Islah Gusmian dalam salah satu seminarnya mengatakan bahwa salah satu nalar yang menjadi kekhasan tafsir al-Quran Nusantara adalah nalar eklektis. Nalar ini dipahami sebagai upaya seorang penafsir dalam menyerap budaya dan pandangan dunia yang selaras dengan substansi al-Quran di lingkup praktik penafsirannya. Dengan kata lain, ia menjelaskan maksud dari suatu ayat dengan hal-hal yang bersifat Nasionalis, baik pandangan budaya, ataupun kisah yang berlatar Nusantara. Cara yang demikian dianggap lebih mudah dalam menjelaskan kandungan al-Quran.
Ulama yang cukup sering memakai nalar ini adalah Kiai Sya’roni Achmadi. Salah satunya ketika menjelaskan QS. al-Ikhlas yang bermuatan teologi. Bahwa sabab al-nuzul surah tersebut dilatarbelakangi oleh pertanyaan orang-orang kafir Quraisy mengenai siapakah Tuhan Nabi Muhammad dan seperti apakah Dia. Mereka menyangka bahwa Tuhan Nabi Muhammad saw sama seperti berhala yang mereka sembah. Maka turunlah QS. Al-Ikhlas sebagai jawaban atas pertanyaan mereka.
قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اَللّٰهُ الصَّمَدُۚ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ
(1) Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa, (2) Allah tempat meminta segala sesuatu, (3) (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, (4) Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. al-Ikhlas: 1-4)
Dalam analisis terminologi, Kiai Sya’roni memaknai ‘ash-shomadu’ dengan arti “Dzat kang nglengkapi kebutuhe wong sak jagat (Dzat yang melengkapi kebutuhan seluruh manusia di jagat raya).” Kiai Sya’roni juga menjelaskan beberapa keutamaan dan khasiat dari QS. al-Ikhlas, sebagaimana yang terungkap dalam Tafsir ash-Shawi.
Namun, Kiai Sya’roni Achmadi punya keterangan lebih lanjut terkait penjelasan substansi yang terkandung dalam QS. Al-Ikhlas tersebut. Penjelasan dari kiai Sya’roni Achmadi, kebanyakan diambilkan dari cerita-cerita khas Nusantara.
Dikisahkan bahwa suatu waktu Syekh Siti Jenar sedang menguraikan tentang ke-Esa-an Allah sebagaimana termuat dalam QS. Al-Ikhlas. Bahwa seluruh makhluk di jagat raya, baik langit, bumi, matahari, bulan, bintang, manusia, hewan, dan semuanya adalah ciptaan Allah, Dzat Yang Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyamai-Nya. Tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dia-lah Tuhan semesta alam yang menjadi tumpuan.
Mendengar uraian Syekh Siti Jenar sebagaimana di atas, Jumina, santri kinasih sekaligus juru masaknya pun mengajukan keberatan.
“Mbah Abdul Jalil (nama asli Syekh Siti Jenar), panjenengan tadi menjelaskan bahwa Tuhan itu harus hanya satu,” demikian Jumina memulai intrupsinya. “Mengenai hal ini, kulo mboten mufakat (saya tidak sepakat). Makhluk sebanyak ini mana mungkin diurus satu Tuhan?”
“Lha coro kuwe pengeran piro? (Menurutmu Tuhan ada berapa?),” jawab Syekh Siti Jenar.
Lantas Jumina pun menjawab, “Menurutku Tuhan ada enam. Boleh lebih, tapi nggak mau kalau kurang dari enam.”
“Oh begitu ya. Terus bagaimana ceritanya kok bisa enam?”
Dengan pedenya, Jumina menjawab panjang lebar. “Pengeran (Tuhan) ada enam sebab minimal ada enam pos yang akan dikuasai oleh masing-masing Pengeran. Ada Tuhan yang mengurusi manusia beserta kebutuhannya. Ada Tuhan yang mengurusi ikan di lautan yang jumlahnya triliyunan. Ada lagi Tuhan yang menguasai hewan-hewan di hutan agar tidak masuk ke tengah kota. Ada juga yang mengatur matahari dan bulan agar tidak bertabrakan. Lalu Tuhan yang mengendalikan bintang-bintang agar tidak berjatuhan. Terakhir, Tuhan yang menguasai makhluk di atas langit.”
“Di atas langit kan banyak makhluk, masak cuma satu Tuhan?,” protes Syekh Siti Jenar mencoba mengikuti alur pemikiran Jumina.
“Makanya tadi saya bilang minimal enam Tuhan. Boleh lebih, tapi nggak boleh kurang.”
Demi menjawab keberatan Jumina, Syekh Siti Jenar memberhentikan pengajiannya sementara waktu. Beliau berjanji akan menuntaskan penjelasannya di lain kesempatan. Jumina pun dilanda penasaran. Sebab keberatannya tidak juga dijawab oleh gurunya sampai beberapa waktu.
Hingga sampai pada suatu ketika, Syekh Siti Jenar mendapatkan sebuah undangan walimahan ke Banyuwangi. Lalu Jumina dipanggil, “Jumina, saya mendapat undangan walimah pernikahan di Banyuwangi. Katanya di sana akan digelar pertunjukan wayang kulit. Untuk itu, kamu siapkan dokar dan kuda yang bagus.”
Singkat cerita Syekh Siti Jenar dan Jumina, berangkat dari Jepara menuju lokasi acara di Banyuwangi. Sesampainya di sana, keduanya bergabung dengan undangan lain untuk menikmati pagelaran wayang kulit. Syekh Siti Jenar dipersilakan di depan dan diikuti oleh Jumina.
Pagelaran dimulai dan Dalang mulai memainkan wayang-wayangnya. Semakin malam, cerita semakin menarik. Dengan lihai Dalang menghidupkan cerita melalui olah suaranya. Sesaat Syekh Siti Jenar melirik ke arah Jumina. Rupanya ia benar-benar asyik-masyuk menikmati wayang.
Di tengah asyiknya pagelaran, Syekh Siti Jenar tiba-tiba berdiri lalu pergi meninggalkan arena acara. Sontak Jumina pun kaget. Ada apa gerangan dengan Mbah Jalil, kok tiba-tiba pergi saat cerita sedang seru-serunya.
Jumina pun ikut berdiri dan mencoba mengejar langkah Syekh Siti Jenar. “Mbah Jalil… Mbah Jalil… Tunggu!,” panggil Jumina. Syekh Siti Jenar tidak menghiraukan panggilan muridnya. Jumina pun terus mengejar setengah berlari. Sampai ketika keduanya berada agak jauh dari keramaian acara, Syekh Siti Jenar berhenti dan Jumina pun mendekat.
“Mbah jalil, kenapa panjenengan pergi? Cerita wayang apike kados mekaten, tapi malah panjenegan tinggal kesah? (cerita wayang sedang seru-serunya tapi malah panjenengan tinggal pergi?),” tanya Jumina.
“Saya pusing, Jumina,” Jawab Syekh Siti Jenar. “Wayang sebanyak itu kok dalangnya cuma satu. Saya nggak setuju.”
“Lha menurut panjenengan pripun, Mbah? (Menurut panjenengan harusnya bagaimana, Mbah?)”
“Dalang wayang jumlahnya harus enam. Boleh lebih, tapi nggak mau kalau kurang,” jawab Syekh Siti Jenar.
Tanpa pikir panjang Jumina lantas menanggapi jawaban gurunya. “Saya nggak setuju kalau enam. Tidak mungkin. Bisa kacau pagelarannya, Mbah.”
“Jumina… Jumina… Saya heran dengan kamu. Kemarin saya jelaskan kalau Allah harus satu, kamu nggak setuju. Sekarang saya turuti bahwa dalang harus berjumlah enam, kamu masih menyangkal juga. Ini yang benar saya atau kamu?”
Jumina berpikir keras. Ia tidak menduga kalau pagelaran wayang yang ia saksikan tadi adalah lanjutan dari pengajian tauhid tempo hari. Ia tidak dapat berkutik lagi. Keberatannya dimentahkan oleh gurunya melalui pagelaran wayang.
“Mbah Jalil, panjenengan memang dakik (cerdas). Jadi panjenengan ngajak kulo nonton wayang ini sebagai lanjutan pengajian tempo hari itu toh?!”
Syekh Siti Jenar mengiyakan. Jumina pun mengamini seraya berkata, “Nggih kulo sampun mantep bilih gusti Allah mesti sawiji (Baik, sekarang saya sudah mantap dan yakin bahwa Allah harus Esa).”
Demikianlah cara Kiai Sya’roni menjelaskan substansi QS. Al-Ikhlas. Beliau tidak perlu memunculkan teori-teori yang njlimet untuk menguraikannya. Cukup dengan kisah-kisah khas Nusantara sebagaimana di atas, para audien jamaahnya justru akan lebih mudah memahami. Sekaligus mengenalkan bahwa tidak sedikit pandangan atau kisah-kisah leluhur kita yang selaras dan dapat menjadi tafsir dari ayat-ayat al-Quran.
Semoga Allah merahmati para guru dan leluhur kita. Amin.