Dalam situs pribadi Mas Badri, Badriologi.com, beliau mengatakan bahwa Alumni TBS itu luar biasa. Seperti lebah. Diam-diam menghasilkan madu. Tapi jika diganggu, gigitanya bisa membuat njarem berhari-hari, kecuali diobati. Begitulah. Orangnya kalem seperti saya. Hehe. Tapi begitu dilorot genderane, bakal balik mlorot kathoke sing mlorot. Buktinya, antitesis Buku SAQ belum terbit saja sudah laku dan hampir habis.
Sejarah merupakan suatu kejadian masa lampau yang harus dikenang dan dilestarikan generasi selanjutnya. Lalu bagaimana bila sebuah sejarah suatu kelembagaan dibuat ngawur dan tidak sesuai apa yang mestinya menjadi sebuah sejarah. Bagaimana kalau nantinya sejarah itu akan diketahui anak cucu kita sedangkan bukan sejarah aslinya, melainkan sejarah yang tidak bisa dipertanggungjawabkan?
Buku dilawan dengan buku. Begitulah kata pengantar penulis buku resensi kritis ini. Dari kata pengantarnya, Mas Badri memang niat banget untuk membenarkan tulisan-tulisan yang dianggapnya tidak beradab itu. Buku berjudul Dalil Sejarah TBS : Resensi Kritis Buku KHR. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara, yang ditulis oleh M. Abdullah Badri berhasil menyita perhatian banyak kalangan, terutama warga Madrasah TBS dan Qudsiyyah.
Dalam buku Dalil Sejarah TBS, Mas Badri mengkritik habis-habisan buku KHR. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara yang disingkanya “buku SAQ” untuk mempermudah pembacanya. Buku dalil sejarah TBS ini pun terbit karena ada banyak bid’ah data soal kesejarahan TBS di buku tersebut sehingga mengarah kepada agenda setting penyesatan opini massa dan pembaca(vii). Kata pengantar saja sudah pedas, lalu bagaimana dengan isinya?
Diawali dengan bab pertama yang menerangkan secara rinci dari mulai terbitnya buku SAQ hingga terkuaknya tulisan-tulisan yang bernada menjatuhkan almamater Madrasah TBS. Buku SAQ yang tercatat launchingnya sudah ada sejak Jum’at Pahing, 02 Dzul Qi’dah 1437 H./5 Agustus 2016 itu menyita perhatian para alumni ketika ada salah satu anggota IKSAB yang memosting screenshoot salah satu halaman buku SAQ di grup Whatsapp yang berjumlah hampir 300 orang tersebut (hal. 5).
Resensi terbit bukan atas keinginan saya. Saya hanya khadim. Semua dana cetak pun disengkuyung bareng-bareng oleh alumni TBS semua. Ada yang iuran 20 ribu, ada juga yang urunan 2 juta, bahkan lebih. Ini bukan proyek berseri. Catatan ini adalah sebentuk langkah bahwa alumni TBS, sekali-kali, tidak akan pernah menghianati guru, kiai dan masyayikh-nya (hal. 20).
Hanya dengan membaca bab pertama, kita sudah cukup memahami setidaknya siapa yang salah dan yang harus disalahkan. Lebih dari itu, ada banyak lagi pelurusan di bab-bab selanjutnya dan masih membahas tulisan yang tak seharusnya dicantumkan dalam buku yang beratas nama Madrasah Qudsiyyah teresebut.
Dalam bab yang berjudul sebuah kronologi ini, saya yakin pembaca buku dalil sejarah TBS muncul emosionalnya yang amat dalam kepada para penulis buku SAQ yang teratas nama alumni Madrasah Qudsiyyah. Disinilah keprofesionalan seorang penulis muncul. Mas Badri tetap mengkritik tanpa mengurangi keta’dhimannya terhadap para sesepuh Madrasah Qudsiyyah. Karena Mas Badri merasakan bagaimana bila guru sekaligus kiainya dianggap tidak alim dan biasa-biasa saja. Meski begitu, catatan resensi kritis atas buku SAQ ini tetap saya tulis tanpa meninggalkan adab kepada guru-guru Qudsiyyah yang mencoba diprofilkan kepada publik itu (hal. 136).
Berlanjut pada bab berikutnya, Mas Badri akan menyuguhkan sejarah TBS tanpa meningalkan tujuan utamanya menulis buku dalil sejarah TBS. Bab ini mengkritik habis-habisan penulis buku SAQ yang mengatakan TBS kompromi dengan Belanda. Dalilnya MasyaAllah menggemaskan –hanya karena pernah menggunakan kata school pada zaman kolonial (hal 37). Untuk itu, dijelaskanlah oleh Mas Badri secara historis mengapa TBS memakai nama school hingga berubah menjadi salafiyyah pada halaman 39-58, yang jelas bukan kompromi dengan Belanda. Tanpa ada keraguan, data-data beserta sumbernya lagi-lagi komplit dan tidak berbelit-belit.
Dalam bab selanjutnya, Mas Badri akan membedah sejarah berdirinya TBS. Meski terfokus pada penggalian sejarah Madrasah TBS, tetap saja terselip kalimat kritikan untuk penulis buku SAQ yang tidak valid memasukkan sejarah TBS ke buku mereka. Mulai dari nama pendiri pertama yang menurut buku SAQ adalah KH. Arwani Amin dan K.H.A kholil, yang semestinya bukan.
Masih membincang TBS, Mas Badri mampu mempertanggungjawabkan kesejarahan tangggal berdirinya Madrasah tercintanya dengan berbagai kajian dan sumber-sumber terpercaya. Untuk masalah penanggalan berdirinya TBS, Kiai Azhar Lathif Nashiran (guru Ilmu Falak Madrasah TBS dan dosen Ma’had Aly TBS takhassus Falak) dilibatkan dalam hal ini demi sebuah data yang valid. Pada halaman 71-81, perincian lahirnya Madrasah TBS terpampang jelas dan secara tidak langsung kita akan kecipratan ilmu falak yang ada pada halaman tersebut.
Kritikan Mas badri memuncak kala tiba di bab yang berjudul Mereka menggugat KH. Ma’mun Ahmad. Bagaimana tidak, seorang maha guru yang disegani para santri termasuk Mas Badri tiba-tiba dikatakan penulis SAQ sebagai seorang biasa-biasa saja. Yang lebih disayangkan tidak ada catatan-catatan penjelas untuk memahami kata-kata tersebut. Sehingga menimbulkan bebasnya penafsiran seorang pembaca.
Coretan ini sengaja saya tulis sebagai dalil bahwa cara-cara yang ditempuh para penulis buku SAQ terkait Mahaguru saya KH. Ma’mun Ahmad sangat merugikan iklim peradaban akhlak santri yang sudah dibangun massif oleh Walisongo (hal. 106-107).
Untuk menetrasi para pembaca yang telah membaca buku SAQ halaman 145, Mas Badri terlebih dahulu menjelaskan biografi KH. Ma’mun Ahmad yang dianggap biasa-biasa saja itu. Setelah itu baru dibedahlah tulisan pada halaman 145 buku SAQ yang tertulis K. Ma’mun TBS itu biasa-biasa saja, Cuma ayahnya orang alim dan mempunyai peninggalan pondok sehingga beliau menggatikannya.
Data-data yang disajikan Mas Badri dalam buku Dalil Sejarah TBS mampu menunjukkan bahwa seperti apa buku sejarah yang sebenarnya, bukan hanya agenda setting belaka. Buku ini juga Mas Badri mampu memberikan contoh kepada para penyusun buku SAQ khususnya dan untuk pembaca umumnya untuk lebih teliti baik secara penulisan kata, penyisipan foto hingga pengalian sejarah.
Penyajian data sejarah buku ini sungguh membuat memukau. Para pembaca menjadi tahu apa yang sebelumnya tidak tahu. Seperti pada halaman 64-71 yang menceritakan siapa sebenarnya pendiri Madrasah TBS pertama, guru-guru pertama, hingga siswa-siswa pertama pun ada sumber kejelasannya. Luar biasa.
Satu hal lagi yang membuat kita pengen untuk terus membaca dan membaca hingga habis adalah banyaknya cahaya kepenulisan yang akan didapat para pembaca, salah satunya bahwa menulis bukan semata untuk membesarkan nama dan menjatuhkan satu pihak. Kalau dalam buku ini seperti dawuh yang dinuqil dari pengendhikan Romo KH. Arifin Fanani adalah ngerek genderane dewe tapi nglorot genderane wong liyo(hal.138).
Banyak cerita-cerita inspiratif yang disajikan dalam buku Dalil Sejarah TBS, utamanya kisah-kisah masyayikh. Salah satunya cerita Kiai Zyad yang bermimpi ziarah ke makam Mbah KH. Muhith (hal. 104). Bagi santri menara, cerita-cerita tersebut membuatnya mengingat kembali mengingat betapa besarnya para masyayikh yang telah berjasa mengangkatnya dari kegelapan menuju cerahnya ilmu. Secara otomatis, dengan buku dalil sejarah TBS ini akan menambah mahabbah santri, terkhusus santri menara kepada para Kiai.
Buku ini ditutup dengan pesan-pesan Mas Badri kepada para pembaca agar tidak salah kaprah dalam menulis. Tidak lain berkaitan dengan kritikan-kritikan yang dilontarkan Mas Badri kepada penulis buku SAQ yang tertuang dalam buku Dalil Sejarah TBS tersebut. Penutup buku ini lebih difokuskan kepada para calon penulis maupun penulis aktif dalam sebuah buku atau media lainnya. Karena setelah penulis mempublikasikan tulisannya, pembaca bebas untuk menafsirkan bacaaan tersebut. Sekali Anda menulis gagasan, lalu tertuang sebagai teks karya yang bebas dibaca siapapun, maka, Anda tidak memiliki kemampuan untuk menghapusnya (hlm. 141).
Sekali lagi, buku ini sangat luar biasa. Dengan kehadiran buku ini mampu menjadikan sejarah sebagai tema dalam Harlah Madrasah TBS ke-93. Tentu hal tersebut telah melalui berbagai pertimbangan dari para masyayikh dan alumni. Hingga akhirnya “Lebih Dekat dengan Sejarah TBS” menjadi tema utamanya.
Kodrat manusia tak luput dari kesalahan. Begitupun dalam buku ini. Penulisan yang seharusnya Kiai Azhar ditulis dengan Kiai Zahar(hlm. 130). Namun hal tersebut tak membuat buku ini menjadi cacat, setidaknya pembaca maklum bahwa terkadang salah ketik terjadi di berbagai tempat. Toh, tidak merubah makna dan penafsiran para pembaca.
Bagi kalian yang belum bisa mendapatkan buku dalil sejarah TBS pada cetakan pertama, tenang saja. Edisi cetak kedua rencananya akan siap edar pertengahan Februari 2019. Disitulah kesalahan-kesalahan ketik maupun pemilihan diksi akan diperbaiki. Seperti yang telah Mas Badri ugkapkan pada situs pribadinya, Badriologi.com.
Selamat membaca, selamat terjun dalam sejarah.