Oleh Budi Ariyanto
SANTRIMENARA.COM, ESAI – Salah satu tokoh nasional dengan berbagai atribut yang melekat pada dirinya, mulai dari budayawan, kiai, intelektual muslim kontemporer, hingga penulis ini selalu dirindukan oleh banyak kalangan. Ia adalah Emha Ainun Najib atau lebih akrab dipanggil dengan sebutan Cak Nun.
Pria kelahiran Jombang Jawa Timur ini selalu ditunggu-tunggu kehadirannya bersama group Kiai Kanjeng dalam setiap pementasannya. Baik di kota besar maupun di daerah, panggung Cak Nun selalu dibanjiri pengunjung. Menariknya lagi, mereka yang hadir tidak hanya berasal dari kalangan sebayanya, melainkan lintas generasi.
Kehebatan Cak Nun ini bukan hal baru lagi. Selain digemari lintas generasi, pribadi Cak Nun juga begitu mudah merebut hati masyarakat dari beragam profesi. Mulai dari guru ngaji, artis sampai dengan politisi. Pada majlisnya, tinggi-rendah status sosial seseorang sanggup melebur menjadi satu didalam kepercayaan diri sekaligus kerendahan hati. Pertanyaannya, apa yang dimiliki Cak Nun hingga Ia mampu setinggi ini.
Sebagai sosok yang unik, Cak Nun sebenarnya memiliki kemampuan ngemong (mengasuh) yang beda dari para da’i dan tokoh lainnya. Kemampuan tersebut sudah menyatu di dalam dirinya sehingga terkadang sulit untuk difahami bahwa itu adalah keistimewaaanya.
Kepiawaiannya menghadapi segmentasi orang yang beragam, salah satu resepnya adalah seninya dalam berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, Cak Nun mampu memasuki ruang-ruang kultural pengunjungnya. Sehingga Ia dapat mengambil hati pengunjungnya tanpa harus “memaksa”. Seni ajakan Cak Nun ini tentu saja mensyaratkannya menekan ego diri dari menampilkan sederet kepandaiannya.
Seni komunikasi Cak Nun lainnya, ia tidak pernah dalam panggung sosialnya itu melewatkan gimik-gimik kata yang emosional. Meskipun kata-kata yang dilontarkan masuk dalam kategori kasar, namun saat Cak Nun yang mengucapkan semua dapat menerima, dan seringkali kebekuan justru menjadi pecah seketika karenanya. Diksi, intonasi dan ketepatannya memakai kata tersebut, menjadikan kata yang dilontarkannya justru diterima dalam bingkai keakraban dan kehangatan sosial.
Sebagai santri, kita seringkali mendahulukan darimana kita berasal daripada dimana kita tinggal saat ini. Kita ingin budaya kita diterima orang lain, daripada memahami budaya baru dimana kita berada terlebih dahulu. Kita ingin didengarkan daripada mendengarkan orang lain dahulu. Kita ingin dimengerti daripada berusaha memahami orang lain terlebih dahulu.
Dalam konteks ngemong, seni Cak Nun dalam berkomunikasi di atas sejatinya sangat bermanfaat, terlebih saat kita telah mendapatkan amanah siswa, istri maupun anak. Sebagai guru tentu saja bagaimana kita bisa memahami potensi, sifat dan kepribadian siswa-siswa kita daripada menyuruh mereka memahami kita.
Sebagai suami, bagaimana kita mengajarkan kepada istri dengan sikap kita mau mendengarkannya daripada menyuruhnya mendengarkan kita dahulu. Sebagai orangtua apalagi, kita semestinya mendengarkan dan memahami anak-anak bukan mereka yang disuruh mendengarkan dan memahami kita.
Sebagai santri, peran apa saja nantinya yang akan kita jalani ke depan, semestinya hal tersebut menjadi medan dakwah kultural kita. Mau mendahulukan untuk memahami orang lain daripada menuntut mereka memahami kita. Setelah kita memahami mereka, barulah kita dapat memakai gimik kata yang mereka punya yang akan membuat hubungan tersebut akan semakin hangat. Kehangatan hubungan ini menjadi modal berharga kita untuk kemudian menyampaikan nilai-nilai luhur didalam berdakwah. (edited-212)
Budi Ariyanto, alumnus Madrasah TBS Kudus 2005, tinggal di Yogyakarta