Kiai Sya’roni Ahmadi memang lebih tersohor dalam bidang tafsir dan ilmu al-Quran. Pengajian tafsir yang digelar rutin di Menara Kudus dan ribuan jamaah sangat antusias mengikutinya, menjadi bukti. Tetapi keilmuan Kiai Sya’roni dalam bidang lain juga jangan diragukan. Kiai Sya’roni adalah seorang alim atau allamah yang berarti bahwa menguasai banyak keilmuan, khususnya ilmu keislaman.
Meskipun hanya menjadi santri kalong – santri yang hanya ikut ngaji saja tanpa menetap di pondok – dari beberapa ulama lokal Kudus, hal itu tidak mengurangi ghirah belajar Kiai Sya’roni. Beliau pernah mengaji kepada Kiai Raden Asnawi, Kiai Arwani Amin, dan Kiai Turaichan Adjhuri. Meskipun hanya belajar dari ulama lokal dengan segala keterbatasannya, hal ini tidak menghalanginya untuk dapat mengakses literatur-literatur pesantren dan memperluas pengetahuannya.
Dari berbagai ulama tersebut, banyak keilmuan beliau dinisbatkan. Kepada ahli al-Quran, Kiai Arwani misalnya. Selain hafalan al-Qur’an, Kiai Sya’roni juga belajar banyak kitab kuning, dari ilmu alat (dasar) hingga kitab Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Bahkan beliau juga belajar Qirā’āt tujuh darinya.
Selain gandrung mengaji menjadi santri kalong, Kiai Sya’roni juga produktif menulis. Beberapa karya beliau adalah, al-Faraid as-Saniyah, Faidl as-Asany dan lain sebagainya.Selain dari beberapa karyanya, bukti kealiman Kiai Sya’roni dapat dilihat dari sepak terjangnya di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Sejak usia muda, beliau telah aktif dalam berdakwah dan mengisi di banyak forum. Kiprahnya diperhitungkan oleh banyak kalangan. Bahkan, di usianya yang belum genap tiga puluh tahun, Presiden Soekarno mengundang beliau ke Istana Kepresidenan sebagai pembaca al-Qur’an dalam peringatan Nuzulul Quran.
Ada salah satu cerita menarik Kiai Sya’roni dalam menjalani kiprahnya di Organisasi NU. Sebagaimana jamak diketahui, bahwa setiap kali NU menyelenggarakan Muktamar, maka di sana akan ada forum Bahtsul Masa’il. Forum tersebut khusus untuk menjawab problem kemasyarakatan yang aktual. Dari sana, Kiai Sya’roni aktif di forum Bahtsul Masa’il tersebut. Ini menunjukkan bahwa literasi kitab kuning beliau tidak dapat diragukan. Bahkan kipranya dalam forum ini diperhitungkan hingga level nasional.
Di sela-sela pengajian tafsirnya, Kiai Sya’roni berkisah bahwa pada tahun 1979 beliau menjadi peserta Bahtsul Masa’il pada Muktamar NU ke-26 di Semarang. Di antara tema yang dibahas adalah mengenai hukum menulis al-Quran dengan huruf latin dan braille. Ketika itu, dari 49 ulama yang menjadi delegasi, semuanya menjawab “haram”, kecuali satu orang, yaitu beliau sendiri, Kiai Sya’roni Ahmadi yang berpendapat “boleh”.
Kiai Sya’roni tidak lantas ciut nyali meskipun berhadapan dengan 48 ulama yang berbeda pendapat dengannya. Baginya, berbeda pendapat dalam Bahtsul Masa’il adalah hal biasa. Bukan masalah sedikit-banyaknya orang yang sependapat atau berbeda pandangan dengannya, tetapi sejauh mana pendapat itu dapat diuji dan memiliki argumentasi yang kuat.
Maka ketika itu, Kiai Sya’roni bak seorang pemain yang pilih tanding. Dengan jam terbang yang tinggi, beliau bagaikan seorang striker yang sedang menggocek bola sendirian dan harus berhadapan dengan banyak pemain lawan. Jika ingin bolanya melesat ke gawang lawan, maka ia harus mempertahankannya dengan kuat.
Pendapat yang diyakini Kiai Sya’roni ketika itu tentu sudah melalui telaah yang mendalam, sehingga patut dipertahankan. Maka tiba saatnya masing-masing delegasi yang berbeda pendapat untuk menyampaikan argumentasinya.
“Kalau menulis al-Quran dengan tulisan latin atau braille diperbolehkan, kami khawatir nanti akan ada orang membaca ‘walad dlollin’.” Demikian landasan argumentasi musyawir (peserta Musyawarah) yang mengharamkan menulis al-Quran dengan tulisan latin dan braille. Lebih lanjut pendapat ini disandarkan pada ucapan Imam Ibnu Hajar al-Haytami yang dinukil oleh Sayyid Bakri Syatha dalam I’anatut Thalibin bahwa menulis al-Quran dengan huruf selain hijaiyah itu diharamkan.
Pendapat al-Haytami ini dapat dirujuk dalam kitab Fatawi Fiqhiyah Kubra. Dalam kitab tersebut beliau ditanya perihal menulis al-Quran dengan ajamiyyah (bahasa selain Arab), apakah hal itu termasuk perkara haram? Menjawab pertanyaan tersebut, al-Haytami pun mengutip pendapat al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ tentang keharamannya.
Menanggapi beberapa ulama yang mengharamkan tersebut, Kiai Sya’roni berkata:
“Kami sangat heran atas argumentasi yang diajukan pak Kiai tadi. Masalahnya bukan soal membaca, tetapi ini masalah menulis. Sekalipun al-Quran ditulis dengan Bahasa Arab, kalau membacanya salah ya dianggap salah. Seperti orang yang membaca ‘Hama ‘Asaqa,’ itu salah baca, bukan salah tulis. Mestinya dibaca ‘hamim ‘ayn- sin-qaf’.”
Dengan kata lain, Kiai Sya’roni ingin mendudukkan persoalan bahwa menulis dan membaca al-Quran itu perkara yang berbeda. Kekhawatiran akan adanya kesalahan baca seperti ‘walad dlollin’ itu urusan membaca al-Quran. Dalam pandangan beliau, tulisan al-Quran boleh latin atau braille, tetapi membacanya harus sesuai makhraj dan tajwid dalam Bahasa Arab.
Pendapat Kiai Sya’roni ini dinukil dari kitab al-Bujayrami ‘ala al-Khathib. Di sana disebutkan bahwa menulis al-Qur’an dengan huruf selain Arab diperbolehkan, tetapi membacanya dengan bahasa selain Arab dalam artian tanpa makhraj dan tajwid, maka hal itu dilarang.
Berangkat dari perbedaan pendapat antara 48 ulama yang mengharamkan dan Kiai Sya’roni yang membolehkan, maka diputuskan bahwa hukum menulis al-Quran dengan tulisan latin dan barille adalah khilaf atau diperselisihkan: antara boleh dan tidak.
Terlepas dari itu, Kiai Sya’roni melihat bahwa dengan adanya al-Quran yang ditulis latin dan braille, hal itu memudahkan bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam membaca tulisan Arab untuk belajar membaca al-Qur’an. Dan realitanya, sekarang ini al-Qur’an dengan tulisan latin dan braille telah menjamur di mana-mana. Semoga Allah senantiasa merahmati guru kita, Kiai Sya’roni Ahmadi. Amiiin.
Baca artikel menarik lainnya disini.