Bagi kaum muslimin, berpuasa (shoum) di bulan suci Ramadan adalah hal yang biasa. Puasa adalah salah satu kewajiban dalam meraih taqwa (QS. Al Baqarah: 183). Agar puasa membuahkan makna luar biasa, tak cukup puasa hanya dilihat sekedar sebagai kewajiban belaka. Tradisi berpuasa juga telah dilakukan oleh umat manusia jauh sebelum umat Islam menjalankan ibadah puasa (kama kutiba ‘ala alladziina min qablikum).
Mengapa manusia berpuasa? Azas tauhidullah menegaskan bahwa segala apa yang diperintahkan oleh Al-Qur’an pasti baik menurut hukum alam (sains), sebaliknya apa-apa yang dilarang oleh al-Qur’an pasti buruk menurut hukum alam. Demikian juga apa yang dianggap berbahaya menurut hukum alam pasti oleh al-Qur’an diharamkan. Misalnya minum racun, alkohol, dan seks bebas berganti-ganti pasangan.
Lalu bagaimana dengan berpuasa? Cukup populer sebuah hadis, “Shumu Tashihhu; Puasalah niscaya kamu akan sehat”. Meskipun status hadis ini masih menjadi polemik, para ahli kedokteran sepakat bahwa penyakit sering bersumber dari pencernaan nutrien yang tidak sempurna dalam satu atau beberapa tahap pencernaan.
Selama berpuasa, aktivitas yang biasanya dilakukan selama pencernaan makanan berlangsung menjadi berkurang, dan karenanya memberikan kesempatan pada tubuh untuk menghilangkan bahan-bahan makanan yang berlebihan serta memperbaiki kerusakan yang terjadi karena kesalahan pengaturan makanan dalam waktu yang lama. Puasa juga dikenal sebagai salah satu cara membersihkan tubuh dari lemak-lemak berpenyakit maupun dari makanan yang tidak bermanfaat di dalam tubuh.
Tubuh, selain membutuhkan konsumsi makanan, juga perlu dibersihkan dari berbagai zat kimia yang akan merusak anggota tubuh itu sendiri. Para filosof sekaliber Plato maupun Socrates juga dikabarkan sering membiasakan diri berpuasa sepuluh hari dalam setiap bulannya sebagai upaya penyucian pikiran agar tetap jernih dan bisa berpikir secara radikal (mengakar). Begitu pula dengan Ibnu Sina, filosof muslim sekaligus Bapak Kedokteran Dunia menganjurkan para pasien yang datang kepadanya untuk berpuasa sebagai terapi dalam menyembuhkan penyakit pasien-pasiennya.
Secara psikososial, orang yang berpuasa akan membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri, serta mewujudkan dan membentuk ketaqwaan yang kokoh dalam diri. Sementara bagi orang-orang kaya, dengan berpuasa mereka akan menjadi sadar seberapa besar nikmat Allah atas dirinya dan sekaligus berempati kepada kaum fakir miskin yang sehari-hari kekurangan makanan.
Puasa sekaligus menunjukkan kesadaran fitrah manusia yang selalu menginginkan “kesatuan dirinya” dengan Tuhan (manunggaling kawulo ing Gusti). Perjalanan hidup manusia adalah sebuah evolusi spiritual menuju dan mendekat kepada Sang Pencipta. Abraham Maslow, psikolog yang dikenal dengan teori kebutuhan dasar yang meliputi 5 hal: kebutuhan fisiologis; rasa aman dan keselamatan; dicintai dan mencintai; dan aktualisasi diri; pada menjelang akhir hayatnya menyadari dan menemukan adanya kebutuhan yang lebih tinggi dari manusia yang disebut sebagai: kebutuhan transcendental yang bersifat vertikal.
Muthahhari, Seorang filsuf muslim dunia yang menghasilkan banyak karya filosofis berharga juga pernah menyatakan bahwa manusia itu sejatinya adalah sosok makhluk spiritual. Maka puasa yang dilandasi iman merupakan jalan kembalinya kesadaran manusia kepada jati diri sebagai makhluk spiritual dalam meraih jalan taqwa (la’allakum tattaqun). Kita patut bersyukur bahwa umat Islam diwajibkan berpuasa dengan kata lain umat Islam “diwajibkan” untuk hidup sehat secara fisik maupun spiritual antara lain melalui berpuasa. Karena itu puasa bukan sekedar kewajiban, tetapi sebuah kebutuhan bagi eksistensi manusia. Wallahu a’lam.