Essai

Antara Final Copa Amerika dan Euro 2021

2 Mins read

Maracana memang tidak mendapat penyebutan sebagai katedral seperti Wembley. Tapi, sepanjang eksistensinya, Maracana sangat layak untuk menempatkan diri sebagai sebuah altar. Altar agung yg di dalamnya tertempatkan sebuah menorah flamboyan dengan beberapa catatan sejarah sebagai cabang-cabang.

Maracana dengan hampir 200.000 penonton pernah dibuat bisu dan sunyi saat Juan Albert Schiaffino dan Alcides Gigghia merampas harapan Brasil yang tinggal menunggu satu angka saja dari Uruguay untuk menjadi juara dunia Piala Dunia 1950. “Sunyi hingga suara jangkrik pun bs terdengar,” kenang Obdulio Varela, sang Kapten Uruguay.

Altar Maracana pun bak ritual requiem kematian bagi kiper Brasil, Barbossa. Ia dianggap paling bertanggung jawab, oleh masyarakat Brasil nama ini dalam sepanjang hidup hingga ajal mnjemputnya Barbossa dianggap sebagai orang yg tidak berguna. Inilah Maracanazo yg dikenang pahit dalam sejarah sepakbola Brasil.

Lalu 64 tahun kemudian, altar Maracana kembali tergelar komuni. Ia adalah duel Jerman kontra Argentina, sebagai pamungkas dari gelaran Piala Dunia 2014.

Publik Maracana (baca: fans/penonton Brasil) hadir ke Maracana dengan perih dan dilema. Luka tragedi kkalahan di semifinal masih kuat dalam rasa. Membiarkan Jerman yg baru saja memberinya luka dan hina untuk menjadi juara adalah noda.

Tim Eropa itu brpotensi juara di kontinen Amerika (Latin). Tapi mmbiarkan Argentina juara di Maracana akan dinilai sebagai pikiran dan tindakan sukarela untuk mnghadirkan lg memori hitam tahun 1950. Bagi Brasil, dlm urusan sepakbola Argentina adalah ibarat musuh yg harus dibunuh, jika tdk dgn tangannya sendiri maka tidak apa-apa oleh tangan orang lain.

Maracana (Brasil) pun seolah berterima kasih dan nyata bersorak karena gol juara seorang Mario Goetze. Dalam pihak lain, Messi yg harus merenda luka bertalam derita.

Baca Juga  UMK Dukung Penuh Silatnas TBS

Hari ini altar Maracana kmbali menyita mata. Final Copa America mghdapkan Brasil dan Argentina, itu berarti juga sebagai penghadapan dan pengharapan untuk seorang Neymar Jr. dan Lionel Messi.

Altar Maracana masih begitu sarat akan makna dan misa komuni prestasi terlihat memesona karena ritual itu menghadapkan dua tim dgn akumulasi 7 titel juara dunia dan 24 gelar Copa America
“Final Copa Amerika hari ini lebih berkelas dibanding final Piala Eropa nanti,” demikian pikiran yg sehat berbicara.

Dibanding Italia dengan koleksi 4 juara dunia dan 1 juara Euro, dan Inggris, hanya sekali juara dunia maka imajinasi tentang Brasil dan Argentina jelas lebih mentereng.

Hingga final di Maracana usai, kementerengan dan kualitas itu memang terbukti. Altar Maracana menampilkan totalitas, penjiwaan, kemampuan, tekanan, hingga darah.

Di atas itu semua lilin sportivitas dijunjung di atas segalanya. Catatan sejarahnya, tidak ada requiem kematian bagi Neymar. Ia tidak perlu menjadi Barbossa kedua meski Maracana kali ini untuk Messi.

Maka untuk UEFA dan final Euro, jadikan Copa America, spesial untuk gelaran finalnya, sebagai cermin pembanding dan penilai. Apalah arti katedral jika di dalam tidak ada altar yang telah mmberikan dan membuktikan sebuah totalitas dan kualitas.

Penulis: Agus Salim (Guru Madrasah MTs Al Kadabiyah)

Komentar
Related posts
Essai

Sejarah dan Makna Larangan Menyembelih Sapi dalam Dakwah Sunan Kudus

2 Mins read
Dakwah yang dilakukan Sunan Kudus pada saat itu ialah merangkul bukan memukul.
EssaiSufismeteladan

Bahagia Ala Sufi Modern, Buya Hamka

2 Mins read
Dibaca: 244 Kebahagiaan menjadi salah satu hal yang diinginkan oleh setiap insan. Kemanapun gerak langkah kaki, kebahagiaan menjadi tujuan yang tidak bisa…
Essaiopini

Bulan Ramadhan dan Tantangan di Dalamnya

2 Mins read
Dibaca: 175 Oleh: Moh. Haidar Latief Saat ini kita memasuki bulan yang mulia, bulan yang dinantikan kehadirannya oleh seluruh umat Muslim seluruh…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.