Oleh : Aslim Akmal
Nikah adalah penghalal terjadinya hubungan badan antara seorang perempuan dengan laki-laki dengan lafadh nikah atau sejenisnya, karena itu peristiwa ini menjadi sangat penting dan sakral. Banyak orang tua (bapak) ketika menikahkan anak-anak putrinya mewakilkan tugasnya sebagai mujib selaku fungsi kewaliannya itu kepada seseorang yang alim (faqih). Disamping disebabkan oleh kehati-hatiannya mengingat sah tidaknya aqad nikah tersebut ada pada ijab-qabul juga terselip niat tabarukan (ngalap barokah) kepada kiyai.
Ada sebuah peristiwa pada suatu saat Mbah R. Asnawi diminta untuk mewakili seseorang untuk menikahkan putrinya. Setelah pembacaan tawashshul, Qur’an, dan khotbah nikah selesai dilaksanakan tibalah acara berikutnya, ijab qabul. Calon mempelai laki-laki duduknya bergeser maju ke depan menghadap Mbah R. Asnawi dan proses ijab qabul pun dilaksanakan. Pada saat Mbah R. Asnawi bertindak selaku mujib, shighat (kalimat) yang diucapkannya ternyata tidak ada kata-kata “muwakkili” mengingat Beliau bertindak sebagai wakil wali (mujib). Padahal biasanya ketika seseorang ditunjuk mewakili dalam proses ijabnya terselip kalimat muwakkili, seperti contoh :
أنكحتك وزوجتك (فلنة) بنت أحمد موكلي بمهر ألف روبية حالا
“Saya nikahkan dan saya kawinkan kamu dengan (Fulanah), anak perempuan Ahmad sebagai orang yang mewakilkan kepadaku, dengan mahar seribu rupiah kontan”.
Peristiwa proses aqad nikah ini dianggap tidak biasa oleh banyak orang yang hadir menyaksikannya, termasuk diantaranya adalah Mbah Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi. Karena sebagai seorang yang gemar dan menekuni ilmu fiqh, Beliau ternyata cukup gelisah dan berpikir bagaimana cara menanyakannya kepada gurunya (Mbah R. Asnawi) itu. Akhirnya Beliau memutuskan untuk menggunakan kesempatan acara munadharah (pembahasan hukum fiqh) yang diselenggarakan sebulan sekali di Tajug Menara Kudus, untuk memberanikan diri meminta kejelasan tentang keabsahan proses ijab qabul beberapa hari sebelumnya itu.
Munadharah merupakan majlis paling favorit bagi kalangan santri Kudus pada saat itu, disamping memang selalu dihadiri oleh Mbah R. Asnawi, banyak tokoh alim lainnya yang juga hadir, tak terkecuali Mbah Turaichan. Jadi boleh dikata Mbah R. Asnawi dan Mbah Turaichan hampir tidak pernah absen dalam setiap momen munadharah.
Setelah tema pembahasan hukum yang dilangsungkan pada saat itu selesai dirangkumkan dan disampaikan oleh Mbah R. Asnawi kepada hadirin. Seluruh yang hadir tetap berada di tempat dan rupa-rupanya mereka sudah banyak yang tahu bahwa Mbah Turaichan akan menyampaikan satu as-ilah (soal) khusus kepada Mbah R. Asnawi. Dalam suasana yang hening itu, akhirnya Mbah Turaichan memohon kesempatan kepada Mbah R. Asnawi untuk menyampaikan as-ilah yang sempat menggelisahkannya dan permohonannya itu disampaikan dengan penuh hati-hati menggunakan bahasa Jawa kromo inggil dan terjadilah dialog khusus diantara keduanya yang kira-kira sebagai berikut :
Mbah Turaichan : “Nyuwun sewu, Nun (panggilan untuk Mbah R. Asnawi), shighat ijab aqad nikah menawi mboten nganggih kelimah muwakkili kangginipun tiyang ingkang mewakili punopo sampun sah? Nyuwun keteranganipun”.
Mbah R. Asnawi : “Sing mbok takokno iki perkoro aqad nikah wingi sing tak wakili iku ra, Tur?”
Mbah Turaichan : “Nyuwun sewu, inggih Nun”.
Mbah R. Asnawi : “Kuwe opo ora reti nek sing tak nikahno wingi iku dudu anakku, lan wong-wong sing do teko nyekseni iku yo wis do maklum iku dudu anakku”, dadi yo sah-sah ae”. Piye?”
Mbah Turaichan : “Nyuwun sewu, sampun cekap, Nun matur nuwun”.
Setelah semua yang hadir mendengarkan dengan seksama dialog tersebut, akhirnya semua mafhum, merasa lega, dan seketika kegelisahan mereka sirna.
Demikian sekelumit cerita yang saya tulis sebagaimana pernah dituturkan oleh KH. Abdul Haq, Kauman Menara yang pada saat itu turut hadir dalam majlis munadharah.
Waalhu a’lam