berita

Respons atas putusan Majlis Tarjih Muhammadiyah seputar Waktu Subuh ; Kriteria Subuh -20 derajat masih relevan-kah?

2 Mins read

Oleh : Muhammad Syaifuddin * Anggota LFNU Kudus & Muhadlir Ma’had Aly TBS

Perbincangan seputar fajar shadiq akhir-akhir ini kembali mendapat perhatian khusus di kalangan umat Islam Indonesia. Terlebih setelah Muhammadiyah menetapkan kriteria baru 8 menit setelah Subuh versi kemenag RI. Artinya secara astronomis Muhammadiyah saat ini menggunakan kriteria -18 derajat untuk ketinggian Matahari saat awal Subuh, menggantikan kriteria sebelumnya (kriteria kemenag RI) -20 derajat. Pandangan ini diklaim didukung oleh pandangan mayoritas para ulama ahli astronomi.
Bagaimana pandangan Nahdlatul Ulama mengenai hal ini? Tentu, penulis tidak bisa mewakili pandangan Nadliyyin secara umum, apalagi mengklaim tulisan sederhana ini sebagai pandangan umum Nahdlatul Ulama. Dalam hal ini penulis hanya akan mengemukakan beberapa upaya ahli falak di kalangan Nahdlatul Ulama dalam merespon isu fajar shadiq ini.

Pertama, isu terkait fajar shadiq ini bukanlah hal baru di kalangan umat Islam. Namun, isu ini kembali menghangat dalam beberapa tahun terakhir ini setelah adanya penelitian yang dimotori oleh Profesor Tono Saksono (tokoh Muhammadiyah) yang mempertanyakan mengapa Subuh di Indonesia terlalu awal? Hal tersebut beliau sajikan dalam sebuah buku dan dijelaskan secara singkat di channel YouTube Tono Saksono. Singkatnya, di awal beliau mencoba meneliti kehadiran fajar shadiq menggunakan alat yang bernama SQM (Sky Quality Meter) yaitu semacam alat yang bisa mengukur kecerlangan langit. Alat tersebut dianggap sangat peka terhadap kemunculan cahaya meskipun cahaya itu sangat minim dan sulit terdeteksi menggunakan mata kepala. Dari penelitian beliau ditemukan fakta bahwa kemuculan fajar shadiq yang terdeteksi oleh SQM bukan di ketinggian Matahari -20 derajat, melainkan kisaran -15 derajat atau 20 menit setelah fajar/Subuh versi Kemenag RI.

Baca Juga  Besok! Ikuti Muhasabah dan Observasi Gerhana Bulan

Kedua, ahli falak di kalangan Nahdlatul Ulama khususnya yang tergabung dalam LF PWNU Jawa Timur dengan cepat merespon statement dari Profesor Tono dengan melakukan pengamatan fajar shadiq di beberapa lokasi di Jawa Timur maupun Jawa Tengah dengan menggunakan alat yang sama yaitu SQM. Dari pengamatan tersebut memang diketahui kemunculan fajar shadiq yang terdeteksi menggunakan alat SQM ini berbeda-beda sesuai tingkat polusi cahaya di suatu daerah maupun faktor cuaca. Namun, diungkapkan oleh ketua LF PWNU Jawa Timur KH. Shofiyullah dalam acara Kaderisasi Ulama Hisab Rukyat XXV di PP. Darut Tauhid Al-Hasaniyah Tuban pada tanggal 14-15 Maret 2020 bahwa hasil pengamatan yang dimotori oleh Gus Moeid dkk ditemukan dari beberapa varian data tadi bahwa fajar shadiq sudah terdeteksi di ketinggian Matahari -18 derajat. Bahkan sebelumnya di tahun 2018 telah dilaksanakan Temu Kerja Hisab Rukyat Kemenag RI di Labuan Bajo sekaligus di sana para pakar astronomi dan falak memanfaatkannya untuk melakukan pengamatan fajar shadiq dan ternyata fajar di sana sudah bisa terdeteksi pada ketinggian Matahari -19,5 derajat sampai -20 derajat.

Ketiga, himbauan dari Ketua Lembaga Falakiyah PBNU dalam acara Diklat Falakiyah 1 yang diselenggarakan oleh Ma’had Aly TBS pada tanggal 27 Desember 2020 di PP. Yanbu’ul Qur’an Menawan menegaskan bahwa memang dalam urusan ibadah kita dituntut harus sesuai dengan kenyataan di lapangan, sejalan dengan kaidah fiqh yang berbunyi
ﺍﻟﻌﺒﺮﺓ ﻓﻲ ﺍﻟﻌﺒﺎﺩﺍﺕ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻧﻔﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻭﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﻇﻦ ﺍﻟﻤﻜﻠﻒ
“Yang menjadi acuan utama dalam hal-hal yang berkaitan dengan ibadah adalah dengan melihat kenyataan yang ada dan apa dugaan yang kuat orang yang terbebani ibadah”
Tetapi, dalam penentuan kriteria Subuh ini masih akan dilakukan kajian-kajian dan akan terus berlanjut sehingga ditemukan nilai atau kriteria yang relevan dan akurat. Walhasil, untuk saat ini kriteria Subuh -20 derajat masih dianggap relevan dan jadwal salat yang beredar saat ini pun masih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dalam kesempatan itu juga, Drs. KH. Sirril Wafa yang juga putra dari maestro falak TBS simbah KH Turaichan Adjhuri mendorong agar generasi milenial falak semangat dalam melakukan riset falakiyah untuk menjawab problematika falakiyah di masa yang akan datang.

Komentar
Related posts
beritainfo

Gus Nadir Ajak Santri Indonesia Menjadi Teladan Dunia

2 Mins read
Dibaca: 37 Damaskus,– PCINU Suriah kembali menghadirkan perayaan Hari Santri Nasional dengan mengadakan webinar inspiratif bertema “Jangan Cuma Bangga Jadi Santri, Tapi…
beritainfoInternasional

PCINU Suriah Sukses Gelar Webinar Hari Santri

2 Mins read
Dibaca: 32 Damaskus, Suriah – Dalam semangat Hari Santri Nasional, PCINU Suriah menggelar webinar dengan tema “Moderat dalam Berprinsip, Rabbaniyah dalam Berperilaku”…
beritaInternasional

PCINU Suriah Meriahkan Peringatan Hari Santri Nasional 2024: Menggelorakan Semangat Kebangsaan di Negeri Syam

1 Mins read
Dibaca: 59 Damaskus, Suriah – Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul ‘Ulama (PCINU) Suriah di Damaskus memperingati Hari Santri Nasional (HSN) 1446 H/2024 M…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.