Edisi 11 Jum’at, 24 Dzulhijjah 1438 H/15 September 2017 M
Oleh: M. Fatchul Munif, S.Pd.I
Perkembangan bank syari’ah di Indonesia tampak menunjukkan kedigdayaannya. Transaksi ekonomi yang berjalan di tengah masyarakat hampir semuanya sudah dikendalikan dengan transaksi-transaksi elektronik yang diiringi pilihan model ekonomi konvensional atau ekonomi berbasis syariah. Masyarakat seolah diberikan pilihan, masih dengan pembiayaan pola lama yang identik riba atau pembiayaan syariah yang dikampanyekan bebas riba. Pertanyaannya, benarkah bank syari’ah atau lembaga pembiayaan syari’ah sudah benar-benar bersyari’ah?
Salah satu persoalan kaum muslim Indonesia menghadapi lembaga pembiayaan syari’ah adalah keraguan berfikir tentang keuntungan lembaga keuangan syari’ah (Islamic Banking) itu sendiri. Sebagai misal, jika seseorang mengajukan kredit atau pinjaman, maka umumnya angsuran yang dibebankan seolah lebih besar dibandingkan lembaga keuangan konvensional. Demikian juga jika masyarakat menggadaikan barang ke pegadaian syari’ah, maka penebusan biaya gadainya seringkali lebih besar daripada gadai umum. Bukankah penambahan nilai dari suatu pinjaman adalah riba? Bukankah penambahan nilai dari biaya penebusan gadai adalah riba?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi pokok utama bagaimana masyarakat tetap menjauh dan bahkan memandang ilusi terhadap lembaga syari’ah. Sebagian kalangan santri bahkan memandang bahwa identitas syari’ah hanya dijadikan sebagai komoditas persaingan usaha lembaga keuangan sekuler. Kalangan ini masih mengalami kegagapan merespon legitimasi lembaga pembiayaan syari’ah yang sebetulnya sudah ditetapkan melalui UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Jika kalangan santri yang merawat tradisi keilmuan Islam saja masih bersikap menjauh, tentu akan menjadi kekalahan umat Islam pada sektor ekonomi.
Lembaga pembiayaan syari’ah atau lebih fokusnya pada Bank Syari’ah pada dasarnya muncul dari kegelisahan tata keuangan konvensional. Bank umum dengan sistem bunga riba hanya berorientasi pada keuntungan (bisnis oriented) sehingga menghilangkan semangat tolong menolong. Bagaimana melihat perbedaannya? Tentu jawabnya adalah memahami setiap akad transaksi yang dilakukan pada lembaga keuangan syari’ah.
Jika seseorang memiliki kelebihan keuangan, maka meminjamkan uang tersebut pada orang lain tanpa mengharap jasa tentu sah-sah saja. Hal itu sebagai maksud mengamankan uang yang sewaktu-waktu juga bisa diminta pada orang lain yang meminjam. Demikian juga uang yang dimiliki disimpan terus menerus tanpa dipinjamkan pada orang lain tentu sah-sah saja dilakukan. Namun, pilihan terakhir tentu tidak akan memberi manfaat bagi orang lain. Maka muncullah pilihan ketiga bahwa uang yang tersimpan itu digunakan untuk pembiayaan modal orang lain sehingga pemilik uang itu akan mendapatkan manfaat dari penambahan nilai yang dihasilkan. Inilah prinsip dasar pergerakan sekaligus perputaran uang agar tidak berhenti pada kalangan tertutup.
Prinsip perputaran uang dalam sistem peminjaman itulah yang melahirkan kegelisahan pada masyarakat muslim karena perbankkan menetapkan jasa pengembalian pinjaman yang cenderung lebih besar. Nach, inilah kelemahan kaum muslim itu sendiri yang belum mampu melaksanakan praktik ekonomi dalam kitab kuning yang sejak dulu sudah dikenalkan. Santri madrasah Ibtidaiyah salaf misalnya, diajarkan kitab Fathul Qarib atau dikenal dengan Kitab Taqrib yang sudah dijelaskan tentang bai’ (jual beli), mudharabah (kerjasama modal), wakalah (fidusia), ijarah (sewa), qiradh (pinjaman), dan sebagainya. Oleh karenanya, menjadi penting agar dibumikan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak gagap dengan pemodal yang seolah hanya menjadikan syari’ah sebagai komoditas persaingan usaha.
Memahami Perbedaan Transaksi
Belum percayanya masyarakat santri terhadap bank syari’ah setidaknya dipengaruhi belum banyaknya keterlibatan kalangan santri dalam pengelolaan lembaga keuangan syari’ah. Orang-orang yang mengelola lembaga keuangan syariah saat ini adalah sisa-sisa orang konvensional. Artinya, pengelolanya belum mampu menjelaskan sistem dan produk di dalam lembaga keuangan syariah kepada masyarakat, sehingga hanya menguasai hitungan akuntansinya. Pada saat seseorang meminjam uang di bank syari’ah maka yang dirasakan justru lebih mahal dibandingkan meminjam dari bank konvensional. Mengapa demikian?
Bank adalah lembaga mediator antara orang yang menyimpan dana baik untuk tabungan atau yang lain dengan orang yang membutuhkan pembiayaan. Bentuk penyaluran uang oleh bank kepada masyarakat dilakukan dengan berbagai jenis layanan sebagaimana pembiayaan. Jika di bank konvesional, maka pembiayaan itu disebut kredit sedangkan pada bank syariah disebut murabahah. Perbedaan mendasar antara kredit dan murabahah terletak pada akad.
Bank konvensional menyalurkan pemberian pembiayaan kredit berarti nasabah diberikan uang. Masyarakat diberi kebebasan untuk menggunakan uang tersebut guna membeli sesuatu atau sesuai keperluan yang dibutuhkan sendiri. Bank tidak perlu tahu atas penggunaan uang nasabah. Bagi bank, yang terpenting adalah nasabah harus membayar kredit tersebut, dari pokok pinjaman disertai bunga yang telah ditetapkan.
Sebaliknya, bank syariah menyalurkan pembiayaan dengan nama murabahah yang berbeda dengan pemberian kredit. Murabahah adalah jual beli yang keuntungannya diketahui oleh dua pihak sehingga memiliki skenarionya tertentu. Nasabah meminta bantuan bank untuk membelikan sesuatu. Bank membeli barang yang diminta kemudian barang tersebut dijual kepada nasabah dengan keuntungannya diambil dari selisih harga barang yang diminta. Inilah salah satu contoh produk kredit kendaraan bermotor pada leasing. Nasabah mendatangi dealer untuk membeli kendaraan yang diinginkan, karena tidak memiliki dana maka berkonsultasi kepada lembaga keuangan syari’ah untuk dibantu. Prosesnya, lembaga keuangan itu membeli barang yang diinginkan nasabah kemudian dijual pada nasabah dengan harga yang sudah dinilai pertambahannya.
Karena bank dilarang melakukan aktivitas jual beli maka hak pembelian diwakilkan oleh nasabah. Maka dalam akad murabahah akan ada akad tambahan yaitu wakalah (perwakilan). Oleh karenanya, mekanisme yang dilakukan hampir sama dengan pemberian kredit pada bank konvensional. Hanya saja bank syariah sudah mengetahui barang yang dibeli oleh nasabah. Bank konvensional mengambil keuntungan dengan membebankan bunga pada nasabah. Tarif bunga akan mengacu pada tingkat suku bunga yang dikeluarkan oleh BI sehingga mengikuti mekanisme pasar. Kondisi berbeda dilakukan bank syariah, keuntungan diambil disebut margin. Perhitungan margin dalam murabahah didasarkan pada tingkat suku bunga pasar sehingga bisa jadi margin murabahah lebih tinggi dari tingkat suku bunga yang diberikan oleh bank konvensional.
Tidak salah jika berkembang di masyarakat bahwa bank syariah sama saja dengan bank konvensional. Hal yang membedakan adalah bungkusnya saja. Jika di bank konvensional namanya biasa saja maka pada bank syariah ada embel-embel syariah-nya. Jika di bank konvensional namanya bunga maka pada bank syariah namanya margin keuntungan. Bahkan lebih tinggi dari bunga. Penyataan bahwa bank syariah tidak murni syariah mungkin sering disampaikan oleh sebagian kalangan masyarakat. Akan tetapi itu semata dikarenakan oleh ketidaktahuan tentang bank syariah dan proses transaksinya. Setelah belajar tentang ekonomi syariah dan bank syariah, maka masyarakat tentu akan faham alasan-alasannya.
Pertama, terkait perwakilan pada murabahah. Bank adalah mediator. Bank bukanlah penjual atau pembeli melainkan pihak ke-tiga atau perantara. Sehingga bank dilarang melakukan jual beli. Karena tidak memungkin bagi bank untuk melakukan transaksi jual beli maka ditambahkanlah akad perwakilan dalam transaksi murabahah. Kedua, margin yang diidentikkan dengan bunga. Menetapkan “bunga” yang melebihi dari bank konvensional adalah bukan tanpa sebab karena bank syariah telah belajar dari krisis yang terjadi baik di dalam negeri maupun level internasional. Adanya krisis akan menyebabkan suku bunga yang bergejolak.
Bank syariah menetapkan “bunga” secara fix. Tingginya tingkat margin dalam murabahah memang tidak lepas dari dijadikannya tingkat suku bunga dan tingkat inflasi sebagai acuan dalam penentuan harga jual produk murabahah. Namun demikian, masyarakat tidak perlu khawatir dengan pergolakan inflasi dan suku bunga. Artinya, terjadi krisis ataupun tidak maka cicilan yang harus dibayar oleh nasabah tidak akan berubah. Sama seperti yang dicantumkan pada saat akad. Tidak akan berubah. Bagaimanapun kondisinya. Dengan demikian, penetapan “bunga” atau margin nilai lebih tinggi pada dasarnya untuk mengantisipasi kejadian ekonomi pada masa mendatang. Jika lebih rendah maka itu adalah keuntungan bagi bank, namun jika lebih tinggi maka kerugian itu menjadi tanggung jawab bank.
Di sinilah peran penting kalangan santri untuk menerjemahkan konsep fikih ekonomi agar lebih membumi untuk menjawab tantangan keuangan masyarakat. Fungsi dari lembaga keuangan syari’ah yang paling penting adalah menghimpun dana kecil-kecil untuk membiaya kebutuhan investasi kebutuhan umat. Kebutuhan itu bisa berupa kebutuhan barang dan jasa yang dihasilkan oleh industri atau kebutuhan lapangan lainnya. Jika kalangan santri tidak bekerja maka statusnya akan menjadi kaum fakir padahal Kudus sendiri adalah identik santri yang berjiwa pedagang (Gusjigang). []
Versi mobile PDF artikel Aulawi Edisi ke-11 di atas bisa Anda download di: http://bit.ly/Aulawi11, Jika tertarik ingin beriklan, silakan download di: http://bit.ly/iklanaulawi. Dan terimakasih diucapkan kepada sponsor Aulawi Edisi ke-11 berikut ini: