Belakangan, aksi bela ulama ramai terjadi. Mereka terkoordinir dengan pesan-pesan ajakan singkat, baik melalui pesan melalui media sosial seperti WhatsApp atau ajakan di lapangan. Sebagai seorang muslim, apalagi santri, membela ulamanya memang menjadi sebuah keharusan. Tapi mengetahui persoalan secara detail dan kritis, sehingga menggerakkan dirinya untuk mengikuti aksi bela ulama atau tidak, adalah sebuah kewajiban.
Aksi bela ulama atau kiai, tidak melulu dilakukan dengan turun di jalan. Ada banyak cara lebih elegan yang bisa dilakukan oleh seseorang dalam membela kiainya. Salah satu cara elegan itu adalah dengan menulis buku. Hal inilah yang dilakukan oleh M Abdullah Badri dalam bukunya yang berjudul “Dalil Sejarah TBS: Resensi Kritis Buku KHR. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara.” Meskipun penulisnya tidak menyebut sebagai buku, tapi secara bahasa (KBBI), sudah bisa disebut buku.
Buku ini merupakan sanggahan dan kritik atas beberapa poin di buku “KHR. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara” (disingkat SAQ) yang disebut Abdullah Badri dengan garangnya: “cenderung mengarah kepada agenda setting penyesatan opini massa dan pembaca.” Mengapa demikian? Karena menurutnya, buku yang dikritiknya tersebut memuat bid’ah data soal kesejarahan Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS), Kudus, yakni almamater dimana penulisnya merupakan alumni madrasah tersebut.
Ada tiga poin utama di buku SAQ yang menjadi sasaran kritik penulis dalam buku ini. Pertama, soal kata “school” yang dimaknai sebagai bagian kompromi dengan Belanda. Kedua, pendiri madrasah TBS yang tidak konsisten disebut satu nama dan tidak ada sumber otentiknya. Ketiga, judgement sepihak yang menganggap KH Ma’mun Ahmad (murid kinasih KH. Asnawi yang juga kiai sepuh pengasuh Pondok Pesantren Tasywiquth-Thullab Balaitengahan dan Madrasah TBS Kudus) sebagai “orangnya biasa-biasa saja (tidak alim), cuma ayahnya orang alim dan mempunyai pondok” (hlm.4), dan K. Sofwan Duri juga disebut tidak alim (hlm.106).
Soal poin pertama, Abdullah Badri berhasil menyajikan data sejarah mengapa kata school dipakai oleh TBS. Penggunaan kata tersebut berkaitan dengan kebijakan Belanda yang menerapkan Ordonnantie Wildeschollen pada 1932, yang berisi peraturan bagi seseorang atau lembaga penyelenggara pendidikan harus ijin kepada pemerintah (hlm.45). Alih-alih dituduh berkompromi dengan Belanda, penulis buku ini justru berargumen bahwa pemberian kata school dan juga penambahan kata pergoeroean pada 1934, sehingga menjadi Pergoeroean Tasjwiqoeththoellab School, Koedoes, merupakan bentuk jihad strategis melawan ketidakadilan Belanda. Sebab, sebelum Ordonnantie Wildeschollen 1932 diterapkan, Belanda sudah menerapkan Goeroe Ordonnantie 1905 dan Ordonnantie Wildesschollen 1923. Namun ketika TBS berdiri pada 1928, para pendiri tidak tunduk dengan peraturan tersebut (hlm. 45-46).
Kedua, penulis buku sebagai alumni tentunya lebih tahu mengenai sejarah almamaternya dibanding “orang lain.” Sebutan nama pendiri yang tidak konsisten dan tanpa sumber otentik oleh para penulis buku SAQ, dibantah dengan baik oleh Abdullah Badri. Buku SAQ menyebut pendiri TBS adalah KH A Abdul Kholiq dan di lain tempat disebut KH Arwani. Berdasarkan sumber-sumber yang disebutnya, Abdullah Badri menyedorkan dua nama yang sama sekali berbeda dengan penulis buku SAQ, yaitu KH Ahamad dan KH Nur Chudrin (hlm.70). Namun sayangnya, ia belum selesai menggali fakta sejarah lebih dalam, sehingga belum bisa menyimpulkan mana yang lebih tepat sebagai pendiri TBS.
Adapun ketiga, penyebutan tidak alim kepada seorang guru menjadikan para muridnya meradang atas pernyataan di buku SAQ (hlm.4), tak terkecuali penulis buku ini. Tuduhan tidak alim kepada KH Ma’mun Ahmad maupun K. Sofwan Duri dibantah dengan apik, dengan cerita-cerita kesaksian, seperti dari KH Abdullah Sa’ad, KH Hasan Askari (Mbah Mangli) dan KH Turaichan Adjhuri (Mbah Tur). Ala-ala santri, penjelasan penulis pada poin ini seringkali menyantumkan qoul di kitab Ta’lim al-Muta’allim perihal adab, menjadikan kita mengingat kembali betapa pentingnya adab murid kepada seorang guru.
Membaca buku ini Anda akan menemukan kata-kata yang cukup pedas dialamatkan kepada penulis buku SAQ. Hal ini dapat dimengerti dan wajar karena penulis buku ini seperti membela kiainya, yakni sebagai santri dimana kiai dan almamaternya dinarasikan tidak tepat. Kritik tersebut tidak boleh dimaknai sebuah pertentangan yang mengurangi hubungan persaudaraan antara santri Madrasah TBS dan Madrasah Qudsiyyah.
Dalam tradisi syarah-menyarah di kitab kuning, bahasa kritik yang cukup pedas antara ulama satu dengan ulama lain, sebetulnya biasa terjadi dan tidak masalah. Seperti Syekh Zakariyya al-Anshari ketika mengkritik Imam Nawawi dalam kitab Fathul Wahab sering mengatakan “wata’biri …. ‘aula/afdlola min ta’birihi….” (pernyataan saya lebih baik/lebih utama dari pernyataan An-Nawawi). Karya lain yang cukup populer adalah karya al-Ghazali ketika mengkritik Ibnu Sina dalam bukunya Tahafut al-Falasah (kerancauan para filsuf) yang kemudian dikritik lagi oleh Ibnu Rusyd dalam buku Tahafut at-Tahafut (kerancauan kitab Tahafut al-Falasah karya al-Ghazali).
Walhasil, kritik semacam tulisan Abdullah Badri kepada para penulis buku SAQ ini justru membuat kita semakin melek lagi terhadap fakta-fakta sejarah ulama kita yang masih banyak terpendam dan masih perlu digali. Lalu apakah para penulis buku SAQ menanggapi buku ini? Kita tunggu saja.