Oleh: Muhammad Autad An Nasher
Judul : Santri Membaca Zaman. Percikan Pemikiran Kaum Pesantren
Penulis : H. Nur Said, M.A., M.Ag., dkk
Penerbit : Santri Menara Pustaka
Tahun : Juli, 2016
Tebal : 312 halaman
Setahu saya, belum ada karya atau kumpulan tulisan yang ditulis para santri Madrasah TBS Kudus yang dikumpulkan jadi satu, berbentuk buku. Kecuali buku Santri Membaca Zaman, Percikan Pemikiran Kaum Pesantren yang dilaunching pada acara Silaturrahim Nasional dan Ngaji Bareng Masyayikh TBS kemarin (23/07).
Buku tersebut merupakan hasil percik pemikiran para penulis atas pembacaannya mengenai fenomena zaman dewasa ini. Ada dua puluh lima tulisan dari para santri lintas generasi di dalam buku tersebut. Hampir rata, tulisan yang terurai membincang peran, tantangan sekaligus jawaban dari kegalauan masal di kehidupan ini.
Kehadiran buku ini tak lain untuk menegaskan bahwa santri mempunyai peran penting dalam menjaga atau memagari akidah ahlussunnah waljama’ah, yang selalu menampilkan wajah Islam yang ramah bukan Islam marah, Islam yang menjaga dan merawat tradisi bukan yang memberangusnya dengan dalih mengikuti sunnah nabi. Islam yang dikenal dengan empat prinsipnya—yakni tasamuh (toleran), tawasuth (moderat),tawazun (seimbang), dan i’tidal (berlaku adil).
Nur Hamim Hadziq, dalam tulisannya, Santri Sepanjang Masa: Antara Harapan dan Tantangan, mengingatkan kepada para santri untuk mengambil peran di masyarakat di tengah arus globalisasi. Ada tiga langkah penting yang harus diambil oleh santri. Pertama, memperbanyak bekal (Iktsaar az-Zaad/Tazwiid an-Nafsi). Memperbanyak bekal yang dimaksud disini adalah memperdalam ilmu pengetahuan, dengan cara banyak baca. Kutu buku.
Tidak hanya membaca buku atau teks saja, tetapi juga dituntut untuk mampu membaca realitas, fenomena alam sekitar, atau yang disebut dengan ayat kauniyyah. Dengan begitu, seorang santri tidak kaku dalam melihat persoalan yang terjadi di masyarakat. Yang sedikit-sedikit mudah mengharamkan, menyesatkan, dan mudah membid’ah-bid’ahkan. Tetapi lebih luwes, lentur, tidak menampilkan wajah garang.
Kedua, Guidance and Counselling (al-Irsyad wa at-Taujiih). Walaupun seorang santri, apalagi remaja, harus ada yang membimbing. Punya kedekatan dengan kiai. Toh meskipun sudah lulus dari pesantren sekalipun, mendekat dengan kiai atau ulama’ itu wajib dan penting. Terutama kiai tersebut mempunyai sanad keilmuan yang sampai ke baginda Nabi Saw.
Ketiga, punya hubungan harmonis antara generasi tua dan muda. Hal ini sangat penting, agar hubungan atau silaturrahim tetap terjaga. Apalagi membawa nama santri. Jangan mudah dipecah belah. Karena, menurut hemat penulis, persolan kehidupan yang kita hadapi dewasa ini, terutama soal konflik, masalahnya hanya kita jarang ngopi bareng. Maka, perbanyak silaturrahim dan bertegur sapa.
Di tulisan lain, Nafi’ul Haris mengingatkan kepada para santri, bahwa di tengah gempuran arus informasi yang berbasis media sosial dewasa ini, mau tidak mau, santri harus menjadikan sosial media sebagai basis gerakan. Melakukan wacana tandingan. Saat ini, banyak situs-situs intoleran dan akun-akun yang mencoba melakukan indoktrinasi ideologi radikal. Maka, para santri harus menandingi terhadap apa yang dilakukan oleh kalangan ekstrimis fundamentalis tersebut.
Salah satunya dengan melakukan kampanye positif terhadap citra Islam yang rahmatan lil’alamin sebagaimana ajaran Nabi Muhammad Saw. Dengan memberikan konten-konten positif, baik ceramah keagamaan maupun dakwah yang bersumber kajian turats yang khas pesantren. Hal ini menjadi penting di tengah masyarakat yang lebih suka merujuk segala apapun, hal ihwal yang berkaitan dengan hukum, akidah, melalui jalur instan; bertanya kepada mbah google.
Sementara Ammar Machmud di dalam tulisannya mengingatkan kita bahwa menjadi seorang santri harus paham budaya atau tradisi. Bukan kok malah anti terhadap tradisi. Lalu mengharamkan kenduri, selametan, tahlilan, manakiban, dan tradisi-tradisi lainnya seperti nyekar, padusan, dan dhandhangan.
Bila ada santri yang sudah lama di pesantren, kemudian belajar ilmu ke luar negeri, setelah lulus, lalu tiba-tiba mengharamkan dan membid’ah-bid’ahkan amaliah-amaliah yang dahulu pernah ia jalani, maka, santri yang seperti itu belum tuntas dalam mempelajari ilmu agama. Jadi ia diminta untuk belajar kembali. Apa itu bid’ah, apa itu tradisi, dan apa itu agama. Jika masih gagal paham, maka, baca tulisannya Ahmad Tajuddin Arafat dengan judul tulisan “Sindrom Gagal Paham”.
Di dalam tulisan Tajuddin Arafat tersebut, kita diingatkan untuk melek dalam beragama. Termasuk melek dalam membaca budaya atau tradisi. Namun, Tajuddin lebih menyorot ke arah fenomena budaya ketika dihadapkan pada tantangan modernitas. Ketika agama mulai dijadikan komoditi. Muncul istilah yang syar’i dan kearab-araban agar dagangannya laku jual. Bank syari’ah, Hijab syar’i, serta istilah ana, akhi, ukhti, dan antum pun banyak dipakai dewasa ini oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Bila nabungnya tidak ada label syar’inya tidak mau menabung. Bila hijabnya tidak ada label syar’i atau belum berstempel halal dari MUI dikatakan belum sempurna dalam menutup aurat.
Oleh karena itu, Tajuddin mengingatkan kepada para santri, supaya terhindar dari sindrom gagal paham, santri harus mempelahari hadis dan meniru sunnah nabi secara totalitas. Jangan setengah-setengah, cumacasingnya saja. Bersurban, berjenggot, namun perilaku dan tutur kata tidak mencerminkan apa yang telah diajarkan oleh Nabi Saw.
Masih banyak tulisan yang belum bisa penulis urai satu persatu karena saking banyaknya tema yang unik dan menarik untuk dibaca dari berbagai sisi. Hemat kata, buku Santri Membaca Zaman ini adalah salah satu referensi kuat yang harus menjadi rujukan bersama oleh para santri, terutama kalangan Ahlussunnah Waljama’ah untuk memagari Nusantara. Indonesia. Wallahhu a’lam. []
Muhammad Autad An Nasher adalah Santri Madrasah TBS Kudus. Bisa disapa lewat akun twitter @autad
Resensi buku ini dimuat juga di http://islami.co/geliat-pemikiran-santri-dari-bumi-kudus/