opini

Mutholaah dan Beberapa Hal Lain untuk Melepas Ramadan

2 Mins read

Di awal bulan Ramadan, berbagai pengajian dan kajian kitab diselenggarakan masyarakat, dari jamaah masjid, pondok pesantren dan lainnya. Kajian dan disiplin ilmu yang dibahas pun lengkap, mulai dari tasawuf, fikih, nahwu, tafsir, hadis dan lain sebagainya menghiasi bulan tersebut. Pengajian dan kajian kitab tersebut ada yang dilakukan secara online maupun offline, atau kombinasi keduanya.

Hal tersebut selaras dengan sabda Rasulullah yang memerintahkan untuk menuntut ilmu sepanjang ruang dan waktu dimana kita berada (minal mahdi ilallahdi). Begitu juga dengan syair Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, murid dari Imam Abu Hanifah, yang mengajak untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan ilmu serta menyelami berbagai manfaat di dalamnya (wa kun mustafidan kulla yaumin ziyadatan minal ‘ilmi wasbah fi buhuril fawa’idi). Terlebih bulan Ramadan adalah bulan yang penuh keberkahan dan keutamaan.

Untuk meningkatkan pengetahuan dan keilmuan, dibutuhkan kerja keras dan kegigihan. Dalam bahasa tasawuf, seseorang harus melatih diri (riyadlah) dan bersungguh-sungguh (mujahadah) dalam semua dimensi ruang dan waktu. Rasa keingintahuan dan mau belajar harus selalu ada agar pengetahuan dan keilmuan kita selalu bertambah dari waktu ke waktu.

Bulan puasa merupakan sebuah kesempatan untuk meningkatkan kualitas pengetahuan dan keilmuan. Oleh karena itu, pada bulan puasa banyak yang meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam mengaji dan belajar. Belajar, bukan saja dari pengetahuan dan keilmuan yang pasif dengan membaca dan mendengarkan, tetapi juga dapat aktif dengan mengarang kitab, menulis buku, ceramah, dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan oleh ulama-ulama kita terdahulu seperti Syaikh Yahya bin Syaraf al-Nawawi (w. 676 H) yang menyelesaikan kitab Riyadlush Shalihin min Kalami Sayyidil Mursalin pada bulan Ramadan. Begitu juga dengan KH. Bisri Musthofa, yang menyelesaikan terjemah kitab Safinatush Shalah pada bulan puasa.

Baca Juga  Ramadan Jalan Kebahagiaan

Selesainya pengajian dan kajian kitab di tengah bulan Ramadan, bukan berarti pengembangan keilmuan akan berhenti. Melainkan pengetahuan dan keilmuan harus tetap bertambah dan meningkat. Sisa-sisa Ramadan bisa digunakan dengan sebaik-baiknya: mendaras dan muthala’ah pengajian dan kajian kitab sebelumnya. Bisa juga menambah bacaan yang terkait dengan pengajian dan kajian kitab, meringkasnya, menambahkan catatan di dalamnya, bahkan membukukannya. Usaha tersebut agar ilmu yang didapat tidak seperti hewan buruan terlepas begitu saja.

Apalagi teknologi yang ada pada masa sekarang memudahkan untuk hal tersebut. Kitab-kitab elektronik dengan mudah dijumpai dan didapatkan secara gratis, tidak seperti dulu yang membutuhkan biaya dan tempat yang besar. Media untuk menulis, dari komputer hingga gawai pintar, sudah tersedia dan tinggal digunakan. Oleh karena itu, sayang sekali bila alat dan media yang ada tidak digunakan untuk berkarya dan menambah pengetahuan dan keilmuan. Setiap hari dan setiap malam bisa digunakan untuk belajar dan membaca sumber-sumber pengetahuan dan keilmuan.

Oleh karena itu, walaupun umat Islam bersedih dengan perginya Ramadan, namun bagi kita, kesedihan itu adalah kesedihan yang berkualitas. Kesedihan itu diisi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas pengetahuan dan keilmuan, dengan tulisan, catatan, ringkasan dan bacaan yang lebih baik dari sebelumnya. Pun jika menyambut kebahagiaan dengan datangnya Idulfitri, itu adalah sambutan yang penuh dengan karya tulisan dan keilmuan.

Dengan meningkatnya kualitas dan kuantitas pengetahuan dan keilmuan di akhir bulan Ramadan, maka kita akan menjadi orang yang beruntung sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Hasan al-Bashri tentang bulan Ramadan, yang dikutip dalam Zuhrul Adab wa Tsamarul Albab karya Ibrahim bin ‘Ali al-Qairawani (w. 451 H): fasabaqa qaumun fafazu, wa takhallafa akharuna fakhabu (sebagian orang terdepan dalam kebaikan di bulan Ramadhan sehingga menjadi beruntung, dan sebagian tertinggal sehingga merugi). Apalagi jika ilmu itu bermanfaat, yang tidak akan terputus pahalanya sampai hari kiamat.

Baca Juga  Kaum Sufi dan Gelora Bela Negara dari Nusantara (Bagian I)

Baca artikel menarik lainnya disini.

Komentar
1 posts

About author
IKSAB 2007, pengurus LTN PWNU Jawa Tengah, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Articles
Related posts
Essaiopini

Bulan Ramadhan dan Tantangan di Dalamnya

2 Mins read
Dibaca: 180 Oleh: Moh. Haidar Latief Saat ini kita memasuki bulan yang mulia, bulan yang dinantikan kehadirannya oleh seluruh umat Muslim seluruh…
opinipendidikanpesantrensantri

Masa Depan, Santri Dituntut Harus Bisa Bahasa Mandarin

1 Mins read
Dibaca: 335 Santri ialah mereka yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Santri biasanya menetap di asrama (pondok) dengan kurun waktu tertentu….
opini

Olimpiade Tokyo 2020: Cobaan Greysia Terbalas Emas

2 Mins read
Ujian Greysia semakin berat semenjak kakaknya meninggalkannya pada akhir tahun 2020, beberapa anggota keluarganya juga terpapar covid-19.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.