Ramadan. Saya tetap bahagia meski sudah bisa dipastikan saya tidak bisa berpuasa di awal Ramadan. Ya, saya haid. Keadaan haid di awal Ramadan ini, tidak mengurangi kebahagiaan saya sedikit pun dalam mengarungi bulan Ramadan.
Perasaan ini sama sekali berbeda dengan saya, versi beberapa tahun lalu. Waktu itu, dalam pikiran saya, haid di bulan Ramadan yang penuh kemuliaan adalah kesedihan. Sedih karena punya tanggungan untuk qodlo puasa, sedih karena ketinggalan banyak ibadah khusus di dalamnya, sedih karena perempuan haid di bulan Ramadan sering diremehkan.
Saat ini pun, sebagian besar perempuan di sekitar saya masih mengeluhkan demikian. Besok Ramadan tapi hari ini aku malah haid. Hiks. Semoga bulan ini aku nggak haid. Gara-gara haid di awal, aku jadi nggak bisa ikut salat id, nih. Huaaa. Aku gemes tiap Ramadan haidku lama. Aku nggak bisa ibadah, nih, gara-gara haid. Perkataan perempuan terkait haidnya sendiri, biasanya seputar itu.
Paradigma yang melekat pada perempuan terkait bulan Ramadan: perempuan pahalanya lebih sedikit daripada laki-laki. Laki-laki punya kesempatan beribadah penuh, sedang perempuan ibadahnya pasti bolong karena haid. Atau sebagian lagi ada yang hamil atau melahirkan atau menyusui. Sebab itulah, sering sekali dikatakan pahala laki-laki lebih banyak daripada perempuan di bulan Ramadan. Salam hormat untuk manusia sakti yang mampu menakar pahala sesamanya. Hahaha.
Kesimpulan yang saya tarik dari kesedihan-kesedihan perempuan ketika haid di bulan Ramadan tidak jauh-jauh dari perihal pahala tadi. Orang Jawa bilang, “Mboheman sasi poso ora iso ngibadah.” Seolah-olah haid adalah kesalahan perempuan, seolah-olah haid memberi efek rugi bagi perempuan.
Keadaan biologis perempuan yang mengalami haid sehingga puasanya di bulan Ramadan tidak sebulan penuh dijadikan tolok ukur banyak sedikitnya pahala. Ibadah digambarkan dengan cara yang sangat sempit. Statement itu, tanpa disadari memberi dampak psikis pada diri perempuan. Perasaan rendah diri. Perasaan tidak bisa menjadi hamba yang baik. Perasaan tidak diberi keadilan Allah karena dirinya perempuan. Menjadi beban ganda selain fisik perempuan yang mengalami banyak hal ketika haid.
Saya pernah mengalami telat haid hampir setengah bulan. Bagi beberapa perempuan mungkin biasa, tapi bagi saya tidak. Telat haid efeknya adalah badan rasanya capek bukan main. Padahal tidak sedang mengerjakan pekerjaan berat. Pikiran terasa sesak, persendian terasa pegal. Mengerjakan apa pun badan terasa berat, padahal berat badan saya tidak lebih dari empat puluh kilogram.
Saya menyadari ada yang tidak beres pada tubuh saya. Penyebabnya hanya satu, saya telat haid. Saat itulah saya merasakan rindu haid. Saat itu juga saya memahami bahwa haid adalah anugerah besar saya sebagai perempuan.
Sejarah haid yang dulu dianggap sesuatu yang menjijikkan bahkan perempuan yang mengalami haid harus diasingkan, sedikit banyak memengaruhi pola pikir saya sekarang. Haid bukan aib, haid bukan sesuatu yang tabu, haid bukan hal yang memalukan. Pendidikan tentang haid menjadi penting sekali mulai dari fiqh sampai penerimaan diri perempuan itu sendiri terhadap tubuhnya, seutuhnya. Perasaan utuh itulah yang akan membuat perempuan terus bergerak, sebagaimana mestinya.
Haid sebenarnya tidak pernah sederhana. Pengalaman nyeri perut di awal haid yang dirasakan dan emosi tidak stabil juga bukan mitos. Itu nyata. Tapi apa pun yang dirasakan, haid akan datang, lagi dan lagi, setiap bulan. Jika ia tidak datang, pasti dipertanyakan. Berbahagialah perempuan yang berhasil berdamai dengan keadaan itu, berdamai dengan tubuhmu sendiri.
Pahala banyak, tidak ditentukan oleh jenis kelamin kita. Puasa yang diterima Allah juga tidak ditentukan karena kita perempuan atau laki-laki. Allah memerintah semua hamba-Nya untuk beribadah sebaik-baiknya. Se-mu-a hamba. Laki-laki dan perempuan.
Lalu, apakah ibadah di bulan Ramadan sebatas puasa, tarawih, tadarus, dan perempuan yang haid auto kosong pahalanya karena dianggap tidak beribadah? Bangun tidur dan bersyukur masih hidup adalah ibadah. Membangunkan anggota keluarga untuk sahur juga ibadah. bekerja dengan cara halal juga ibadah. Menyediakan takjil untuk yang berpuasa juga ibadah. Tidak ghibahin sesama teman juga ibadah. Menerima haid dengan senang hati juga ibadah. Dan masih banyak lagi silakan sebut sendiri.
Pahala yang tahu hanya Allah. Orang yang gemar puasa dan merasa banyak pahala tapi suka nuding-nuding saudaranya sedikit pahala, jangan-jangan… ah sudahlah. Sekali lagi, saudara perempuanku di mana pun berada, haid itu karunia biologis yang patut disyukuri. Tidak perlu sedih ketika haid di bulan Ramadan. Momen haid tidak mudah, tapi istimewa. Allah memberikan hak spesial pada kita untuk tidak berpuasa dan menggantinya di luar bulan Ramadan. Saat haid, enjoy saja. Tetap produktif, lakukan hal-hal positif!