Buletin Aulawi

Indonesia Perlu Membincang Santri Menara Soal Toleransi

3 Mins read

Edisi 1 Jum’at, 13 Syawwal 1438 H / 7Juli 2017 M

Oleh: M Abdullah Badri

Krisis intoleransi di Indonesia diambang batas. Ada 59 persen warga Indonesia yang memiliki benih kebencian kepada kelompok lain sehingga ia tidak mau bertetangga dengan non muslim, cina dan orang lain yang tidak disukai karena keyakinan dan pendapat yang berbeda. 11,5 juta manusia Indonesia pontensial melakukan tindakan radikal.

Banyak yang mengaku paling nyunnah, namun tidak ikut Nabi soal cara bertetangga dan bersikap kepada kelompok lain. Jenazah orang Yahudi pun, oleh Nabi, dihormati atas nama kemanusiaan. Indonesia harus kembali membuka lembaran sejarah Sunan Kudus yang memiliki akhlak toleransi tinggi kepada pemeluk agama lain. Para santri Sunan Kudus, yang disebut santri menara, hingga kini masih mengikuti ajaran toleransi Mbah Sunan.

Tahun 2016 lalu, ditemukan angka mencengangkan tentang perilaku masyarakat Indonesia yang intoleran. Bangsa yang dulu disebut-sebut sangat menghormati perbedaan, kini 45 persen di antaranya justru memendam kebencian terhadap kelompok lain. Bahkan 7,7 dari angka tersebut mendukung gerakan ISIS. Naudzubillah.

Bentuk intoleransi yang paling tinggi di Indonesia, menurut penelitian Wahid Foundation adalah pernyataan dan penyebaran kebencian kepada kelompok lain, menyusul pembakaran dan perusakan properti orang lain serta diskriminasi atas dasar agama dan keyakinan. Kebencian muslim kepada non muslim, etnis Tionghoa serta kelompok lain, angkanya mencapai 59 persen. Jawa Tengah menempati urutan ketiga tertinggi kasus intoleransi setelah Jawa Barat dan Jawa Timur.

Bagi kelompok laki-laki muda, kebecian kepada kelompok lain menumbuhkan semangat jihad qital dan ingin merusak tempat ibadah (radikalisme). Sementara bagi kaum perempuan, kebencian mereka memicu sikap tidak mau bertetangga dengan kelompok yang tidak disukainya. Ada 9 kelompok yang cenderung dibenci oleh kalangan perempuan muda, antara lain pemeluk Yahudi, Kristen, Komunis dan Wahabi.

Baca Juga  Memakamkan Guru dan Siswa Lewat FDS

Ironisnya, temuan penelitian yang sudah diambang kritis itu bukannya menurun malah meningkat siiring banjirnya informasi yang tidak bisa dibendung berkah bebasnya akses media sosial yang makin menyerang ruang-ruang privat, dari Facebook (lebih terbuka) ke WhatsApp (lebih tertutup). Kini, ada 11,5 juta orang yang hidup di Indonesia ini berpotensi melakukan tindakan-tindakan radikal.

Kebencian kepada kelompok lain karena dia memiliki keyakinan yang berbeda adalah egoisme sosial yang dapat merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal ribuan tahun lalu, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam sudah menyampaikan pesan Allah subhanahu wa ta’ala agar umat manusia saling menghormati sejak dari kemanusiaannya.

Dalam hadits shahih, -sebagaimana sering dikutip Habib Ali Al-Jufri,- di depan Rasulullah Saw. pernah lewat jenazah seorang Yahudi. Lalu Beliau berdiri. Melihat tindakan menghormat tersebut, salah seorang sahabat berkata: “Ya Rasulallah, itu adalah jenazah seorang Yahudi“. Rasulullah Saw. menjawab: “Bukankah ia (juga) seorang manusia?“.

Hanya karena beda agama, Rasulullah tidak menghinakan jenazah orang Yahudi tersebut. Nabi tidak membenci orang lain karena keyakinan agamanya. Bencilah kekafirannya, bukan sosoknya. Itu teladan dalam bergaul. Benci karena keyahudiaannya, kanasraniannya, dan lainnya adalah bid’ah. Dalam Al Qur’an, Allah menegaskan “Kami telah memuliakan anak-anak Adam” (QS. Al-Isra’: 70).

Rekaman akhlak Nabi itulah yang kemudian dicontohkan pula oleh Sayyid Jafar Shadiq atau populer dengan sebutan Sunan Kudus. Larangan menyembelih sapi, menjamurnya soto kerbau (karena dilarang menyemeblih sapi) adalah jejak dakwah Mbah Jafar Shadiq di Kudus masih bisa dirasakan hingga sekarang.

Justru karena menghormati keyakinan orang lain, banyak yang simpati dan merasa nyaman. Larangan menyembelih sapi bagi warga Kudus adalah cara Mbah Sunan Kudus menghormati anak adam karena kemanusiannya. Dari kemanusiaan itulah, muncul cahaya iman.

Baca Juga  Menghormat Bendera Antara Cinta dan Bid'ah

Kini, kita patut prihatin. Atas dasar kebencian yang membuncah dan membabi buta, naluri rahmat umat Islam hampir hilang. Yang muslim dikomuniskan, atau dituduh kafir. Yang beriman dimurtad-murtadkan. Padahal dia baru belajar beberapa hadits, lalu tidak mengaca sejarah betapa susahnya para wali dan ulama zaman dahulu menjalin silaturrahim dengan komunitas lain li i’la’i kalimatillah.

Ketika Pondok Pesantren Madrasatul Qur’an (PPMQ) di Papua Barat akan dibakar karena dianggap mengancam keyakinan mayoritas masyarakat Katolik, Ustadz Darto Syafuddin sangat berterimakasih kepada Mbah Hasyim dan Gus Dur. Kedua foto kiai NU yang dipajang di aula ponpes tiba-tiba menyetop aksi.

Kepala suku yang akan membakar bertanya kepada Ustad Darto Syaifuddin. “Berhenti, kau punya pesantren ada hubungan apa dengan Tebuireng dan foto-foto ini?” Ia tidak bisa menjawab, suasana mencekam. Pedang sudah terhunus semua.

Namun, tiba-tiba mereka meletakkan senjata tanpa kecuali, duduk dengan hormat mengikuti kepala suku besarnya. Mereka berteriak, “Gus Dur… Gus Dur,.. kita punya orang tua… NU kita punya saudara…“.

Mereka masih ingat ketika Gus Dur memberikan kebebasan bagi warga Papua untuk mengibarkan bendera Kejora disamping bendera merah-putih asal tidak lebih tinggi. Mereka juga ingat, Gus Dur lah yang mengembalikan nama Irian Jaya kembali ke Papua. Mereka menganggap Gus Dur sebagai orang bijak dan orang suci karena sikapnya yang humanis, menghargai perbedaan karena kemanusiaan, meski posisinya sebagai presiden yang harus menjaga keutuhan wilayah NKRI.

Pak ustadz, mulai detik ini kami yang menjaga pesantren ini, kami yang jaga,” begitu ikrar mereka. Lalu berteriak bersama-sama tanda mendukung eksistensi pesantren, hingga kini. Jika cara yang digunakan Gus Dur hanya atas dasar politik, tentu kejadiannya tidak akan seperti itu.

Baca Juga  Santri Menara: Persaudaraan Anak Tunggal Bapak

Gus Dur hanya salah satu ikon santri, penerus perjuangan NU, ormas pengganti Majelis Dakwah Walisongo (Madawis), dimana Mbah Sunan Kudus menjadi tokoh pentingnya. Jika Sunan Kudus melarang menyembelih sapi atas nama toleransi, maka pengamal nya hingga kini adalah santrinya. Warga Kudus, mereka yang pernah nyantri di Kudus adalah santri menara.

Indonesia perlu membuka sejarah santri menara yang hingga kini masih meneruskan pesan toleransi Sunan Kudus, agar mau bertetangga dengan liyan, atas nama kemanusiaan, bukan kebencian. 59 persen kebencian sangat menggemaskan! (aulawi)

Komentar
Related posts
Buletin Aulawi

Menggagas Madzhab Kaligrafi Khat Arab Pegon Islam Nusantara

3 Mins read
Dibaca: 3,738 Edisi 14 Jum’at, 16 Muharram 1439 H/6 Oktober 2017 M Oleh M Abdullah Badri Pengurus LTN NU Jepara ADA keindahan…
Buletin Aulawi

Ragam Tipe Manusia Haji

3 Mins read
Dibaca: 3,190 Edisi 13 Jum’at, 9 Muharram 1439 H/29 September 2017 M Oleh: Irham Sya’roni Di masa lampau, seorang haji memang selalu…
Buletin Aulawi

Berharap Berkah Oleh Oleh Dari Makah

7 Mins read
Dibaca: 3,171 Edisi 12 Jum’at, 2 Muharram 1439 H/22 September 2017 M Oleh: Ahmad Irkham, S.Pd.I. Berbagai rangkaian ibadah haji telah usai…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.