KolomNasionalopini

Kritik atas Tafsir Tunggal Aparat: Membaca Kasus Mahasiswi ITB

5 Mins read

Penangkapan seorang mahasiswi ITB akibat unggahan meme Prabowo dan Jokowi yang digambarkan sedang berciuman telah memicu perdebatan luas di ruang publik (Kompas, 2025). Pemerintah menuduh meme tersebut melanggar kesusilaan dan memanipulasi informasi elektronik seolah-olah itu merupakan data otentik. Tafsir ini menjadi dasar tindakan hukum terhadap mahasiswi tersebut. Namun, apakah benar hanya ada satu cara membaca sebuah gambar? Apakah hanya tafsir kekuasaan yang sah, sementara tafsir lainnya dianggap tidak ada?

Pemerintah, melalui aparatnya, berusaha mengunci makna meme tersebut dalam satu bingkai: tindakan cabul yang melanggar norma dan etika (Tempo, 2025). Kekuasaan ingin menjadi satu-satunya penafsir realitas, menolak adanya keragaman pemaknaan dari warganya. Dalam konteks ini, meme itu diperlakukan seperti sebuah ancaman, bukan sebagai bentuk ekspresi sah dalam masyarakat demokratis. Padahal, kenyataannya gambar tersebut terbuka bagi berbagai interpretasi, tergantung dari latar belakang, luka, keresahan, atau bahkan cara bercanda masing-masing individu.

            Dalam teori Paul Ricoeur, khususnya dalam The Conflict of Interpretations, ditegaskan bahwa sebuah teks, setelah dilepaskan dari pengarangnya, menjadi teks terbuka—terbuka terhadap banyak makna yang tidak bisa dikendalikan oleh niat pencipta awal (Fitri, 2014: 193). Meme tersebut, sebagai bentuk tindakan kreatif, harus dipahami dalam kerangka ini: begitu dirilis ke ruang publik, ia hidup sebagai teks terbuka. Penafsirannya bergantung pada konteks sosial, budaya, dan politik para penerimanya, bukan sekadar pada maksud si pembuat atau tafsir tunggal dari kekuasaan.

            Sejumlah orang melihat meme itu sebagai lelucon semata—jenaka, nakal, dan mungkin sedikit menyinggung, namun tetap berada dalam batas ekspresi kebebasan berpendapat. Yang lain menafsirkannya sebagai kritik sosial terhadap elite politik yang dulu berseteru keras, kini bersekutu tanpa menjelaskan alasan di balik perubahan dramatis itu. Ada pula yang menganggap meme tersebut sebagai satire terhadap kepasrahan rakyat yang semakin terbiasa melihat kompromi tanpa akuntabilitas di tingkat tertinggi kekuasaan.

Baca Juga  Cak Nun: Indonesia adalah pemimpin pluralisme Dunia

            Meme itu, dengan segala kontroversinya, sebenarnya berfungsi seperti cermin. Ia tidak menciptakan realitas baru, tetapi memperlihatkan apa yang sudah ada: hubungan Jokowi dan Prabowo yang bertransformasi dari permusuhan menjadi kolaborasi politik. Dalam dunia nyata, tentu saja tidak ada adegan ciuman antara kedua tokoh tersebut. Tidak ada pula orang waras yang menganggap gambar itu sebagai fakta otentik. Justru karena bersifat simbolik, meme itu lebih berbicara tentang rasa kecewa, kegelisahan, dan kritik rakyat terhadap perubahan-perubahan politik yang tampak pragmatis dan oportunistik.

            Apa yang sebenarnya membuat kekuasaan merasa terusik bukanlah karena adanya pelanggaran susila dalam arti literal, tetapi karena meme tersebut mengungkap sesuatu yang selama ini ditekan dalam kesadaran kolektif rakyat. Gambar itu memprovokasi rasa malu—bukan karena vulgaritasnya, melainkan karena ia memperlihatkan betapa licinnya elite dalam memainkan drama politik di hadapan rakyat. Dengan satu gambar, begitu banyak lapisan kritik dan keresahan rakyat terungkap tanpa perlu ceramah panjang.

            Kritik sosial dalam bentuk seperti ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan reproduksi sistem sosial. Dengan satire dan ironi, rakyat tidak sekadar melampiaskan kekecewaan, tetapi juga mengingatkan kembali nilai-nilai moral publik yang dilanggar oleh elite politik. Dalam kerangka sosiologis, kritik sosial melalui teks atau gambar berfungsi mempertahankan identitas kolektif masyarakat, menegaskan batas-batas moral yang ingin dijaga bersama (Agusly. 2022: 123). Karenanya, meme itu bukan sekadar olok-olok kosong; ia adalah bagian dari mekanisme sosial untuk menjaga dinamika demokrasi.

            Namun sayangnya, alih-alih mengakui keberagaman tafsir yang wajar dalam masyarakat demokratis, kekuasaan justru memilih menindak keras dengan pendekatan hukum. Dengan membawa tafsir tunggal bahwa meme tersebut cabul dan manipulatif, aparat negara menggunakan hukum pidana untuk menakut-nakuti ekspresi kritis warga negara. Ini menunjukkan betapa hukum bisa berubah fungsi: dari alat keadilan menjadi alat penundukan.

            Lebih ironis lagi, ancaman hukuman terhadap si pembuat meme bahkan lebih berat daripada hukuman rata-rata yang dijatuhkan kepada para koruptor yang merugikan keuangan negara dalam jumlah fantastis. Ini menimbulkan pertanyaan moral besar: siapa sebenarnya yang lebih merusak moralitas publik—mereka yang mengungkapkan keresahan melalui satire, atau mereka yang menyalahgunakan kekuasaan untuk membungkam kritik?

Baca Juga  Masker, Masjid dan Arogansi Beragama

            Jika hukum hanya digunakan untuk melindungi wibawa elite sambil mengabaikan keresahan rakyat, maka hukum itu kehilangan legitimasinya. Hukum tidak lagi berfungsi untuk keadilan, melainkan untuk menjaga kenyamanan kekuasaan. Sejarah telah menunjukkan, seperti pada masa Orde Baru, bahwa pemaksaan tafsir tunggal terhadap realitas selalu gagal dalam jangka panjang.

            Demikian pula hari ini, upaya menakut-nakuti masyarakat dengan tafsir tunggal terhadap sebuah meme tidak akan pernah berhasil sepenuhnya. Kreativitas rakyat selalu menemukan jalan. Akan selalu ada meme-meme baru, lebih licik, lebih cerdas, lebih sulit dijerat dengan hukum. Kritik akan bertransformasi menjadi satire yang lebih halus, ironi yang lebih tajam, atau humor yang lebih menggigit.

            Penangkapan mahasiswi itu justru menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan diri kekuasaan hari ini. Sebab kekuasaan yang percaya diri dan merasa legitimasinya kuat tidak akan takut pada sebuah gambar. Kekuasaan yang matang akan menganggap kritik—betapapun pedas dan lucunya—sebagai bagian dari harga demokrasi. Sebaliknya, kekuasaan yang panik dan merasa rentan akan berusaha membungkam suara-suara kecil sekalipun, karena merasa setiap cermin adalah ancaman.

            Dalam masyarakat sehat, tafsir atas karya seni, meme, atau ekspresi publik seharusnya dibiarkan beragam. Negara seharusnya memfasilitasi dialog atas perbedaan-perbedaan itu, bukan memaksa satu kebenaran tunggal. Karena tiap warga negara membawa luka, pengalaman, kecemasan, dan harapan yang berbeda-beda, maka wajar bila tiap orang membaca realitas dengan cara yang berbeda pula.

            Menolak tafsir tunggal bukan berarti membiarkan segala hal menjadi liar tanpa batas, melainkan menghormati hak warga negara untuk berpikir, merasa, dan mengekspresikan diri dengan caranya masing-masing—selama itu tidak mengajak pada kekerasan, kebencian, atau diskriminasi.

            Meme Jokowi dan Prabowo berciuman tidak mengajak orang untuk melakukan kejahatan. Ia hanya meletakkan cermin di depan wajah elite politik. Kalau kekuasaan merasa malu atau tersinggung oleh apa yang dilihatnya, seharusnya mereka bertanya: mengapa wajah itu tampak seperti itu? Bukan menghancurkan cerminnya.

Baca Juga  Ruwahan; Tradisi dan Sebuah Hidangan Pengingat

            Hukum yang adil harus bisa membedakan antara kritik, satire, dan serangan nyata terhadap hak orang lain. Menganggap semua kritik sebagai serangan adalah tanda paranoia kekuasaan, bukan tanda keberanian. Jika negara terus mengkriminalisasi kreativitas rakyat, maka negara sedang memproduksi ketidakpuasan yang akan menumpuk dan pada akhirnya meledak dalam bentuk-bentuk yang lebih sulit dikendalikan.

            Dengan demikian, penolakan terhadap tafsir tunggal bukan hanya soal membela satu mahasiswi ITB yang dipenjara karena meme. Ini adalah soal membela prinsip dasar hidup bersama dalam masyarakat: bahwa realitas selalu lebih kompleks dari sekadar satu kebenaran resmi. Bahwa kita semua berhak untuk melihat, memahami, dan mengekspresikan dunia ini dengan cara kita sendiri.

            Sebagaimana dikatakan Paul Ricoeur, teks selalu berkonflik dalam interpretasi, karena realitas manusia memang penuh keragaman makna. Dalam pluralitas makna itu, masyarakat menemukan vitalitasnya. Kreativitas rakyat, bukan represi, yang akan membawa demokrasi tetap hidup. Dan yakinlah, sebagaimana sejarah selalu menunjukkan, kreativitas rakyat akan selalu lebih kuat daripada upaya represi kekuasaan. Meme-meme baru akan lahir. Cermin-cermin baru akan dipasang. Dan wajah kekuasaan, mau tidak mau, akan terus terlihat olehnya sendiri.

Referensi dan Sumber foto:

Akbar AZ. Kritik Sosial, Pers dan Politik Indonesia. Unisia. 1997:44-51.

Fithri W. Kekhasan Heremeneutika Paul Ricoeur. Majalah Ilmu Pengetahuan dan Pemikiran Keagamaan Tajdid. 2014;17(2):187-211.

Putra AS, Aditriyana MR, Widya NS, Nurhadi ZF. Meme Politik Sebagai Representasi Komunikasi Kritis Di Media Sosial. Jurnal Syntax Fusion. 2023 Sep 22;3(09):980-93.

https://www.tempo.co/politik/mahasiswa-itb-yang-buat-meme-prabowo-jokowi-ditangkap-polisi-di-indekos-1394481

https://www.kompas.tv/nasional/592503/pro-kontra-penangkapan-mahasiswi-itb-pembuat-meme-prabowo-jokowi-kriminalisasi-ekspresi

https://www.google.com/url?sa=i&url=https%3A%2F%2Fthecircle.id%2Fmeme-ai-prabowo-jokowi-ciuman-picu-jerat-hukum%2F&psig=AOvVaw3z_m46qKCsEDwpiZxpt7Au&ust=1747473556996000&source=images&cd=vfe&opi=89978449&ved=0CBUQjRxqFwoTCPi-2LbUp40DFQAAAAAdAAAAABAE

Komentar
30 posts

About author
Pemimpin Redaksi Santri Menara. Penerima Beasiswa LPDP PKUMI 2021–2023. Pengajar & penulis serta konten kreator. Motto: “Connecting Knowledge, Inspiring the Community.”
Articles
Related posts
Kolomopini

Kehidupan Muslim di Changchun: Harmoni Iman dan Budaya di Tengah Musim Dingin

2 Mins read
Dibaca: 96 Kota Changchun, Provinsi Jilin, Tiongkok, menawarkan studi kasus yang unik tentang kehidupan komunitas Muslim di lingkungan yang secara geografis dan…
aswajaKolomopinipesantren

Pesantren Salaf di Era Globalisasi dan Kemajuan Teknologi AI

2 Mins read
Dibaca: 112 Pesantren salaf, dengan tradisi pengajarannya yang kental akan nilai-nilai keislaman klasik, kini berdiri di persimpangan jalan. Era globalisasi, dengan arus…
AdviceKolom

Nasehat KH. Ma’ruf Khozin Tentang Keselamatan Mengemudi Para Kiai dan Gus

2 Mins read
Dibaca: 313 Setiap perjalanan adalah bagian dari ikhtiar manusia menuju takdirnya. Tetapi di balik kemudi, ada tanggung jawab yang lebih besar daripada…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *