Edisi 13 Jum’at, 9 Muharram 1439 H/29 September 2017 M
Oleh: Irham Sya’roni
Di masa lampau, seorang haji memang selalu menjadi cerminan pribadi yang istimewa. Haji adalah seorang yang nyaris paripurna sebagai manusia. Mereka tentu pribadi-pribadi yang telah melampaui banyak hal dalam hidup baik lahir maupun batin. Baik yang terkait kebendaan maupun yang bukan kebendaan. Seorang haji, secara umum, memiliki jejak langkah melebihi jejak langkah orang kebanyakan.
Walaupun secara substansial, haji tidaklah tepat dipandang lebih tinggi daripada ibadah-ibadah lainnya. Namun secara potensial, haji bisa dinilai sebagai ibadah tertinggi, dalam artian, pengalaman haji mampu membuka peluang untuk mengantarkan seseorang kepada kesadaran ketuhanan sebagai puncak dari tujuan hidup menjadi “ibaad al-rahman” (Q.S: Al-Furqan [25]: 63-77).
Konsep “ibaad al-rahman” boleh kita istilahkan dengan mabrur, sebagaimana sabda Nabi SAW, “Haji mabrur tiada balasan yang pantas baginya kecuali surga.” Tak satu pun jamaah calon haji yang tidak mengidamkan gelar itu. Meski Pemberian gelar ini adalah otoritas dan hak prerogratif Tuhan. Namun, bukan berarti manusia tidak diberi kesempatan oleh Tuhan untuk merabanya. Secara konkrit, haji mabrur dapat dicandra melalui perilaku Pak Haji atau Bu Hajjah sepulang ia berhaji, apakah perbuatannya semakin baik, atau statis (tidak berubah), atau justru kian buruk.
Secara sederhana, haji mabrur dapat diartikan sebagai haji yang tidak sekadar memenuhi rukun, kewajiban, dan sunnah-sunnah haji secara teknis fiqhiyah, namun lebih dari itu berimplikasi juga pada peningkatan kualitas kesalehan baik individual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, ibadah mahdlah maupun ibadah ijtima’yah, sekembali ke Tanah Air.
Dalam konteks kekinian dan kedisinian, relakah kita menyematkan gelar haji (mabrur) kepada beberapa orang yang berperilaku kontradiktif dengan nilai-nilai ketuhanan (god mentality) dan ajaran haji yang telah ia lakukan? Pasalnya, gelar haji yang disandang sama sekali belum berimplikasi positif terhadap perilakunya. Banyak bukti yang bisa diajukan, di antaranya masih banyak ditemukan pejabat yang bergelar haji terindikasi kasus kejahatan, seperti korupsi, pengebirian hak-hak rakyat dan sebagainya.
Menyaksikan fenomena masih kukuhnya mentalitas negatif para elit penguasa kita yang notabene mayoritas bergelar haji, tampaknya ada yang perlu dikoreksi oleh para calon haji. Bisa jadi harta yang mereka gunakan untuk berhaji adalah syubhat (masih diragukan kehalalannya) atau bahkan terang haramnya. Misalnya, hasil menindas, menipu, korupsi, atau praktek kolusi.
Kemungkinan lain yang menjadi trigger factor (faktor pemicu) tetap suburnya perilaku negatif adalah karena kesalahan niat dalam berhaji. Artinya, ibadah yang dilakukan bukan karena mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah) yang tersimpul dalam predikat haji mabrur.
Dalam konteks inilah, setidaknya ada beberapa jenis tipikal haji yang bisa kita cermati.
Pertama, tipe haji wisata. Orang yang berhaji model ini cenderung beranggapan, tanah suci adalah objek wisata layaknya Gunung Bromo, Pantai Sanur, Menara Eiffel, Patung Liberty, Tembok Besar Cina, dan sebagainya. Tidak heran, yang dominan di alam khayalnya adalah keindahan, kenyamanan, dan fantasi hiburan.
Selain itu, yang mendesak di pikirannya ketika hendak kembali ke Tanah Air adalah oleh-oleh apa yang akan dibawa, foto-foto seperti apa yang akan dipertontonkan dan cerita-cerita dahsyat apa yang akan dikisahkan kepada sanak saudara serta tetangga. Tipe ini kerap pula disebut oleh masyarakat Jawa sebagai “Haji Mabur”. “Mabur” dalam bahasa Jawa berarti terbang, yaitu sekadar menikmati terbang atau pelesiran dengan menaiki pesawat terbang.
Kedua, tipe haji bisnis. Yakni, mengambil kesempatan dalam kesempitan. Haji merupakan urusan akhirat. Karenanya, penghayatannya harus lebih berorientasi kepada kehidupan akhirat. Bagaimana bisa menghadap Allah secara ikhlas jika orientasi untung rugi materi terselip di dalam hati.
Mereka yang ditunjuk pemerintah sebagai petugas haji boleh juga kita kategorikan ke dalam tipikal ini. Tugas mereka semestinya melayani urusan jemaah haji, bukan malah mengambil kesempatan untuk berhaji. Akibatnya, banyak urusan jemaah haji yang terabaikan dan terbengkalai karena sibuk dengan ‘ibadahnya’ sendiri.
Ketiga, tipe haji politik. Yakni, haji yang lebih diorientasikan untuk meraih prestasi, prestise, dan hegemoni politik. Karena, bagaimana pun, gelar haji mampu mendongkrak status sosial seseorang. Target utama haji tipe ini adalah keterpikatan kantung suara umat Islam terhadap sosok yang sengaja ia desain menjadi seolah relijius. Biasanya, setelah ambisi politik tercapai, Pak Haji Politik ini akan kembali seperti aslinya, yaitu korup, arogan, otoriter, menindas, dan membiarkan massa pendukungnya tetap dalam belitan ekonomi, kebodohan, dan sebagainya.
Keempat, tipe haji mabrur. Tipe inilah yang dikehendaki Allah SWT. Indikasinya terlihat dari adanya peningkatan ibadah baik ritual maupun sosial, vertikal maupun horisontal, pasca berhaji.
Langkah awal dalam menggapai haji mabrur adalah meluruskan motivasi (niat) dan menanamkan keikhlasan serta ketawakkalannya semata-mata karena Allah SWT. Ciri Haji Mabrur terlihat dari Sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa yang keluar melaksanakan haji, kemudian dia menjaga perkataannya dari hal-hal yang kotor (rafats) dan tidak berbuat kefasikan, maka ia datang ke dunia ini seperti bayi yang baru dilahirkan dari rahim ibunya.” (HR. Bukhari)
Alangkah ruginya kita melakukan amal ibadah haji dengan bersusah payah, mengerahkan banyak pengorbanan fisik dan materi, namun kemabrurannya hilang karena kesalahan motivasi atau niat, seperti riya’ (pamer), ‘ujub (membanggakan diri sendiri), takabbur (sombong), dan sebagainya.
Untuk itu, meluruskan niat dalam haji merupakan keniscayaan. Dalam hal ini, tidak ada salahnya bila kita belajar pada Abu Yazid al-Bistami, salah seorang tokoh sufi. Abu Yazid pernah berujar, “Pada perjalanan haji yang pertama, saya hanya melihat rumah Tuhan; pada yang kedua, saya melihat rumah Tuhan dan pemilik-Nya; dan pada perjalanan haji yang ketiga, saya hanya melihat Tuhan saja.” Artinya, niat haji hanyalah karena Tuhan semata.
Semoga yang telah melaksanakan ibadah haji menjadi haji yang mabrur! Hajjan mabruura, wa sa’yan masykuura, dzanban maghfuura, wa tijaratan lan tabuur.
Versi mobile PDF artikel Aulawi Edisi ke-13 di atas bisa Anda download di: http://bit.ly/aulawi13, Jika tertarik ingin beriklan, silakan download di: http://bit.ly/iklanaulawi. Dan terimakasih diucapkan kepada sponsor Aulawi Edisi ke-12 berikut ini: