Kebahagiaan menjadi salah satu hal yang diinginkan oleh setiap insan. Kemanapun gerak langkah kaki, kebahagiaan menjadi tujuan yang tidak bisa dihindari. Namun sebenarnya, terdapat beberapa hal unik yang menarik untuk dipertanyakan. Apakah manusia bisa menciptakan kebahagiaanya sendiri? Jika memang bisa bagaimanakah caranya? Atau apakah ia selalu memerlukan dopping untuk mewujudkannya?
Sejatinya, pembahasan terkait kebahagiaan memang bukanlah sebuah hal yang baru. Tetapi, ia akan terus menjadi konsep yang bersifat kekinian. Artinya, entah itu manusia zaman dahulu, sekarang atau masa depan akan secara continue membincang kebahagiaan.
Bahkan, konsepnya telah dikaji oleh banyak bidang dan tentunya di setiap bidang memiliki cara yang berbeda untuk mendefinisikan bahagia. Salah satunya ialah seperti sosok Buya Hamka atau Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau merupakan salah satu dari kalangan sufi modern yang lahir di Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 dan wafat ketika berusia 73 tahun. Tepatnya, pada tanggal 24 Juli 1981.
Pemikirannya telah tertuang dalam banyak karya seperti Falsafah Hidup, Lembaga Hidup, Lembaga Budi, Falsafah Ketuhanan, Tasawuf Modern, Islam Revolusi dan Ideologi dan masih banyak lagi. Tak hanya itu, beliau juga seorang novelis. Banyak karya sastranya yang membuming di antara para remaja seperti novel berjudul Tenggelamnya Kapan Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Merantau ke Deli.
Di antara para sufi, Buya Hamka menjadi sosok yang unik. Ketika para sufi beranggapan bahwa hal-hal yang sifatnya dunia alias materialistik harus dihindari, Buya Hamka tidak demikian. Baginya, kekayaan dunia dapat dijadikan sebagai jalan atau perantara untuk mendapatkan kebahagiaan seperti halnya dengan bersedekah.
Dalam buku Tasawuf Modern, Buya Hamka menuliskan bahwa kebahagiaan memang menjadi sesuatu yang tidak terdefinisikan, setiap orang memiliki standarisasinya masing-masing. Namun, perlu dibedakan antara kebagiaan yang semu dan hakiki.
Seperti sebagian besar orang berargumentasi bahwa kebahagiaan adalah tentang harta. Seringnya, hal ini dikatakan oleh orang miskin yang gagal memperoleh kekayaan, jabatan ataupun kekuasaan. Namun tak bisa dipungkiri, berapa banyak orang yang kaya tapi tidak bahagia? cukup banyak.
Hal ini disebabkan ia selalu menginginkan hal yang lebih dari apa yang dimiliki. Contohnya, orang yang telah memegang jabatan A, masih menginginkan jabatan B, C dan seterusnya.
Tidak hanya itu, hal kecil ketika di jalan sering ditemui orang yang hanya berjalan, lalu ada yang menggunakan sepeda, motor, dan mobil. Orang yang berjalan akan mengatakan “wah enak sekali orang itu bisa bersepeda”. Seterusnya, orang yang bersepeda akan mengatakan demikian kepada orang yang ada di atasnya. Padahal orang yang berjalan juga perlu bersyukur diberi nikmat sehat.
Dari hal tersebut, dapat ditelusuri bahwa keserakahan dan kurangnya rasa syukur terhadap apa yang di miliki merupakan penyebab tidak bahagia. Lebih lanjut, Buya Hamka memaparkan bahwa bahagia itu dekat dengan diri kita. Ia ada dalam diri kita, tidak di luar. Hal-hal yang di luar itu adalah hal semu yang sifatnya sementara seperti mobil, uang, jabatan, kekayaan.
Salah satu hal penting untuk meraih kebahagiaan hakiki adalah dengan agama. Islam sendiri mengajarkan tiga jalan menuju kebahagiaan. Pertama, yakni I’tiqad. I’tiqad merupakan tekad yang benar-benar berasal dari dirinya. Seseorang yang tidak mempunyai I’tiqad, ia bagaikan pucuk aru. Ia mengulai kesana kemari tetapi tak tahu arah.
Kedua ialah yakin atau nyata/terang. Lawan dari yakin ialah keraguan. Untuk menghilangkan rasa ragu perlu adanya dalil atau alasan yang jelas. Yakin memiliki tiga tingkatan yakni ilmul yakin, ainul yakin dan Haqqul yakin.
Kebanyakan orang menganggap bahwa I’tikad dan yakin merupakan dua hal yang sama. Padahal, tidak demikian. Titik perbedaanya yaitu I’tikad merupakan kesempurnaan pendapat dalam pikiran. Sedangkan yakin, ia lebih dalam dari I’tikad yakni keyakinan yang ada setelah melalui proses penyelidikan. Maka bisa dikatakan bahwa yakin sudah pasti merupakan I’tikad tapi I’tikad belum tentu yakin.
Ketiga ialah iman. Iman secara etimologi artinya memang percaya. Namun, Iman disini bukan hanya dengan kepercayaan atau keyakinan semata, tetapi perlu juga dengan lisan dan perbuatan.
Penulis : Merita Dian Erina
Editor : M. Choirul Hidayat