
Belakangan ini, dunia maya ramai membahas program unik dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Ia membuat kebijakan bantuan sosial (bansos) yang diberikan kepada pria, asal mereka mau menjalani vasektomi. Banyak yang protes — mulai dari aktivis hak asasi manusia, tokoh agama, sampai masyarakat umum.
Di satu sisi, program ini dianggap inovatif untuk mengendalikan jumlah penduduk. Tapi di sisi lain, banyak yang merasa aneh: masa iya, mau dapat bantuan harus rela disteril? Dari sudut pandang Islam sendiri, vasektomi bukan perkara sepele. Ada prinsip penting dalam agama yang mengatur tentang perlindungan keturunan. Terlebih lagi, ketika tindakan seperti ini terasa dipaksakan melalui program bantuan sosial, muncul banyak pertanyaan: apakah tindakan ini sebenarnya diperbolehkan? Oleh karena itu, artikel ini akan membahas pandangan ulama besar dari Nahdlatul Ulama (NU) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai vasektomi, terutama dalam konteks seperti ini.
Vasektomi adalah prosedur kontrasepsi bagi pria yang dilakukan dengan cara memotong atau menutup saluran sperma, sehingga mencegah keluarnya sperma saat ejakulasi. Metode ini sering dipilih karena dianggap aman, efektif, dan lebih ekonomis dibandingkan dengan berbagai metode kontrasepsi lainnya. Seiring berkembangnya teknologi medis, kini ditemukan metode rekanalisasi, yaitu prosedur untuk menyambung kembali saluran sperma yang telah diputus. Dengan adanya rekanalisasi, vasektomi tidak lagi dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen, melainkan bersifat reversibel dengan kemungkinan fungsi reproduksi dipulihkan.
Nahdlatul Ulama (NU) melalui Keputusan Muktamar ke-28 tahun 1989 awalnya mengharamkan praktik vasektomi. Keputusan ini didasarkan pada ‘illat bahwa vasektomi merupakan bentuk pemandulan permanen, yang bertentangan dengan prinsip menjaga keturunan dalam Islam (hifẓ al-nasl). Namun, dengan perkembangan ilmu kedokteran, ditemukan metode rekanalisasi yang memungkinkan pemulihan fungsi reproduksi setelah vasektomi.
Perubahan ini mengakibatkan perubahan ‘illat hukum yang mendasarinya. Karena pemandulan tidak lagi bersifat permanen, hukum vasektomi pun berubah dari haram menjadi boleh (mubāḥ), dengan syarat rekanalisasi memang secara medis memungkinkan.
Dalam menentukan sikap hukumnya, NU merujuk kepada kitab-kitab klasik seperti Hāsyiyah al-Bājūrī ʿalā Fatḥ al-Qarīb, Nihāyah al-Muḥtāj, dan Ghayah Talkhīṣ al-Murād min Fatāwā Ibn Ziyād. Selain itu, NU menggunakan pendekatan maqāṣid al-syarīʿah, menekankan bahwa perubahan hukum dilakukan demi kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Sedangkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Fatwa Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 menegaskan bahwa vasektomi haram jika menyebabkan pemandulan permanen. Namun, MUI memberikan ruang kebolehan dengan syarat-syarat tertentu. Vasektomi diperbolehkan jika: (1) tidak menyalahi prinsip-prinsip syariat Islam; (2) tidak menyebabkan kemandulan permanen; (3) terdapat jaminan medis bahwa fungsi reproduksi dapat dipulihkan melalui rekanalisasi; (4) prosedur tersebut tidak menimbulkan mudarat bagi pelaku; dan (5) tidak dikampanyekan sebagai metode kontrasepsi mantap.
Walaupun terdapat teknologi rekanalisasi, MUI tetap menekankan bahwa tingkat keberhasilannya tidak selalu terjamin seratus persen. Oleh karena itu, kehati-hatian sangat diperlukan. MUI pun menolak penggunaan vasektomi sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan sosial. Menurut MUI, tindakan ini berpotensi melanggar hak dasar masyarakat dan bertentangan dengan nilai-nilai perlindungan keturunan dalam ajaran Islam (hifz al-nasl).
Dalam menilai hukum vasektomi, NU dan MUI menggunakan pendekatan maqāṣid al-syarīʿah yang mendahulukan kemaslahatan. Namun, NU memiliki sikap lebih fleksibel, membolehkan vasektomi sejalan dengan perkembangan ilmiah, seperti ditemukannya metode rekanalisasi yang memungkinkan pemulihan fungsi reproduksi. Di sisi lain, MUI lebih ketat dan berhati-hati. Walaupun mengakui adanya rekanalisasi, MUI menilai risiko ketidakpastian dalam pemulihan reproduksi tetap harus diperhitungkan, sehingga mereka memandang vasektomi haram kecuali dalam keadaan darurat tertentu. Pendekatan ini mencerminkan keseimbangan antara adaptasi terhadap kemajuan medis dan kehati-hatian dalam mempertahankan prinsip syariat. Isu vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial, yang diusulkan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, memerlukan penanganan yang serius. Dalam perspektif Islam, hukum vasektomi tidak bisa dikategorikan secara absolut sebagai haram atau halal, melainkan tergantung pada ‘illat (sebab hukum) dan kondisi medis yang melatarbelakanginya. Jika vasektomi menyebabkan kemandulan permanen tanpa alasan syar`i yang cukup kuat, maka tindakan tersebut diharamkan. Namun, dalam kondisi tertentu dengan jaminan medis dan mempertimbangkan maslahat, hukum ini bisa berubah.
Oleh karena itu, penting untuk mengkaji ulang kebijakan yang menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan sosial secara menyeluruh. Kita perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak melanggar prinsip perlindungan terhadap keturunan dan tetap mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Wallahu a’lam.
Referensi
REFORMANS, U., 2021. VASEKTOMI DALAM TINJAUAN HUKUM ISLAM (ANALISIS MAQASID ASY-SYARI’AH DAN ‘ILLAT HUKUM TERHADAP HASIL KEPUTUSAN MUKTAMAR NAHDLATUL ULAMA NOMOR 381 TAHUN 1989) (Doctoral dissertation, UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA).
https://www.tempo.co/gaya-hidup/ingin-punya-keturunan-lagi-setelah-vasektomi-ini-prosedurnya-254284