Oleh Yanuar Aris Budiarto
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Menara Kudus adalah hasil ‘ijtihad’ Mbah Sunan Kudus dalam berdakwah di daerah Kudus, yang pada masa lampau mayoritas memeluk agama Hindu-Budha dan aliran kejawen.
Sebagai salah satu wali tersohor di belantara nusantara, Sunan Kudus memiliki cara yang amat bijaksana dalam dakwahnya. Di antaranya, beliau mampu melakukan adaptasi dan pribumisasi ajaran Islam di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya mapan dengan mayoritas beragama Hindu dan Budha pada saat itu. Akulturasi budaya Hindu dan Budha dalam dakwah yang dilakukan Sunan Kudus, salah satunya dapat kita lihat pada bangunan Menara Kudus di daerah Kauman, Kudus.
Kaki dan badan menara dibangun dan diukir dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen. Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat batang saka guru yang menopang dua tumpuk atap tajug.
Pada bagian puncak atap tajug terdapat semacam mustaka (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjid-masjid tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada unsur arsitektur Jawa-Hindu. Dari situs Wikipedia, dijelaskan bahwa dalam komplek menara juga terdapat masjid dengan pancuran untuk wudhu yang berjumlah delapan buah. Di atas pancuran itu terdapat arca. Jumlah delapan pancuran, konon mengadaptasi keyakinan Buddha, yakni ‘Delapan Jalan Kebenaran’ atau Asta Sanghika Marga.
Sejarah telah memvonis bahwa Menara Kudus sebagai pusat kajian dan aktivitas keagamaan di Kota Kudus adalah sebuah keniscayaan, tidak hanya untuk masyarakat yang tinggal di sekitar kompleks menara, melainkan merembet ke daerah-daerah sekitarnya, bahkan luar kota. Tidak hanya soal ziarah kubur namun juga dalam serapan keilmuan rutin dalam majlis taklim. Hal itu bisa kita lihat setiap hari Jumat pagi selalu ada pengajian Tafsir Jalalain yang diampu oleh Romo KH Sya’roni Ahmadi, dan dulu juga pernah dibadali oleh Romo KH Ma’ruf Irsyad Allahu Yarhamuh. Para muta’allim tidak hanya datang dari daerah terdekat kompleks Menara, atau dari domestik Kudus saja, melainkan juga datang dari Kota Jepara dan Demak.
Sebagai salah satu ikon social-religius, maka wajar kiranya jika banyak logo pesantren dan madrasah di Kudus menggunakan simbol menara sebagai logo lembaga. Madrasah NU TBS, PP MUS-YQ (Ma’had Ulumisy Syar’iyyah-Yanbu’ul Qur’an), SMA NU Al Ma’ruf, PP Roudlotul Muta’allimin Janggalan, adalah beberapa institusi pendidikan Islam yang menggunakan simbol menara sebagai salah satu unsure filosofis dalam logo mereka. Hal itu jelas, karena secara geografis letak lembaga tersebut ada di Kudus dan karena tabarrukan terhadap ajaran agama dan toleransi Sunan Kudus dalam berkehidupan sosial.
Bahkan Universitas Muria Kudus (UMK), yang notabene bukan Kampus ber-basis agama pun menggunakan simbol menara dalam logonya. Artinya simbol Menara tidak hanya identik dengan simbol agama, tapi merupakan ikon publik Kudus secara general.
Dewasa ini, panggung sosial pendidikan santri Kudus sedang ramai diperbincangkan esensi status ‘santri menara’. Tidak terkecuali di jagad maya; facebook. Ada yang menulis ‘Santri Menara’, milik Siapa?, ada pula yang meneriakkan bahwa Santri Menara identik dengan madrasah yang secara geografis terletak di dekat Menara. “Lucu jika yang lokasinya di sebelah sana mengaku Santri Menara,” kelakar salah satunya.
Salah seorang praktisi sejarah, yang juga dosen STAIN Kudus, Nur Said, M.Ag., penulis buku Filosofi Menara; Pesan Damai untuk Dunia, pernah berkomentar dalam sebuah diskusi bahwa menara Kudus adalah identitas relijius, simbol yang baik, jadi semakin banyak yang mengklaim menara, artinya semakin banyak para santri dalam mengklaim kebaikan.
Sebagian pihak merasa bahwa istilah itu hanya atau lebih tepat untuk golongannya, dan tidak untuk golongan yang lain. Sebenarnya jika ditarik benang merah masalah, kausalnya adalah karena posesif primordialisme terhadap Menara Kudus. Harus diakui, bahwa saya sendiri termasuk pihak yang terjebak dalam fanatisme primordial kepada almamater saya, Madrasah NU TBS Kudus dan juga pesantren MUS-YQ Kwanaran Kudus.
Namun melihat ‘pandangan lain’ yang berkecamuk dan berlalu-lintas di media sosial tentu saja membuat naluri saya tergerak. Selama masih dalam koridor pesan syaikhunaa wa murobbi rukhinaa Romo KH Muhammad Arifin Fannani masih saya jaga, “oleh ngerek genderone dewe, tapi ora oleh ngasorake gendherone wong liyo, opo maneh nyuwek-nyuwek gendherone tonggo,” pesan beliau dalam sebuah majlis.
Secara general, hal ini bisa disederhanakan dalam sebuah pertanyaan: mengapa beberapa pesantren dan madrasah di Kudus menggunakan simbol menara Kudus dalam logo mereka? Kenapa tidak menggunakan simbol gunung muria, yang juga di Kudus, atau bahkan pasar Kliwon, yang juga cuma ada di Kudus? Kuriusitas pertanyaan tersebut akhirnya saya floor-kan kepada publik sosial media; facebook.
Responnya jelas banyak dan beragam, yang secara sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa menara kudus adalah simbol peradaban dalam sosial beragama di kota Kudus, ada seni perpaduan antara Islam dan Hindu dengan menjunjung tinggi nilai religious dan toleransi. Jadi jelas, simbol tersebut merupakan refleksi yang menginspirasi santri untuk mempertahankan idealisme belajar agama yang toleran dan juga toleran dalam beragama.
Jadi, jika ada pihak yang mempertanyakan “Santri Menara, itu milik siapa?” terus terang, menurut saya pribadi, ini pertanyaan yang kurang bijak, karena cenderung tendensius. Ada kesan posesif, kepemilikan secara separatis yang seakan-akan ingin mengangkangi menara Kudus secara inklusif dan rentan melahirkan adanya dikotomi klasifikasi sosial hanya karena beda corak dan jarak.
Idealnya, dengan segala kerendahan hati pertanyaan itu diganti menjadi “Santri Menara itu siapa?”, agar tidak ada perasaan posesif yang berlebihan dan lebih deskriptif dalam menjelaskan hal abu-abu yang banyak dipertanyakan. Maka dengan tegas kita lantangkan suara bersama, bahwa santri menara adalah semua santri yang terinspirasi ajaran agama, budaya, dan toleransi Sunan Kudus, dan ini jelas tidak terbatas pada instansi, sekolah, pesantren, atau komunitas tertentu.
Saya tidak ingin mengoyak konflik, apalagi melahirkan statemen yang berujung pada polemik, namun penting bagi kita semua, para santri Kudus, untuk berfikir secara bijaksana dalam memahami konteks menara Kudus sebagai filosofi dan sumber inspirasi, bahwa perbedaan bisa menjadi harmoni. Bukan memahami menara Kudus sebagai sebuah situs yang hanya dimaknai jarak dan lokasi.
Jika akulturasi budaya dan ajaran Budha-Hindu-Islam-Jawa saja bisa serasi nan indah dalam bentuk menara beserta nilai-nilai di dalamnya, kenapa kita santrinya mbah sunan yang sama-sama Ahli Sunnah wal Jama’ah malah justru terpecah? Jadi apapun motif benderamu, warna seragammu, selama kau menganut faham ajaran Sunan Kudus dan memegang teguh aswaja, maka kita adalah ‘Keluarga Besar Santri Menara’. Wallahu A’lam.
Aris Yeabe, kawulo alit santri abadi MUS-YQ asuhan Syaikhuna KH M Arifin Fannani