dengan bahasa yang mudah untuk difahami, tidak bertele tele penjelasannya dan sangat renyah untuk dibaca. Keempat, buku ini menurut hemat saya di tulis menggunakan hati yang terdalam dari penulis, itu bisa dilihat dari gaya bahasanya menulis kata demi kata demi ta’dim nya kepada sang kiai yang telah dinistakan. Saya sangat merasakan dan sempat membuat haru ketika penulis melakukan pembelaan kepada sang maha guru (123-131).
Kekurangan
Disamping kelebihan yang telah di paparkan diatas, seperti halnya sebuah karya pada umumnya pasti memiliki kekurangan, menurut hemat kami buku ini pertama, penulis terlalu terbawa emosi dalam tulisannya, seperti yang terdapat dibanyak tempat penulis menggunakan kata kata, “ah mbuh, lagi lagi ah,’’ dan gaya tulisan yang bisa dirasakan oleh pembaca. Itu tidak terjadi di satu dua halaman tapi banyak halaman yang dimana halaman itu membahas kesalahan kesalahan buku SAQ. Kedua, agaknya editor, kurang teliti dalam mengedit naskah buku ini, di beberapa halaman penulis menggunakan bahasa jawa yang tidak di lengkapi dengan terjemahan bahasa indonesianya. Saya memahami hal itu, mungkin penulis berfikiran karena mungkin pembacanya kebanyakan kalangan siswa dan alumni TBS, yang lumrahnya mengerti bahasa jawa. Namun seperti halnya kebanyakan karya ilmiah harus menggunakan EYD (hal 19,67).