opini

Stereotip Orang Kudus yang Kadang Di Luar Nalar

2 Mins read

Menjadi Kudus itu berat. Ada hal-hal yang dilekatkan kepada mereka yang terlahir sebagai orang kudus. Meski berat, terlahir menjadi orang kudus bagi saya, merupakan given yang perlu banyak-banyak disyukuri. Tidak ada maksud apapun. Saya tidak sedang rasis apalagi menebar politik identitas buta disini. 

Realitisnya, Kudus menjadi kota dengan dua wajah yang tentu saja sangat sulit jika dijadikan dalam satu gelas. Ibarat minyak dan air. Inilah Kota Kudus dengan kesan Religius dan Metropolitan. Pantas saja stereotip orang-orang tentang orang kudus memang agak berlebihan. Kesan religius muncul dengan sebaran pesantren dan dua wali dari walisongo se-jawa. Kesan metropolitan muncul jelas dengan banyaknya perusahaan yang menyokong jasa berobat 25% seluruh Indonesia. Tidak sombong, itu realistis.

Kesan religiusitas yang dihadapkan dengan kesan metropolitan itu pada akhirnya membawa pemahaman kolektif dari masyarakat luar Kudus (outsider). Dengan dua hal yang seringkali dihadap-hadapkan sebagai sesuatu yang seakan paradoks itu, orang kudus seringkali dipahami dengan pemahaman yang terkesan mengenaralisasi. Dipukul rata. Bahkan parahnya sampai taraf pendiskreditan. Tentu tidak semua bernada negatif, ada juga pandangan kolektif yang justru menguntungkan menurut saya.

Beberapa pandangan kolektif tersebut antara lain, semua orang Kudus adalah santri. Generalisasi ini berimbas pada konsekuensi tertentu. Dianggap “santri” sejatinya harapan bagi para remaja islami sekarang. Harapan ini tentu dalam konteks anggapan seorang Kiai kepada santrinya. Maka santer dikalangan pesantren, salah satu doa santri adalah “semoga kami-kami ini diakui sebagai santri Kiai Fulan”.

Namun lain cerita jika anggapan ini muncul dari pandangan outsider, bahwa semua masyarakat Kudus—tanpa terkecuali—merupakan ahli  agama, ahli kitab dan seterusnya. Hal ini tentu merupakan “beban” tersendiri bagi saya yang memperoleh ilmu agamanya hanya sebatas dari nyantri kalong. Meski demikian, saya husnudzon saja bahwa anggapan ini merupakan wasilahsetidaknya bagi saya—untuk terus memperdalam ilmu agama. Sehingga upaya untuk meningkatkan diri saya yang berkaitan dengan ilmu agama terpacu dari sini.

Baca Juga  Pentingnya Menyambung Ikatan Rohani dengan Guru

Selain itu, Kudus yang sudah di amandemen oleh Sunan Kudus dilarang menyembelih sapi, memunculkan stereotip bahwa masyarakat Kudus haram memakan sapi. Statement ini tentu salah kaprah. Statement leterlek seperti ini jelas muncul dari pemahaman instan. Larangan ini merupakan runtutan sejarah bagaimana masyarakat Kudus dan larangan menyembelih sapi. Larangan masyarakat Kudus menyembelih sapi lahir dari kebijaksanaan Sunan Kudus dalam merespons tantangan dakwah terhadap masyarakat Hindu masa itu. Larangan tersebut kini mewujud sebagai kearifan lokal yang masih coba dipertahankan masyarakat Kudus sebagai penghormatan terhadap jasa dakwah Sunan Kudus.

Larangan ini tentu tidak menghasilkan kesimpulan “haram” sebagaimana hukum taklif fiqh. Dimana jika dilanggar akan melahirkan konsekuensi dosa. Buku “Ja’far Shadiq Sunan Kudus” karya Solichin Salam, larangan dalam konteks ini lebih condong mengakibatkan sanksi sosial atau yang biasa disebut kualat. Konsekuensi ini oleh beberapa orang diamini sebagai fakta yang pernah mereka alami. Namun sekali lagi, larangan ini bukan berarti disimpulkan sebagai pengharaman an sich bagi masyarakat Kudus dalam mengkonsumsi atau memperjual-belikan daging atau olahan sapi.

Ada juga stereotip bahwa semua orang Kudus merokok. Saya pernah mendapati teman laki-laki yang sama-sama orang Kudus ditanyai salah seorang senior di kampus. “Eh, kamu orang Kudus ya, kok nggak ngrokok?”. Teman saya hanya tersenyum. “Wong Kudus ora ngrokok, dipertanyakan ke-Kudusan-nya,” tambah si senior tadi. Saya juga pernah mendapat pertanyaan yang bernada hampir sama. Saya tidak bisa menerka maksud pertanyaan tersebut, entah sekadar guyon atau ada motif lainnya yang jelas itu membekas bagi saya.

Sebagai perempuan, tidak merokok mungkin bisa dipahami sebagai anggapan yang lumrah. Namun saya tidak bisa membayangkan bagaimana pergulatan mereka yang terlahir sebagai laki-laki yang memilih untuk tidak merokok sebagai jalan hidupnya. Mereka tentu akan lebih rentan dengan pertanyaan-pertanyaan konyol sepaket dengan nyinyiranya. Apa kaitan antara keberadaan industri kretek di Kudus dengan kewajiban masyarakat Kudus merokok?. Tentu ini konyol. Mungkin ini semacam guyonan untuk mengakrabkan. Tapi perlu diingat bahwa tidak semua oang bisa menerima guyonan yang didalamnya menyinggung identitasnya.

Baca lainnya disini, atau baca opini menarik lainnya.

Komentar
1 posts

About author
Yulinar Aini Rahmah, santri kalong yang lahir di Kota Kudus dengan segala maju mundurnya.
Articles
Related posts
Kolomopini

Kehidupan Muslim di Changchun: Harmoni Iman dan Budaya di Tengah Musim Dingin

2 Mins read
Dibaca: 141 Kota Changchun, Provinsi Jilin, Tiongkok, menawarkan studi kasus yang unik tentang kehidupan komunitas Muslim di lingkungan yang secara geografis dan…
aswajaKolomopinipesantren

Pesantren Salaf di Era Globalisasi dan Kemajuan Teknologi AI

2 Mins read
Dibaca: 155 Pesantren salaf, dengan tradisi pengajarannya yang kental akan nilai-nilai keislaman klasik, kini berdiri di persimpangan jalan. Era globalisasi, dengan arus…
KolomNasionalopini

Kritik atas Tafsir Tunggal Aparat: Membaca Kasus Mahasiswi ITB

5 Mins read
Dibaca: 167 Penangkapan seorang mahasiswi ITB akibat unggahan meme Prabowo dan Jokowi yang digambarkan sedang berciuman telah memicu perdebatan luas di ruang…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *