Oleh Arif Chasanul Muna
SANTRIMENARA.COM, OPINI – Rangkaian acara Konferensi Internasional Bela Negara di kota Pekalongan 27-29 Juli 2016 telah usai. Namun agenda besar yang diselenggarakan oleh Jam’iyyah Ahlit Thariqah al-Mu’tabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan RI ini masih menyisakan banyak kesan bagi para peserta dalam maupun luar negeri.
Tidak kurang dari 300 an ulama se Nusantara dan 65 ulama manca negara berkumpul di Pekalongan membincangkan berbagai isu dan permasalahan yang dihadapi oleh dunia Islam dewasa ini. Ulama sufi dan thariqah berkumpul untuk memenuhi sabda Baginda Nabi Muhammad saw “man la yahtamm bi amril-muslimin falaisa minhum”.
Peran aktif kaum sufi dalam menangani problem keumatan tidak diragukan lagi. Sejarah mencatat sembilan abad yang lalu misalnya, kondisi internal dunia Islam sangat memprihatinkan.
Secara politik pemerintahan umat Islam terpecah belah dan kalah di hadapan kuasa Eropa, ulama dan kaum cendekia kehilangan peran, umat di berbagai negeri dijangkiti berbagai penyakit ashabiyyah (fanatisme mazhab dan kedaerahan), dekadensi moral, dan kecenderungan hidup materialistik. Puncaknya, kota Jerussalem di abad 12 miladiyah dikuasai oleh bangsa Eropa selama sekitar 88 tahun.
Banyak yang mengetahui bahwa kebangkitan umat Islam dari keterpurukan ini tidak dapat dipisahkan dari peran Shalahuddin al-Ayyubi, seorang sultan yang berhasil menyatuan umat Islam dan mengobarkan semangat kebangkitan hingga berhasil merebut kembali Jerusalem pada tahun 1187 M.
Namun mungkin banyak yang belum tahu, gerakan reformasi internal ini berlangsung secara bertahap sejak satu abad sebelumnya. Kesuksesan Shalahuddin bukanlah kesuksesan tiba-tiba, bukan pula kesuksesan individu.
Kesuksesan Shalahuddin al-Ayyubi adalah kesuksesan kolektif generasi yang dipersiapkan sejak lama oleh para tokoh sufi melalui gerakan pendidikan, mujahadah dan tazkiyah guna menghadapi problem multidimensi yang meprihatinkan saat itu.
Dr. Majid Irsan Kailani dalam buku “Hakadza Zhahara Jailu Shalahiddin” menegaskan bahwa Shalahuddin al-Ayyubi merupakan satu tokoh yang lahir dari gelombang generasi baru yang dipersiapkan dan digembleng para ulama yang gigih melakukan reformasi di tengah-tengah umat.
Dua nama tokoh sufi yang hidap pada masa yang hampir bersamaan dan mempunyai peran besar dalam menyiapkan generasi baru ini adalah Imam al-Ghazali (1058-1111) dan Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani (1077-1166). Melalui pemikiran, madrasah dan halakah-halakahnya, dua tokoh ini menyiapkan generasi yang kuat secara spiritual dan profesional dalam berbagai bidang.
Masih menurut Dr. Majid Irsan Kailani, murid-murid madrasah al-Ghazaliyah dan al-Qadiriyah yang menyebar di berbagai belahan dunia Islam waktu itu, dan berasal dari berbagai segmen masyarakat serta beragam profesi mempunyai peran besar dalam melakukan gelombang perubahan dan kebangkitan: menggemakan reformasi internal umat Islam dan perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman bangsa Eropa. Ibnu Naja dan Ibnu Qudamah (penulis kitab al-Mughni) misalnya, adalah dua murid Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani yang menjadi penasehat utama Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Kaum sufi dalam sejarah memang tidak hanyut dalam kenikmatan spiritual semata, cahaya-cahaya dzikir memancar dalam fikiran dan perilaku konstruktif mereka. Di era pertengahan peran kaum sufi juga tercatat dalam sejarah. Pada abad keenam belas miladiyah konflik antar mazhab terus berlanjut. Fanatisme buta pengikut mazhab sering menimbulkan konflik pemikiran maupun sosial. Keadaan semakin rumit saat para ulama sering terlibat dalam politik kekuasaan yang penuh gejolak.
Dalam kondisi rumit seperti ini Syaikh ‘Abd al-Wahhāb al-Sya’rānī (w. 1565), seorang sufi Mesir menawarkan ide-ide brilian untuk mengharmonikan umat dengan konsep al-Mizan al-Kubra-nya, yang mengakomodir semua perbedaan-perbedaan pendapat fiqhiyyah yang ada.
Sejarah juga tidak lupa pada masa kolonial modern peran kaum sufi dalam mengusir penjajah juga sangat besar. Amir Abdul Qadir al-Jazairi melakukan perlawanan terhadap Perancis di Aljazair, Umar al-Mukhtar menjadi penggerak terdepan dalam perlawanan terhadap penjajah Italia di Libya, begitu juga para ulama Nusantara yang sebagian besar berafiliasi pada thariqah shufiyyah turut menggelorakan semangat cinta tanah air, membela agama dan negara hingga bangsa Indonesia meraih kemerdekaannya.
Muktamar Internasional Bela Negara yang belum lama ini dilaksanakan di Pekalongan (27-29/7/2016) merupakan wujud kontinuitas tradisi kaum sufi dalam berperan aktif menjawab tantangan zaman. Menjadi jelas bahwa kaum sufi bukan hanya konsen terhadap masalah moral-individual semata namun juga berperan aktif memberikan kontribusi solutif bagi masalah keumatan baik pada tataran lokal maupun global.
Tema yang diangkat “Bela Negara: Konsep dan Urgensinya dalam Islam” sangat tepat dengan konteks kekinian untuk menjawab permasalahan global dunia Islam dewasa ini. Kabar tentang perang saudara, perpecahan, disintegrasi, permusuhan dan kekerasan atas nama agama memenuhi media massa yang menginformasikan tentang dunia Islam. Bersambung bagian II… (edited-212)
Arif Chasanul Muna, santri MA TBS Alumni Angkatan 1997, mengajar di Pekalongan
Barakallah ustazd arif hasanul muna. Nafa’aka allahu biulumika.
Mungkin selain tulisan tulisan informatif lokal yang menarik sebagai ciri khas, santrimenara perlu tambahan tulisan tulisan seperti ini sebagai kontribusi penguatan jaringan aswaja secara lbh luas. Ditunggu bingit bagian keduanya? Kapan ya?