
Setiap perjalanan adalah bagian dari ikhtiar manusia menuju takdirnya. Tetapi di balik kemudi, ada tanggung jawab yang lebih besar daripada sekadar sampai tujuan. Inilah pelajaran berharga yang disampaikan KH. Ma’ruf Khozin dalam sebuah nasehat yang menyentuh, tentang pentingnya keselamatan, khususnya bagi para Kiai, Gus, dan para sopir muda yang mengantarkan mereka.
“Saya tidak tahu sudah berapa Kiai dan Gus yang mengalami kecelakaan mobil. Saya mendoakan agar para kiai dan gus yang wafat dalam musibah ini senantiasa diberi rahmat oleh Allah dan kita yang masih hidup tetap diberi perlindungan dan kesehatan,” ujar KH. Ma’ruf Khozin membuka ceritanya.
Beliau berbagi keprihatinan tentang fenomena umum di kalangan Kiai dan Gus yang mempercayakan perjalanan mereka kepada sopir-sopir muda — penuh semangat, tapi kadang juga penuh risiko. “Kiai dan Gus umumnya memiliki sopir yang masih muda. Senang ngebut. ‘Panas’ jika ada mobil yang mendahului. Merasa kuat. Kalau terjadi apa-apa sudah ada channel ke atasan, punya ‘Dekengan Pusat’, istilah Gus Iqdam,” lanjutnya, sambil mengingatkan betapa rasa percaya diri berlebihan bisa mengundang bahaya.
Bagi KH. Ma’ruf Khozin, mengendarai mobil untuk seorang Kiai bukanlah sekadar pekerjaan antar-jemput biasa. Ada amanah besar yang melekat. “Saya pesan ke sopir saya yang juga santri: ‘Kamu menyupiri saya tidak sama dengan penumpang lain. Saya di tempat acara ditunggu jemaah pengajian. Maka tugasmu membawa mobil saya dengan selamat dan tidak membahayakan pengguna jalan lain,'” tuturnya dengan tegas.
Beliau bukan hanya menegur sopir saat berkendara terlalu cepat, tapi juga mengatur waktu perjalanan dengan penuh perhitungan. “Kalau sopir saya ngebut, selalu saya tegur. Saya bilang bahwa saya tidak tergesa-gesa. Di samping itu saya selalu menyediakan space waktu yang longgar. Misalnya untuk ke tempat undangan kira-kira 1 jam (saya cek di Google Maps), maka saya berangkat satu jam setengah sebelumnya,” jelasnya.
Bagi KH. Ma’ruf Khozin, perjalanan yang tidak tergesa-gesa bukan hanya soal keselamatan, tetapi juga membuka pintu kebaikan lain. “Kalau pun saya datang duluan, bisa silaturahmi dengan lebih banyak orang. Saya menikmati perjalanan yang tidak tergesa-gesa. Sebab saat itulah saya bisa menulis di laptop, bisa baca kitab PDF dan lainnya,” imbuh beliau.
Nasehat ini makin mendalam saat KH. Ma’ruf menceritakan pengalamannya dengan komunitas SK (Sopir Kiai). Di sela acara, para sopir biasa berkumpul, bercengkerama, mengobrol, bahkan kadang melewatkan waktu untuk istirahat yang seharusnya.
“Saya pernah punya sopir yang tergabung di SK. Saat ketemu di tempat acara semua SK kumpul, jagongan, udud bareng, ngopi, ngobrol dan sebagainya. Lalu pulang nyupiri Kiai. Di situlah sangat rawan ngantuk dan lelah,” kenangnya.
Karena itu, beliau selalu memastikan sopirnya cukup beristirahat sebelum kembali berkendara. “Makanya saya selalu bilang istirahat di lokasi. Cari masjid untuk klesetan. Kalau belum istirahat, saya hentikan di rest area, saya suruh tidur. Kalau tidak bisa tidur, saya yang nyetir, ternyata sopir pulas tidurnya,” katanya sambil tertawa ringan.
Bagi KH. Ma’ruf Khozin, keselamatan jauh lebih utama daripada sekadar menjaga ‘wibawa’ seorang Kiai di belakang kemudi. Bahkan, beliau dengan lapang hati mengatakan, “Sopir juga perlu istirahat. Sesekali boleh lah Kiai nyupiri santri, yang penting selamat.”
Nasehat ini bukan hanya untuk para sopir dan para Kiai, tetapi juga untuk kita semua: bahwa dalam perjalanan hidup, menjaga keselamatan adalah bentuk syukur kepada nikmat Allah. Tidak tergesa-gesa, tidak berlomba-lomba di jalan, dan selalu menyiapkan ruang untuk istirahat adalah bagian dari menjaga amanah hidup.
Maka, saat kita mengemudi, apalagi membawa amanah besar di dalam kendaraan kita — ingatlah pesan sederhana ini: bukan siapa yang cepat sampai, tapi siapa yang sampai dengan selamat.
Referensi:
Gambar: pixabay