Edisi 2 Jum’at, 20 Syawwal 1438 H / 14 Juli 2017 M
Oleh: Ahmad Irham, S.Pd.I
Hari raya idul fitri telah lewat, ada sebuah tradisi khususnya di Indonesia yang menggambarkan upaya untuk ‘memperbaiki dan mempererat hubungan antar sesama manusia’ sebagai simbol keharmonisan dengan lingkungan sosialnya setelah mereka memperbaiki hubungan dengan sang Khaliq selama satu bulan penuh. Tradisi tersebut populer dengan sebutan ‘Halal bi Halal’, sebuah nama dan istilah yang digunakan untuk saling bermaaf-maafan yang sama sekali tidak ditemukan di Negara Islam lainnya, terlebih di masa awal generasi Islam. Jika pada masa Rasulullah tidak ada istilah Halal Bi Halal, apakah Halal Bi Halal tergolong bid’ah atau sunah?
Halal bi halal merupakan kata majemuk made in Indonesia dari dua kata bahasa Arab halal yang mengapit kata penghubung (harf jar) ba (dibaca: bi). Disebut made in Indonesia karena kata majemuk halal bi halal hanya lazim digunakan oleh masyarakat Islam Asia dan tidak akan kita temukan dalam literatur berbahasa Arab.
Syekh Sholahuddin seorang pendidik dari Kairo Mesir saat masih bertugas mengajar di madrasah TBS sebagai guru bantu dari Universitas Al Azhar pernah mendapat undangan dari madrasah TBS untuk mengikuti halal bi halal bersama guru-guru madrasah dan masyarakat sekitar. Setelah membaca undangan dengan acara halal bi halal Syekh Sholahuddin kaget dan bingung. Dia merasa heran karena TBS sebagai madrasah berbasis agama malah mengadakan pesta free sex. Pemahaman ini karena dia mereka-reka dari makna halal bi halal yang baru ia kenal. Namun setelah mendengar penjelasan dari salah satu guru TBS dia berkenan hadir dan memuji-muji acara halal bi halal yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Islam di Indonesia.
Halal bi Halal sebagaimana disampaikan oleh KH Ahmadi Abdul Fattah saat halal bi halal keluarga besar Yayasan Arwaniyyah Kudus (20/08/2013) adalah saling memaafkan atau menghalalkan kesalahan, kekhilafan antara satu dengan lainnya. Lebih baik dan lebih sempurnanya adalah apabila silaturahim dan halal bi halal itu dilakukan dengan mengunjungi saudaranya satu persatu dengan membawa sekedar oleh-oleh, mengucap salam, mushafahah, ramah tamah dan saling menghalalkan serta saling mendo’akan.
Namun praktek semacam itu sangat berat dan tidak memungkinkan karena membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karenanya Acara Halal Bi Halal secara bersama-sama bisa menjadi pilihan yang lebih efesien dan ekonomis.
Sebagian besar masyarakat islam di Indonesia pasca penyambutan hari raya Idul Fitri dilanjutkan dengan sebuah tradisi yang terus dilestarikan yaitu penyelenggarakan kegiatan halal bi halal diantara sesama komunitas. Saking populernya kegiatan acara halal bilhalal ini, maka sepertinya semua lapisan masyarakat tidak mau ketinggalan menyelenggarakannya. Dari berbagai kalangan dan profesi, organisasi kemasyarakatan, perusahaan bahkan setiap instansi pemerintah di tingkat pusat sampai tingkat daerah yang paling terendah tidak pernah absen setiap tahun menyelenggarakan acara halal bi halal tersebut. Bahkan masjid dan langgar atau surau juga menyemarakkan pelenyelenggaraan halal bi halal tersebut. Selain itu adapula yang menyelenggarakannya di hotel berbintang, gedung pertemuan atau gedung olah raga, sesuai dengan kapasitas orang yang diundang.
Kenapa Harus Syawal?
Saling memaafkan itu tidak ditetapkan waktunya hanya di bulan Syawal setelah umat Islam menyelesaikan ibadah puasa Ramadlan, melainkan kapan saja setelah seseorang berbuat salah kepada orang lain, maka dia harus segera minta maaf kepada orang tersebut.
Tradisi halal bi halal yang berlaku di Indonesia dilaksanakan pada bulan Syawal karena setelah manusia berusaha menyelesaikan dosa-dosa yang berhubungan dengan Allah (huquq Allah) dengan puasa, tarawih dan amal-amal lain pada bulan Ramadlan sebagai bulan rahmat dan maghfirah, maka manusia menyempurnakannya dengan saling silaturahim untuk saling bermaafan atas kesalahan yang berhubungan dengan sesamanya (huquq al Adamy).
Yang terjadi bukan mengkhususkan saling bermaafan pada hari atau bulan tertentu tapi memanfaatkan momen yang tepat untuk menjaga tali silaturahim dan saling memaafkan dengan tetap meminta maaf dengan segera di bulan syawal atau bulan lainnya ketika melakukan kesalahan atau kedhaliman kepada sesamanya.
Bertaubat dari dosa huquq al adamy ada 4 langkah yang harus dilakukan:
- An Nadaamah (menyesal dan mengakui kesalahan)
- Al Iqlaa’ (berhenti seketika dari perbuatan dosa)
- Al ‘Azmu ‘alaa ‘an la ya’uuda limitslihi (tekad kuat untuk tidak mengulang kesalahan yang sama)
- Al Istihlal atau Thalab al Baraa’ah (minta halal atau dibebaskan)
Meminta halal atau pembebasan kepada orang yang didhalimi (mahdlum) dibuktikan dengan mengembalikan kedhaliman (rad al madhalim). Apabila mencuri maka harus mau mengembalikan barang curiannya, memukul orang lain harus siap dibalas dengan pukulan yang sama.
Yang perlu dijaga apabila menggelar acara halal bi halal adalah jangan sampai halal bi halal berubah menjadi halal bi haram karena acara silaturahim dan saling menghalalkan kesalahan yang jelas halal dibarengi dengan aktifitas yang haram seperti dangdutan, minum-minuman, ikhtilath, bersalaman dengan yang bukan muhrim dan kegiatan haram lainnya.
Memaknai Arti Bid’ah
Ada dua pelurusan cara berpikir dan berfikih dalam konteks bid’ah. Meski bid’ah diartikan sebagai inovasi, kreativitas, dan juga penambahan, kita harus memahami bid’ah berlaku hanya di wilayah ibadah mahdlah saja. Ibadah mahdlah hanya ada lima dalam Islam, yaitu Rukun Islam (syahadat, salat, zakat, puasa dan haji).
Harap diingat dan silakan diteliti, Alquran sebanyak 30 juz itu, perintah melakukan ibadah mahdlah hanya 3,5 persen saja. Contohnya, sehari semalam ada 24 jam, namun perintah salat hanya lima waktu. Jika satu waktu salat memakan lima menit, maka lima waktu berarti sekitar 25 menit. Dalam setahun ada 12 bulan dan kewajiban puasa hanya sebulan. Sama seperti haji yang diwajibkan sekali seumur hidup, itu pun bagi yang mampu. Rumus ibadah mahdlah yaitu “jangan lakukan apa saja kecuali yang diperintahkan”.
Kedua, bid’ah tak berlaku di wilayah ibadah muamalah dan perintah melakukan ibadah muamalah di Alquran sekitar 96,5 persen. Ibadah muamalah bisa berupa apa saja kecuali Rukun Islam tadi. Mulai dari jual beli, nikah, halal bi halal dan lainnya yang lebih berhubungan dengan manusia. Rumusnya, “apa saja boleh, kecuali yang dilarang”.
Halal bi halal jelas tak ada perintah, namun tak ada satu pun ayat Alquran dan hadits melarangnya. Jadi, silakan lakukan halal bi halal dengan konsep open house, temu kangen, reuni maupun pengajian.
Halal Bi Halal Dan Politik
Konon, tradisi Halal Bi Halal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 April 1725), yang terkenal dengan sebutan ‘Pangeran Sambernyawa’ walaupun saat itu belum dikenal istilah Halal Bi Halal. Untuk menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah salat Idul Fitri diadakan pertemuan antara raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.
Secara historis, kurun 1946-1948, Indonesia digegerkan berbagai konflik politik dan juga keberagaman ideologi bangsa. Kala itu, Presiden Sukarno ingin menyatukan, mendamaikan keberagaman itu. Namun, Sukarno ingin istilah beda selain silaturahmi, karena sudah biasa. Kemudian, atas usul KH Wahab Chasbullah tokoh NU, silaturahmi itu menjadi “Halal Bi Halal”.
Gus Dur pada tahun 2000 juga menggelar halal bi halal dengan konsep “Lebaran Rakyat”. Saat itu, rakyat boleh masuk istana, bahkan di ruang utama yang biasanya hanya tamu negara yang boleh masuk. Namun, berkat halal bi halal yang digelar Gus Dur, tukang sol sepatu, tunanetra, orang kampung, semua bisa menikmati “istana rakyat” yang sebenarnya. Apakah ini bid’ah?
Lebaran 2017 pada Ahad (25/06/2017) lalu, Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla juga menggelar halal bi halal dengan konsep open house yang dihadiri berbagai tokoh politik. Halal bi halal itu menjadikan nuansa adem dan mendamaikan. Sebab, dihadiri Anies Baswedan-Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono dan Baskoro (Ibas) Yudhoyono, dan tokoh lain yang menjadi rival politik pada Pilkada DKI Jakarta kemarin. Uniknya, Bachtiar Nasir dan Tim Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang belakangan disinyalir berseberangan dengan pemerintah juga hadir. Sudah seharusnya bangsa ini “move on” dari pertikaian, patah hati dan bangkit dari intrik politik berkepanjangan. Lewat halal bihalal, semoga bisa menjadi awal untuk merajut kembali persatuan dan perdamaian. Jadi, apakah Halal Bi Halal masih bid’ah? (aulawi)