SANTRIMENARA, OPINI – 12 Rabi’ul Awwal, menjadi salah satu tanggal yang spesial bagi warga Ahlus Sunnah wal Jama’ah An-Nahdliyyah. Semua menjadi larut dan tenggelam dalam euforia perayaan hari kelahiran Nabi Agung Muhammad ﷺ. Bahkan sebagian besar masjid-masjid serta beberapa langgar, surau dan musholla baik di pedesaan maupun perkotaan saling bersahutan menggelar acara pembacaan Maulid Nabi sejak malam pertama datangnya bulan Maulud (Rabi’ul Awwal), tidak hanya terfokus pada malam dua belasnya saja.
Mungkin sebagian dari kita sering mendengar istilah Maulid, Maulud dan juga Milad. Apakah ketiganya mempunyai arti yang sama? Jika kita telusuri tentang ketiga istilah tersebut maka ketiganya berangkat dari asal walada (wawu, lam dan dal). Dari tiga huruf inilah nantinya akan menelurkan kata Maulid, Maulud dan Milad.
Kata Maulid merupakan bentuk Mashdar Mim dari Fi’il Madli walada yang berarti kelahiran. Kata Maulud merupakan bentuk Isim Maf’ul dari Fi’il Madli walada yang berarti sesuatu yang dilahirkan. Sedangkan kata Milad merupakan Isim Mashdar dari Fi’il Madli yang sama. Lalu bagaimana seharusnya kita menggunakan ketiga kata tersebut dengan tepat?
Maulid
Selain merupakan Mashdar Mim, ia juga Isim Zaman dan Isim Makan[1]. Jadi kata Maulid memiliki arti waktu kelahiran atau tempat kelahiran. Dewasa ini, baik di masyarakat Indonesia khususnya maupun di negara-negara yang mayoritas Islam menggunakan kata Maulid untuk pengertian yang menunjukkan arti hari lahir Rasulullah SAW dan hal ini sudah tepat dan tidak bertentangan secara bahasa. Maka jika mendengar istilah “Peringatan Maulid Nabi Muhammad ﷺ” berarti acara untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad ﷺ. Namun akhir-akhir ini kata Maulid juga telah mengalami perluasan makna, yaitu kegiatan pembacaan sejarah Nabi Muhammad SAW yang disertai qashidah berisi sholawat dan pujian untuk sang baginda Nabi dan kemudian di sela-sela itu ada Mahallul Qiyam, dan umumnya kegiatan tersebut dikenal dengan istilah Maulidan.
Maulud
Kata ini juga sangat populer di lingkungan masyarakat Indonesia, khususnya di kalangan etnis Jawa. Mereka menggunakan istilah bulan Mulud sebagai pengganti kata bulan Rabi’ul Awwal. Padahal sejatinya kata Maulud memiliki arti bayi atau seseorang yang dilahirkan. Maka penggunaan kata Maulud untuk memperingati hari lahir Rasulullah ﷺ sudah bergeser dari makna aslinya.
Milad
Dalam kamus-kamus arab seperti Mu’jam Al-Lughoh Al-‘Arobiyyah Al-Mu’ashiroh menyebutkan bahwa kata Milad memiliki arti waktu kelahiran seseorang. Maka dari itu jangan heran jika umat kristiani dari bangsa Arab juga sering menggunakan kata Milad untuk hal-hal yang berkaitan dengan perayaan natal. Seperti contoh kata Ied al-Milad yang berarti Hari Raya Natal atau Lailat al–Milad yang berarti malam natal. Ada juga Syajarat al–Milad yakni pohon natal. Tidak hanya itu saja, kata Milad juga menjadi pilihan secara masif di negara-negara arab untuk penyebutan tahun-tahun sebelum masehi dengan istilah Qabla al-Milad dan juga tahun-tahun setelah masehi dengan nama Ba’da al-Milad[2]. Mungkin karena penggunaan istilah Milad sudah melekat dan seakan telah menjadi identitas ummat kristiani maka ummat Islam menghindari penggunaan kata tersebut. Akan tetapi kata Milad akhir-akhir ini juga sering diadopsi oleh perorangan, lembaga pendidikan maupun ormas dan orsospol sebagai pengganti kata ulang tahun.
Harlah (Hari Lahir) Dan Ultah (Ulang Tahun)
Dalam beberapa kesempatan, penulis sering mendengar Romo K.H. Choirozyad Tadjus Syarof -sesepuh dan sekaligus ketua Yayasan Madrasah TBS Kudus- dawuh bahwa Harlah dan Ultah tidaklah sama. Banyak orang yang salah kaprah akan hal ini. Sebab sejatinya Harlah bermakna hari lahir sehingga misalnya jika kita ingin memperingati hari kelahiran Madrasah TBS maka yang tepat adalah menggunakan kata Harlah, bukan Ultah. Karena Ultah sendiri berangkat dari bahasa arab haul, yang berarti tahun yang berulang[3].
Bahkan lebih frontalnya lagi, kata Ultah itu lebih tepat untuk istilah peringatan akan kematian seseorang karena bahasa arabnya ulang tahun adalah Haul. Dan kata Haul di Indonesia lazim digunakan untuk memperingati hari wafat atau kematian seseorang.
Tonton videonya Maulid, Maulud & Milad
Perayaan Maulid Jelas Bid’ah
Kontroversi di masyarakat tentang kebid’ahan perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ sudah mulai kian menjamur. Hal ini disebabkan oleh sekelompok ekstrimis yang mengaku ingin memurnikan tauhid -seperti sekelompok orang yang menyebut dirinya Salafi (wahabi)- datang membid’ahkan serta menyesatkan perayaan Maulid. Padahal panutan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah dalam kitabnya yang berjudul Iqtidla’ Shirathil Mustaqim[4] secara gamblang menuturkan bahwa orang yang mengagungkan hari kelahiran atau maulid Rasulullah SAW dan menjadikannya sebagai kegiatan rutinan atau tahunan akan mendapatkan pahala yang banyak karena niat baiknya tersebut. Lantas, pertanyaannya, siapa panutan salafi wahabi dalam membid’ahkan perayaan Maulid Nabi? Panutan mereka saja menyatakan maulid itu hal yang berpotensi pahala bagi pelakunya, mengapa tiba-tiba mereka yang masih kemarin sore berani membid’ahkan?
Imam Suyuthi, seorang ulama bermadzhab Syafi’i Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, mengakui bahwa perayaan Maulid Nabi ﷺ yang meliputi beberapa acara di antaranya adalah pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, periwayatan hadits-hadits dan atsar yang berkaitan dengan hal ihwal Rasulullah ﷺ, kemudian di lanjutkan dengan acara makan bersama tanpa adanya kegiatan yang mengandung dosa, maka perayaan Maulid Nabi Muhammad ﷺ yang seperti ini merupakan Bid’ah Hasanah yang menjadikan penyelenggaranya mendapatkan pahala yang agung karena ia menyelenggarakan acara tersebut yang di dalam hatinya membuncah rasa penghormatan, cinta dan bahagia akan kelahiran Rasulullah SAW[5]. So, ucapkan dengan lantang bahwa Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah!!! Wallahu a’lam.
Oleh: H. Aniq Muhammad Makki, Lc
Abiturien Madrasah TBS Kudus
[1]. Lihat kitab Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, 3/2492, Dr. Ahmad Mukhtar Abdul Humaid Omar, Penerbit ‘Alam Al-Kutub, Cetakan Pertama, 2008.
[2]. Lihat kitab Mu’jam Al-Lughah Al-‘Arabiyyah Al-Mu’ashirah, 3/2492, Dr. Ahmad Mukhtar Abdul Humaid Omar, Penerbit ‘Alam Al-Kutub, Cetakan Pertama, 2008.
[3]. Lihat Kitabul ‘Ain 3/297, Imam Khalil bin Ahmad Al-Farahidi, Penerbit Maktabah Al-Hilal,
[4]. Lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim , Ibnu Taymiyyah, 2/126, Penerbit ‘Alam Al-Kutub Libanon, Cetakan ketujuh 1999 M.
[5]. Lihat kitab Husnul Maqshid fi ‘Amalil Maulid, hal. 41, Imam Suyuthi, Penerbit Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Cetakan Pertama, 1985 M.