Persamaan X² + 5 X -6 = 0 sebenarnya persamaan yang sederhana. Yang fenomenal adalah keunikannya. Dia adalah persamaan yang bisa dijawab dengan opsi, bukan jawaban tunggal. Jika ada yang menjawab X=1 itu benar, begitu dengan yang menjawab X = -6 juga benar. Demikian juga yang menjawab dengan 1 atau -6, dan (1; -6). Jawaban ini berbeda dengan persamaan 5 + 5 = 10 atau 5 + 5 = 15 – 5.
Sedangkan persamaan 8 x 3 = 23, sebenarnya tidak pernah ada bahkan dalam kategori bilangan imajiner sekalipun. Karena persamaan tersebut hanya ada dalam judul buku yang saya baca. Buku tersebut menggambarkan debat antara orang mahir dan orang bahlul. Tetapi orang mahir terpaksa mengiyakan pendapat si bahlul, meskipun tidak membenarkan pendapat si bahlul. Si bahlul menantang berani digorok leher kalau 8 x 3 tidak sama dengan 23. Akhirnya si mahir terpaksa mengalah agar tidak ada korban pembunuhan yang dosanya lebih besar dibanding mengiyakan hitungan yang salah.
Persamaan pertama seperti ini sering terjadi pada dunia sosial dan agama, tetapi tidak pada dunia eksak yang unik ini. Memang dalam aqidah (ushul) agama, terkadang dijelaskan dengan logika dengan kebenaran tunggal.
Salah satunya dipaparkan oleh Allah, “Andaikata ada Tuhan selain Allah, pasti sudah hancurlah alam semesta” (21: 22). Karena kalau ada dua Tuhan, pasti akan terjadi silang pendapat antara Tuhan A dan Tuhan B. A+B pasti akan tidak sepakat dalam satu hal misalnya soal menciptakan space (ruang), atoms (materi), law (hukum) and time (waktu). Maka menurut logika, alam semesta ini akan kacau ataupun runtuh.
Sebaliknya jika mereka bersepakat, maka mereka bukan Tuhan. Karena mereka sama-sama membutuhkan satu terhadap yang lain. Padahal sifat Tuhan itu sempurna dan tidak membutuhkan siapapun. Atau pertanyaan “Apakah Tuhan A bisa membunuh Tuhan B?” Kalau dijawab tidak bisa, berarti A bukan Tuhan karena tidak Maha Kuasa. Kalau jawabannya bisa, berarti B bukan Tuhan karena tidak Maha Hidup. Di sini kebenaran tunggalnya adalah Allah Maha Esa. Tidak ada opsi kebenaran selainnya.
Jadi, meskipun disebut ilmu pasti, persamaan pertama bisa memberikan alternatif jawaban. Pada waktu baru menemukan satu jawaban dari persamaan tersebut dengan hasil nilai (1) misalnya, sangat mungkin ia akan menyalahkan orang lain yang mengemukakan jawaban hasil (-6). Padahal kedua jawaban tersebut sebetulnya benar semuanya.
Hal ini memberi pelajaran bagi kita, untuk tidak gegabah menyalahkan orang lain sebelum dinyatakan bersalah oleh otoriti hukum logika, apalagi hukum deterministik dari Allah.
Persamaan kedua, bisa terjadi pada tataran furu’, kebenaran deterministik-pun bisa terjadi perubahan sebab. Contoh dari hadis otentik atau sahih: “Mana yang benar orang yang salat memakai sepatu dengan orang yang salat telanjang kaki?” Bahwa Nabi, secara sahih memerintahkan umat Islam untuk salat dengan bersandal agar menyelisihi orang Yahudi yang ketika mereka kebaktian dengan telanjang kaki. Adakah umat Islam hari ini ada yang ngotot salat dengan bersendal karena orang Yahudi hari ini jika kebaktian memakai sendal atau sepatu? Adakah orang tekstualis yang tidak mau melepas sendalnya ke masjid-masjid bersajadah yang dipandang suci oleh jamaahnya? Adakah orang Islam yang masuk masjid dengan bersendal atas nama mengamalkan hadit Nabi? Mengapa umat mengakui perubahan hukum tersebab perubahan ‘illat? Mengapa umat tidak boleh memaksa umat lain agar ketika kebaktian melepas sandal demi umat Islam bisa beramal seperti zaman nabi? Mengapa semua umat islam dalam hal ini menjadi rasionalis?
Disinilah kepiawaian para ulama dari sejak salafus-salih sampai sekarang. Wiratsah yang mereka tinggalkan dalam berbagai perangkat, kaidah dan rumus untuk memahami al-Kitab dan as-Sunnah begitu lengkap. Kita bisa mengembangkan dan menerapkan perangkat tersebut sembari menghindarkan diri dari perilaku ngotot si bahlul dengan kesalahan matematikanya, 8 x 3 = 23. Wallaahu A’lam bis-Shawaab.