beritaFiqih

Bagaimana Hukum Pajak di Indonesia?

1 Mins read

SANTRIMENARA.COM, YOGYAKARTA – Dewasa ini banyak sharing viral informasi di media sosial mengenai pendapat seorang ustadz terkait pajak. Menurutnya, jumhur ulama Islam tidak mengenal pajak. Mengeluarkan pajak, membayarkan pajak, dan memperoleh penghasilan dari institusi pajak juga tidak diperkenankandalam Islam. Pajak itu tidak ada di Islam. Pajak itu memeras keringat rakyat. Tidak boleh negara hidup dari pajak. Begitu kurang lebih pernyataan ustadz yang viral di Youtube dan media sosial.

Secara definisi, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang tertanggung oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara dan operasional pembangunan rakyat. “Secara sederhana, pajak adalah pemasukan kas negara,” ujar Ustadz Junaidi kepada SantriMenara.Com di Yogyakarta, kemarin.

Ustadz yang juga merupakan sarjana ilmu sosial politik itu menjelaskan bahwa dalam Islam, pemasukan kas negara atau kas pemerintah dari rakyat dibagi menjadi dari dua sektor. Pertama, pemasukan dari rakyat non-muslim yang meliputi : jizyah, ghonimah, harta fai’ dan kharaj (pajak tanah) dengan segala ketentuannya.

“Kedua, pemasukan dari rakyat muslim yang meliputi warisan yang tidak diketahui ahli warisnya, mal aldlo’i’, zakat, kharaj dan denda para ahli maksiat dalam rangka agar jera dan menghentikan kemaksiatannya,” papar Junaidi.

Ustadz Junaidi juga menegaskan bahwa menurut madzhab Syafi’i,  dalam keadaan khajat dlorurat  pemerintah boleh mengusahakan pemasukan negara lewat pungutan dari semua lapisan masyarakat Islam yang kaya. Dan menurut madzhab Maliki, dalam keadaan hajat, pemerintah boleh menarik pajak, baik aset bergerak atau tidak bergerak. “Tentunya semua itu dengan syarat dan ketentuan,” lanjutnya.

Sayarat tersebut antara lain, pertama, betul-betul ada kebutuhan yang mendesak, kedua, ditasharrufkan untuk kepentingan muslimin, ketiga, pertimbangan kemaslahatan, keempat, dibebankan kepada orang-orang yang mampu yang sekiranya tidak mengakibatkan dlarar dari pajak yang dikenakan.

Baca Juga  Menag Lukman Hakim Ke Kudus Nimba Ilmu di Pesantren Yanbu’

Indonesia sudah memenuhi syarat tersebut. “Tapi dalam pembebanan pajak, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi riil masyarakat dan kebutuhan negara,” tambah Junaidi.

Jadi seluruh kebijakan dan tindakan pemimpin terhadap rakyat haruslah selalu bersumber kepada kepentingan mereka.  Telah diterangkan dalam Al-Qur’an bahwa Allah telah memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memungut uang dari rakyat yang mampu sebagai sumber utama keuangan negara.

“Dalam istilah syariat, pajak atas warga negara muslim disebut zakat dan bagi warga negara non muslim disebut jizyah,” terang Ustadz Junaidi.  “Jadi pajak itu memang wajib. Cek surat at-Taubah ayat 60 dan 103,” pungkasnya. (smc-69/ edited-212)

Komentar
Related posts
beritake-TBSan

Wujudkan Peningkatan Literasi, MTs NU TBS Kudus Kejar Akreditasi Perpustakaan

1 Mins read
Dibaca: 291 Madrasah Tsanawiyah NU Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus sedang memproses pendampingan untuk akreditasi perpustakaan. Pendampingan tersebut setidaknya sudah berjalan sekitar…
berita

IAIN Sunan Kudus Resmi Menjadi UIN Sunan Kudus, Tonggak Sejarah Baru Pendidikan Islam di Jawa Tengah

1 Mins read
Dibaca: 938 Kudus, 26 Mei 2025 — Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kudus hari ini resmi bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri…
aswajaberitaNU

Pelatihan Pengelolaan Sampah GP Ansor Kudus: Mengurai Masalah Menjadi Maslahah

1 Mins read
Dibaca: 355 Kudus, 18 Mei 2028 – Dalam upaya menumbuhkan kesadaran dan aksi nyata dalam menjaga kelestarian lingkungan, Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *