Hari Raya Idul Adha merupakan momentum dimana umat Islam diperintahkan menyembelih hewan kurban dan sunah melaksanakan shalat idul adha setiap tanggal 10 bulan Dzulhijjah.
Di Indonesia sapi, kerbau dan kambing merupakan hewan yang lazim dikurbankan. Namun, berbeda di Kudus, Jawa Tengah ada sedikit perbedaan tradisi. Sapi tidak diperbolehkan jika digunakan sebagai hewan kurban. Tentunya, tradisi ini tak lepas dari sejarah penyebaran agama Islam di Kudus yang dilakukan oleh Raden Ja’far Shodiq atau biasa kita kenal dengan Sunan Kudus.
Dalam menyebarkan agama Islam di kota Kudus, Ja’far Shodiq dikenal sebagai seorang Sunan yang fundamentalis dan ortodoks (berpegang teguh pada ajaran agama) jika dibandingkan dengan Walisongo yang lain. Sebagai seorang ulama, Ja’far Shodiq dikenal sebagai pemimpin yang alim dan bijaksana dalam menyebarkan dakwah agama Islam.
Sunan Kudus merupakan muballigh yang penuh toleransi dan simpati. Sunan Kudus mempunyai ciri khas dalam menyampaikan dakwahnya dengan menggunakan salah satu kesenian yang diminati masyarakat Kudus, seperti mengubah gendhing Mijil dan Maskumambang. Zaman dahulu, Kudus yang didominasi oleh umat Hindu, menjadi latar belakang mengapa Sunan Kudus mendirikan Menara Kudus hingga melarang penyembelihan sapi. Tujuanya jelas agar mendapat perhatian dan menghormati umat Hindu pada saat itu.
Buku Kudus dan Islam: Nilai-Nilai Budaya Lokal dan Industri, menceritakan bahwa mulanya, Sunan Kudus mengikat lembu (sapi) di halaman masjid menara dan bermaksud untuk menarik perhatian umat Hindu. Ternyata berhasil, pemeluk agama Hindu dan akhirnya berbondong-bondong datang ke masjid sehingga Sunan Kudus dapat berceramah, berdakwah dan saling berdialog dengan masyarakat Hindu.
Dalam rangka menghormati sekaligus mengambil hati orang yang beragama Hindu di Kudus, Sunan Kudus mengumumkan larangan kepada masyarakat Kudus agar tidak menyembelih dan memakan daging lembu, dengan tujuan untuk menghormati para pemeluk agama Hindu di Kudus. Pada akhirnya, sebagian dari para pemeluk agama Hindu pun menjadi simpati kepada Sunan Kudus dan bersedia masuk Islam.
Bentuk Strategi Dakwah
Sampai sekarang, masyarakat di Kota Kretek masih memegang tradisi tersebut dengan tidak menyembelih sapi, termasuk saat perayaan hari raya kurban, meskipun dalam agama Islam sendiri daging sapi tidak diharamkan. Namun, pelarangan yang digunakan Sunan Kudus ini merupakan simbol penghormatan bagi para pemeluk agama Hindu pada saat itu yang masih mendominasi di Kudus.
Tradisi untuk tidak menyembelih sapi merupakan bentuk implementasi dari strategi dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kudus, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam yang toleran dan santun. Dakwah yang dilakukan Sunan Kudus pada saat itu ialah merangkul bukan memukul. Dalam artian, selalu mengedepankan toleransi dan kesantunan dalam dinamika keagamaan, dengan mempertahankan tradisi Hindu pada saat itu.
Contoh lain bukti dari toleransi dakwah Sunan Kudus sendiri adalah perpaduan budaya lokal Hindu-Buddha dengan kehadiran Menara Kudus yang memiliki konstruksi seperti bangunan arsitektur candi atau pura di Bali. Nilai-nilai kebudayaan yang penuh sarat makna inilah yang harus dilestarikan sebagai budaya. Jika menara Kudus menjadi bukti arkeologis, maka pelarangan menyembelih sapi merupakan bukti budaya lelaku.
Buah hasil toleransi Sunan Kudus juga bisa dilihat melalui karya-karyanya di komplek Masjid Menara Kudus. Seperti, pancuran atau tempat penampung air untuk berwudhu yang berjumlah delapan, diadopsi dari ajaran Buddha yakni Astha Sanghika Marga atau yang berarti “Delapan Jalan Utama” yang dianut masyarakat pada masa itu.
Meski begitu, pelarangan menyembelih sapi di kota Kudus bukanlah ritual tanpa memiliki sarat makna, dibalik itu tradisi ini memiliki nilai edukatif dan setidaknya menjadi media pembelajaran bagi generasi saat ini terutama dalam hal pendidikan toleransi beragama.
Metode dakwah yang dilakukan Sunan Kudus tersebut juga bisa diterapkan dan dilestarikan untuk menghadapi isu-isu maupun konflik sosial antar umat beragama saat ini. Seperti, munculnya ideologi Islam transnasional yang cenderung ekstrim, atau intoleransi antar umat beragama di Indonesia. Selamat Idul Adha.