SANTRIMENARA.COM, KUDUS – Hingga saat ini masih ada saja kelompok atau ormas yang menentang pemerintahan sebuah negara yang berasaskan Pancasila. Dengan mengatasnamakan Islam mereka mengusung ide Negara Islam atau Khilafah Islamiyyah. Pemerintahan yang menjadikan Pancasila sebagai dasar Negara dinyatakan sebagai Thaghut yang harus ditentang, karena negara harus berasaskan Islam. Sayang mereka melupakan hal penting dalam ajaran agama tentang hidup bermasyarakat dan bernegara. Saat generasi bangsa ini terjadi kemerosotan jiwa Nasionalisme, santri hadir dengan semangat patriotisme pada peringatan hari proklamasi kemerdekaan tahun ini dengan menggelar upacara bendera merah putih tanpa meninggalkan identitas khas santrinya, sarung dan peci hitam sebagai wujud cinta tanah air. Sejarah juga mencatat bagaimana perjuangan santri lewat resolusi jihadnya KH. Hasyim Asy’ari dalam mempertahankan kemerdekaan negeri ini.
Menurut KH. Ahmadi Abdul Fattah Wakil Rois Syuriah Pengurus Cabang NU Kudus saat ditemui SantriMenara.Com (12/08/16) Hubbul Wathan adalah cinta tanah air tempat kelahirannya, memperkuat tali hubungan dengan sesama bangsa dan memenuhi hak-hak tanah air yang tidak bertentangan dengan Islam. Masih menurut guru TBS ini cinta tanah air atau Hubbul Wathan sudah menjadi naluri dan fitrah manusia. Setiap insan pasti mencintai tanah airnya, sehingga ketika jauh dari tanah air pasti akan merasakan rindu pada tanah airnya. Ketika kerinduan ini tidak tersalurkan akan merasa susah. Bukti kalau cinta tanah air adalah fitrah manusia adalah Islam menerapkan taghrib sebagai hukuman bagi pelaku zina mukhsan yaitu dengan diasingkan dari tempat kelahirannya selama satu tahun.
Pengasuh Ponpes Al Fattah ini mengutip hadits Imam Hakim dalam kitab Al Mustadrak dan Imam Bayhaqi dalam Syi’abul Iman tentang kuatnya dalamnya cinta dan ikatan batin Nabi Muhammad SAW terhadap Makkah tanah airnya:
أَمَا وَاللهِ إِنِّي لأَخْرُجُ مِنْكِ وَإِنِّي لأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلاَدِ اللهِ إِلَيَّ، وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ، وَلَوْلاَ أَنَّ أَهْلَكِ أَخْرَجُوْنِيْ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Sungguh aku diusir darimu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan Allah. Andai pendudukmu (kafir Quraisy) tidak mengusirku darimu maka aku tidak akan meninggalkanmu.
Imam Ghazali juga mengatakan bahwa manusia itu betah tinggal di tempat kelahirannya apapun kondisinya meskipun gersang, tandus, kurang aman dan kurang nyaman. Karena cinta tanah air adalah gharizah atau naluri yang mendorongnya untuk merasa nyaman, rindu ketika jauh dan akan marah besar jika tanah air dilecehkan. Sehingga sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk cinta tanah air. Bukti cinta tanah air itu dengan memenuhi hak tanah air, berusaha, berkarya, bekerja dan kebaikan apa saja yang bisa dimanfaatkan oleh negara dan rakyatnya. Mengorbankan waktu, tenaga, fikiran, harta benda, jabatan bahkan jiwanya untuk tanah air.
Kiai Ahmadi Khatib Masjid Al Qasha Menara ini menyatakan bahwa pemerintah yang ideal menurut islam adalah pemerintahan yang menjamin keadilan secara merata tanpa pilih kasih, kesejahterannya juga merata serta mampu menciptakan negara yang aman dan tenteram. “Selama pemerintah tidak menghalangi ibadah dan tidak mengajak kemaksiatan, siapa saja belum boleh menentang pemerintah yang berideologi pancasila” tegasnya. Kiai Ahmadi mengutip surat An Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً (59)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa 59)
Dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik Rasulullah SAW bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنْ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ
“Dengar dan taatlah kalian meski andai diangkat sebagai pemimpin atas kalian adalah seorang hamba sahaya Habasyiy”.
KH. Bisyri Samsuri saat rezim Soeharto berkuasa melarang seluruh komponen NU baik Anshor, Banser dan lainnya melakukan berontak menjatuhkan presiden Soeharto. “Jangan! Dia masih memerintahkan shalat dan tidak mengahalangi ibadah.” kenang Kiai Ahmadi saat peristiwa itu. Lanjut beliau penggulingan kekuasaan itu banyak resikonya. Langkah yang tidak beresiko besar untuk amar ma’ruf nahi munkar adalah dengan jalan musyawarah. (smc-777)