Essai

Beragama dengan Otak Kosong (4), Solawat Nariyah itu Syirik

3 Mins read

Oleh : Yanuar Aris Budiarto

SANTRIMENARA.COM, ESAI – Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa masyarakat muslim di tanah air ini tidak bisa dipisahkan dengan sholawat. Pembacaan Solawat Al Barzanji begitu membumi di jagad nusantara, saban malam jum’at dilantunkan bergantian di surau, di pesantren, di mushola, di masjid. Lidah jawa kita acapa menyebutnya dengan istilah berjanjen. Kadang juga dilakukan di malam senin, sesuai dengan malam kelahiran Nabi Muhammad, semoga sholawat tercurah selalu kepadanya.

Selain Sholawat Al Barzanji, ada juga Dziba’, dan hingar-bingar lantunan syair puji-pujian terhadap Baginda Nabi Muhammad itu pun menapaki bait kata yang kian syahdu; Simtud Duror. Lambat laun tradisi sholawatan semakin menggelinjang, sebagaimana pengajian sholawat bersama Habib Syech ramai dibanjiri pesholawat dari berbagai pelosok daerah Indonesia.

Fanatisme bersholawat itu melahirkan istilah fans pecinta sholawat. Ada yang menamai dirinya sebagai Syecher Mania, bahkan ada juga yang berlaqob Mafia Sholawat. Meskipun yang terakhir itu agak kontroversial, tapi saya yakin itu karena niatnya mengajak kaum grass root dan kelasnya orang mbeler untuk bersama-sama bersholawat.

Selain tiga di atas, ada banyak jenis sholawat. Ada sholawat Asnawiyyah yang penuh doa dan harapan dalam berbangsa Indonesia. Ada sholawat Tibbil Qulub untuk pelipur hati. Ada sholawat Badar. Tak terkecuali sholawat Nariyah yang melegenda. Semua tujuan sholawat adalah sama, berdoa kepada Allah yang didahuui dengan ihtirom dan ber-tawassul kepada Nabi Muhammad. Harapannya, dengan menyertakan ‘orang dalam’ sekaligus ‘orang terkasih’ sekaligus ‘orang terpilih’ Allah, kita yang berdoa mendapatkan apa yang dikehendaki, tentunya juga plus barokah dan syafa’atnya kelak di hari akhir.

Hal unik kembali muncul tak lama kemarin usai masyarakat islam nusantara menggelar acara “Nariyahan Nusantara” serentak se-Indonesia pada Sabtu 17 September 2016, ramai diberitakan di media-media Wahabi bahwa Solawat Nariyah adalah Solawat Neraka, dan menyatakan bahwa solawat Nariyah menganduk syirik, alias menyekutukan Allah.

Baca Juga  Sudut Pandang Melihat Foto Tontowi dan Liliyyana

wahabi

Berbagai provokasi dakwah khas Wahabi muncul, mencoba untuk menggeser pola pikir masyarakat muslim tanah air agar menjadi phobia dan resisten terhadap sholawat. Berbagai kalimat sarkastik muncul: “Sholawat Nariyah adalah sholawat Neraka. Nar itu Api Neraka. Iyyah itu pengikut. Jadi Nariyyah adalah pengikut Neraka.”

Ini adalah kesalaham dalam memahami tekstual kata dan gagal faham dalam mencari tahu sejarah sholawat itu. Sebagaimana Sholawat Asnawiyyah diambil dari nama pengarangnya. Makna Nariyah di situ adalah nama dari ulama’ yang menyusun sholawat itu sendiri. Adalah Syekh Nariyah ulama’ yang hidup semasa Nabi di daerah Maghribi (Maroko) yang menyusun sholawat tersebut.

Bukan itu saja, kalangan Wahabi yang suka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram itu juga menyatakan bahwa Sholawat Nariyyah itu syirik. Sebagaimana dilansir dari web konsultasisyariah.com, terdapat 4 kalimat dari Sholawat Nariyyah yang menurut mereka mengandung kesyirikan. Beberapa lafadz yang mereka anggap syirik itu artinya adalah sebagai berikut :
“Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas dengan Nabi Muhammad” ~ “Segala bencana bisa tersingkap dengannya” ~ “Segala kebutuhan bisa terkabulkan dengannya” ~ “Segala keinginan bisa didapatkan dengannya.”

Empat kalimat di atas merupakan pujian dan keistimewaan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam pemahaman mereka (para ustadz Wahabi), empat kemampuan di atas merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh Allah dan tidak dimiliki oleh makhluk-Nya. Siapa pun orangnya. Karena yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanya Allah.
Adalah benar, yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanya Allah semata. Tapi yang dimaksud dalam sholawat Nariyyah itu bukanlah karena kuasa Muhammad. Namun lebih mengarah kepada “dengan mu’jizat dan syafa’at nabi Muhammad, maka bi-idznillah semua bisa.”

Baca Juga  Kaum Sufi dan Gelora Bela Negara dari Nusantara (Bagian II)

Kita semua tentu tahu, Nabi Musa bisa membelah lautan. Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati. Nabi Sulaiman bisa berbahasa binatang, bisa menundukkan segala jenis jin, memindahkan kerajaan. Apakah semua itu karena skill ketrampilan mereka sendiri? Tentunya, itu karena dengan ijin Allah, maka diberilah keistimewaan tersebut. Namun secara sederhana, kita akan memahami bahwa Nabi Musa dengan tongkatnya membelah lautan, Nabi Isa bisa menghidupkan orang mati.

Ada yang perlu dipahami, tidak hanya dari makna harfiyahnya saja, melainkan juga secara epistemologi. Inilah mungkin yang dimaksud dengan lafadz ALLADZI TANHALLU BIHIL ‘UQOD (terurai dengannya segala ikatan), TANFARIJU BIHIL KUROB (dihilangkan melaluinya segala kesedihan) dan seterusnya. Dengan wasilah (perantara) Nabi Muhammad lah, semua itu terkabul. Jadi Nabi ‘hanya’ berperan sebagai wasilah yang bisa melancarkan doa umat yang bershalawat kepadanya.

Hal ini perlu pemahaman mendasar, inilah alasan mengapa santri di pesantren diajarkan ilmu balaghoh. Sebab terkadang makna dari kata-kata dalam sebuah kalimat itu sangat relatif dan bergantung pada prasangka yang ada di dalam otak. Jika prasangkanya sudah buruk apa yang diucapkan orang pun selalu nampak buruk dan salah. Apalagi dalam memahami kata-kata pujian yang disampaikan melalui puisi, kebanyakan maknanya adalah majazi, alias bukan makna sesungguhnya.

Sebagaimana orang yang jatuh cinta mengatakan “kecantikanmu mengalihkan duniaku”, tentu jika dipahami apa adanya bisa dikatakan syirik, karena membuat orang berpaling dari Tuhan dan mengarah pada mahluk. Namun maksudnya adalah membuat perhatiannya tertuju pada si fulan. Demikian pula ketika mengartikan lafadz WA YUSTASQOL GHOMAMU BIWAJ HIHIL KARIIM (dan dicurahkan hujan dengan wajahnya yang mulia), sebagaimana yang tercantum dalam lafadz shalawat nariyyah.

Baca Juga  Beragama dengan Otak Kosong (2), Ketika Putus Asa "Berhadiah Surga"

Terkait pujian yang dianggap berlebihan, nampaknya para ustadz Wahabi yang sering mengaku Manhaj Salafy itu seperti kurang adoh dolane, kurang banyak referensi kitabnya. Padahal dalam sebuah Hadist Qudsy dalam kitab Jannatul ‘Ashimah disebutkan, Allah berfirman “Laulaa ka Laulaa ka, Lamma Kholaqtul aflaak” yang artinya, “Jika tanpa kamu (Muhammad), maka tak ‘kan AKU ciptakan cakrawala,” Ini adalah kausal yang membuat kita harus memahami bahwa Muhammad adalah alasan kenapa cakrawala ini diciptakan, jadi sepantasnya jika dalam bermunajad, kita menukil nama ‘kenalan’ kita sebagai ‘orang dalam’-nya Allah agar maksud dan tujuan kita dikabulkan. Wallahu A’lam. (smc-69)

*santri MUS-YQ, Kwanaran Kudus.

Komentar
Related posts
Essai

Sejarah dan Makna Larangan Menyembelih Sapi dalam Dakwah Sunan Kudus

2 Mins read
Dakwah yang dilakukan Sunan Kudus pada saat itu ialah merangkul bukan memukul.
EssaiSufismeteladan

Bahagia Ala Sufi Modern, Buya Hamka

2 Mins read
Dibaca: 246 Kebahagiaan menjadi salah satu hal yang diinginkan oleh setiap insan. Kemanapun gerak langkah kaki, kebahagiaan menjadi tujuan yang tidak bisa…
Essaiopini

Bulan Ramadhan dan Tantangan di Dalamnya

2 Mins read
Dibaca: 180 Oleh: Moh. Haidar Latief Saat ini kita memasuki bulan yang mulia, bulan yang dinantikan kehadirannya oleh seluruh umat Muslim seluruh…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.