Di sini mulai dingin. Waktu siang mulai pendek. Jalan-jalan semakin tidak efektif. Lebih baik mencari kehangatan ruangan. Lebih afdhal dengan baca buku. Baca manuskrip juga asyik.
Mata tertuju pada manuskrip di koleksi spesial Leiden. Manuskrip tua sudah kupesan sebelumnya. Kata Pigeaud “berasal dari abad ke-17”. Siapa tahu lebih tua? Manuskrip ini sudah pernah kubaca. Namun rasanya ia terus mengajak berbicara.
Kubuka halaman demi halaman. Manuskrip berisi wejangan Kanjeng Susuhunan Kudus. Wejangan diberikan dalam bentuk prosa, bukan tembang. Teks wejangan ini dibagi ke dalam banyak fasal. Ada fasal tentang makna sirr dari salat. fasal lain tentang sifat-sifat Pengeran [Tuhan].
Kesan itu kembali muncul. Sunan Kudus dalam teks ini bukan hanya ahli fikih. Sulit membayangkan ahli fikih semata memberi ketentuan untuk tidak menyembelih sapi. Sulit dibayangkan pula. Bangunan Masjid Kudus akan demikian jadinya, jika fikih semata jadi tumpuan.
Dalam satu fasal disampaikan “suluk yan tanpa usul kufur; usul tanpa suluk suwung”. Suluk, ilmu laku itu, yang tanpa didasari ilmu pokok dalam agama akan sesat. Namun ilmu usul tanpa dijadikan laku sehingga bisa dirasakan maka akan kering dan kosong. Suluk disini mengingatkanku pada maqalah “man dzaqa arofa”. Siapa yang diberikan ilmu-rasa maka dia telaf arif (makrifat).
Dan satu fasal lain menarik perhatian. Terkait dengan bulan Nabi. Lima pembagian martabat iman. Dalam martabat ketiga dikatakan:
imaning para walliyullahu lan imaning mu’mīn kang ngutama sadaya. Ingaran iman makebūl. Iman kang tinarima, sinukan dening Pangeran. Rehing sinung lulus anut saking parentah, anut saking lampah Nabiyullahu ’alaihis salām
Iman para wali dan orang-orang mukmin yang utama. Disebut iman maqbū. Iman yang diterima dan dianugerahkan oleh Pangeran. Sebabnya dianugerahkan karena terus-menerus mengikuti perintah, mengikuti jalan Nabiyullahu ’alaihis salām.
Kutipan nampak sangat cocok dengan bulan Nabi dan kondisi terkini. Nabi bukan hanya diikuti perintahnya, namun juga lampah atau laku beliau. Kembali ke usul dan suluk, parallelnya mungkin usul adalah hadis-hadis beliau. Namun suluk adalah bagaimana hadis-hadis itu hidup dalam laku. Dalam sirah beliau. Dalam uraian yang jelas adalah dalam kitab ihya. Ihya bukan peralihan Imam al-Ghazali dari fikih ke tasawuf. Namun dari pemahaman dangkal tentang hadis-hadis Nabi Muhammad ke pemahaman yang begitu dalam hingga merasuk ing badan kabeh jeroan (kata Gus Dur dalam syiir tanpo waton). Agar merasuk hingga mencium al-Quran tidak dipermasalahkan. Agar merasuk hingga al-Quran bukan hanya makhraj namun juga hal dan dzauq.
Tapi waktu sudah malam. Petugas mengingatkan “in five minutes we will close”. Imaginasi dan perbincangan kami dengan Sunan Kudus harus berhenti. Manuskrip ini harus kembali ke singgasananya. Ke rak-rak yang ada dibalik pintu misterius itu. Dan ruang baca ini siap untuk tidur kembali.