Oleh Agus Hidayatulloh
SANTRIMENARA.COM, ESAI – Umur tak pernah bohong. Demikian yang saya rasakan saat membaca Al-Quran dengan mushaf kecil. Kini mata sungguh tak nyaman saat membaca mushaf berukuran kira-kira kurang dari 7×10 cm itu, bahkan terasa sakit. Menyesal juga kenapa Al-Quran Madinah seukuran kertas A5 yang ada di rumah 2 buah tidak dibawa salah satunya. Beruntung masih membawa tablet, ukuran cukup ideal jika untuk membaca Al-Quran. Namun, sepertinya akan lebih sehat jika bisa mengurangi interaksi mata dengan pancaran sinar dari barang elektronik.
Alhamdulillah, seorang teman dari Brunei kemudian menawarkan meminjami sebuah Al-Quran seukuran A5, atau sedikit lebih besar. Dengan senang hati saya menerimanya, dengan harapan semoga makin banyak yang tertular kebaikan: yang membaca Al-Quran berpahala, yang meminjamkan mushaf juga berpahala.
Hanya saja, saat baru mulai membaca surat Yasin, terasa seperti ada “kejanggalan”. Seingat saya, pada ayat kelima, saya biasa membaca tanziilal-aziizir-rahiim, tetapi saya dapati harakat yang tertera pada mushaf Brunei ini adalah dhammah pada huruf lam, menjaditanziilul-aziizir-rahiim. Saya pun tetap membaca tanziilal-aziizir-rahiim, seperti yang saya biasa baca dengan mushaf-mushaf yang selama ini saya tahu.
Saya berpikir, jangan-jangan typo dan lolos dari pemeriksaan sebelum pencetakan. Karena saya yakin mushaf ini tentu sudah melewati pemeriksaan lembaga berwenang, sebagaimana di Indonesia dilakukan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran di bawah Kemenag RI, apalagi di halaman depan jelas tertulis sebagai mushaf dari Sultan Brunei, tentu tidak sembarangan dicetak dan didistribusikan.
Pada ayat-ayat berikutnya, rupanya terasa lagi “kejanggalan-kejanggalan” lain, yang terdekat adalah dua kata saddan pada ayat ke-9 surat Yasin itu, di mana dalam mushaf Brunei ini tertulis suddan dengan sin yang dhammah.
Saya pun mulai berpikir, sepertinya apa yang terlihat ini bukan typo, ini ada unsur “kesengajaan”. Hal yang sama juga terjadi di surat lain, misalnya saat membaca surat al-Kahfi, baru ayat kedua sudah langsung merasakan “kejanggalan”, di mana biasa membaca mil ladunhu, tiba-tiba cukup jauh berubah menjadi mil ladunihii. Karena saya rasa saya masih bisa mengingat dan yakin dengan bacaan tanziilal, saddan, ladunhu, dll, maka saya pun membaca sesuai dengan yang saya ingat dan yakin itu.
Meskipun saya bukan orang yang hafal Al-Quran, mengingat ini adalah surat-surat yang sangat sering dan biasa dibaca, baik sendiri maupun beramai-ramai, maka saya yakin dengan bacaan saya—mengabaikan harakat dan tanda baca yang tertera pada mushaf Brunei itu. Untuk membaca surat-surat lain yang tidak sesering surat-surat itu, saya pun menggunakan mushaf di tablet—menghindari kekurangyakinan atau kekurangtepatan cara baca.
Setelah selesai membaca Yasin dan al-Kahfi itu, saya penasaran untuk lebih mengetahui seluk-beluk mushaf Brunei ini. Di cover dengan sangat jelas tertulis: bir-rasmil-utsmani. Saya pikir selama ini di Indonesia, juga Mesir dan Arab Saudi, rasm inilah yang paling mudah dijumpai. Atau lebih tepatnya saya sebenarnya juga penasaran seperti apakah rasm yang lain. Sejauh apa perbedaannya. Mushaf Brunei ini, rupanya juga menggunakan rasm yang sama, menandakan sesama rasm utsmani pun bisa terjadi perbedaan, dalam hal ini harakat atau tanda baca.
Tulisan lain yang cukup mencolok di cover adalah: mushaf al-waatsiq billah, jalalatis sulthan hasanal bulqiyah, mu’izziddiin wad daulah, sultan dan yang dipertuan negara brunei darussalam. Tak ada yang salah dalam hal ini. Tentu saja mushaf Raja Abdul Aziz atau Raja Salman Saudi, juga mushaf Sultan Brunei, pasti sama-sama telah melewati pemeriksaan ketat sebelum dicetak dan diedarkan.
Kemudian baru ada tulisan lain, yang sepertinya kalah mencolok dengan tulisan-tulisan lainnya, yaitu: biriwaayati syu’bah ‘an ‘ashim, bacaan riwayat Syu’bah dan ‘Ashim. Sepertinya di sini kuncinya. Teringat kembali pelajaran-pelajaran dasar mengenai qiraah sab’ah di Madrasah TBS Kudus dulu. Mungkin sangat dasar, tetapi mungkin tidak terlalu dasar juga. Satu yang pasti hanyalah bahwa saya kurang mendalami atau kurang memahami pelajaran itu (untuk guru tercinta yang mengajari kami qiraah sab’ah, K.H. Muhammad Manshur, lahul-faatihah).
Sedikit membuka ingatan, di otak muncul adanya keterangan tentang 7 imam qira’ah (bacaan) yang disepakati oleh para ulama akan validitas dan kesahihan riwayat bacaannya sampai kepada Baginda Rasulullah saw. Ke-7 imam itu memiliki setidaknya masing-masing dua penerus yang tiap penerus itu memiliki perbedaan-perbedaan bacaan. Dengan demikian, setidaknya ada 14 qira’ah atau cara baca yang berbeda-beda, tetapi kesemuanya insyaAllah sama-sama benar, sahih, dan valid.
Klarifikasi
Untuk meyakinkan diri, saya coba hubungi teman yang bekerja di Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran Kemenag RI yang kantornya ada di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Saya juga mintakan pendapat kepada teman yang sudah hafal Al-Quran 30 juz sejak kelas 5 SD, lulusan Madrasah TBS dan Pondok Tahfidz Yanbu’ul Quran Kudus.
Saya kirimkan capture foto mushaf Brunei itu dan menanyakan pendapatnya. Menurut keterangan keduanya, mushaf-mushaf yang banyak beredar di Indonesia umumnya didasarkan dari bacaan riwayat Hafsh dari ‘Ashim. Adapun mushaf Brunei ini tertera merupakan riwayat Syu’bah dari ‘Ashim.
Dengan demikian, perbedaan tanda baca, juga terkadang ada perbedaan huruf, ini merupakan turunan dari perbedaan perawi bacaan. Karena belajar dari satu imam, yaitu Imam Ashim, maka Imam Syu’bah dan Imam Hafsh ini tidak terlalu kentara perbedaan bacaannya. Jika dilihat lebih lanjut, sepertinya memang tidak terlalu banyak perbedaan antara mushaf Brunei riwayat Syu’bah ini dengan mushaf-mushaf riwayat Hafsh yang banyak beredar di Indonesia. Jika mau satu persatu membuka setiap halaman mushaf Brunei riwayat Syu’bah ini, jelas tidak setiap halaman ada perbedaan dengan mushaf Hafsh.
Beruntung mushaf Brunei yang dipinjamkan ke saya ini tertera biriwayati Syu’bah sehingga menjadi clue yang sangat membantu untuk menelusuri “kejanggalan” seperti yang saya rasakan. Seandainya tidak tertulis biriwayati Syu’bah itu, barangkali saya mesti mengeluarkan keringat lebih banyak untuk memecahkan kunci perbedaan ini.
Di kesempatan berikutnya, teman Brunei ini membawa mushaf Brunei lainnya. Saya lihat cover-nya ada perbedaan. Memang sama-sama diterbitkan oleh Sultan Brunei, tetapi kali ini mencantumkan biriwayati Hafsh ‘an ‘Ashim. Isinya pun persis seperti mushaf yang lebih banyak beredar di Indonesia. Apresiasi patut diberikan kepada Sultan Brunei yang mau mencetak mushaf dengan beragam riwayat. Hal ini kiranya dapat memperkaya khazanah keilmuan Al-Quran di Brunei.
Tashih
Dari kejadian ini, saya menyimpulkan bahwa kita memiliki dua pilihan saat melihat mushaf yang “rasanya” berbeda atau ada yang janggal menurut kita. Tentu saja pilihan ini berwujud setelah ditelusuri kesahihan mushaf tersebut. Untuk kita yang tinggal di Indonesia, kita percaya otoritas Lajnah Pentashihan Al-Quran. Jika mushaf tersebut sudah mendapatkan surat tanda tashih resmi dari lajnah tersebut, insyaAllah dapat kita percayai validitasnya.
Pengecekan tanda tashih perlu dilakukan karena tidak semua mushaf lokal yang ada di pasaran tanah air mencantumkan tanda tashih ini. Memang, tidak adanya tanda tashih bukanlah tanda pasti bahwa mushaf tersebut tidak valid. Namun, berdasarkan pengalaman pribadi, saya pernah mendapati adanya kesalahan cukup fatal pada mushaf yang tidak mencantumkan tanda tashih, padahal dikeluarkan oleh penerbit spesialis Al-Quran yang menginduk pada kelompok penerbit besar yang dikenal banyak menerbitkan buku-buku keislaman.
Sebenarnya, selain tanda tashih yang dikeluarkan Lajnah Pentashihan Al-Quran Kemenag RI itu, beberapa penerbit mushaf di Indonesia juga terkadang secara mandiri mencari tashih dari para ulama pakar bacaan Al-Quran. Secara substansi, hal itu tidaklah masalah, yang terpenting adalah bahwa mushaf yang dicetak dan didistribusikan di masyarakat umum itu sudah betul-betul diperiksa dan divalidasi oleh para ahlinya.
Kembali kepada dua pilihan saat melihat mushaf yang “rasanya” berbeda atau ada yang janggal menurut kita, maka mungkin dapat dipilih salah satu untuk konsistensi. Pertama, membaca sesuai hafalan atau ingatan yang ada, dengan syarat betul-betul yakin. Dalam arti, karena mungkin belum betul-betul hafal di luar kepala atas suatu ayat atau surat atau juz Al-Quran, maka membacanya akan terbantu dengan memegang mushaf dengan “rasa berbeda” itu.
Saat menemukan atau merasakan perbedaan itu maka yang dipegang adalah yang sesuai hafalan atau ingatan atas dasar keyakinan. Dengan demikian, dapat mengabaikan tanda baca yang tertera pada mushaf yang tengah dipegangnya.
Kedua, mengabaikan semua hafalan dan ingatan yang selama ini ada di otak, untuk kemudian berpegang teguh dengan semua tanda baca yang ada pada mushaf “berbeda” yang tengah dibacanya. Asalkan diterapkan secara konsisten, tentunya tidak masalah.
Yang selayaknya dihindari adalah mencampuradukkan hafalan dan tanda baca mushaf “berbeda”. Misalnya, pada awal ayat berpegang pada hafalan, tetapi saat terjadi perbedaan berikutnya malah berpegang pada tanda baca mushaf “berbeda” itu.
Sederhananya, bila pada awal membaca mengikuti bacaan riwayat Syu’bah, maka seterusnya, atau setidaknya sampai satu surat, selayaknya membaca atas riwayat Syu’bah. Jika membacanya di muka umum dan hendak membaca dengan riwayat berbeda-beda, ada baiknya pula menjelaskan dengan riwayat apa ia sedang membaca. Jangan sampai malah membingungkan pembaca karena seakan-akan hanya melihat inkonsistensi dari lahiriah bacaannya.
Menyikapi Perbedaan
Jika permasalahan ini dapat dibahas lebih lebar, dalam hal melihat setiap perbedaan maka kita harus dapat mengurainya dengan kepala dingin. Bahwa tidak semua hal yang berbeda dengan pemahaman kita itu selalu salah. Bahkan, belum tentu juga pemahaman atau ilmu yang kita miliki 100% benar dan bebas dari kesalahan. Bisa jadi, pemahaman kita benar dan pemahaman yang berbeda itu juga sama benarnya. Seperti kasus mushaf Syu’bah dan mushaf Hafsh ini.
Jika sedang tidak waras, bisa saja saya akan dengan mudah menyalahkan mushaf Brunei itu. Misalnya ketika berlaku sombong karena merasa sudah cukup lama belajar di Kudus, kota yang cukup terkenal dengan tradisi ilmu Al-Quran nya, maka bisa jadi akan berpikiran: mushaf Brunei ini pasti tidak diteliti sebelum dicetak. Itulah laku sombong yang harus dihindari.
Kasus saya ini tentu saja sombong dengan kebodohan. Karena kalau betul—tidak hanya merasa—lama belajar di Kudus, tentu setidaknya pernah mendengar sekelumit pelajaranqira’ah sab’ah dan ujung-ujungnya akan mengklarifikasi perbedaan yang ada.
Saat terdapat perbedaan di antara dua hal, kiranya dapat disimpulkan tiga kemungkinan, yaitu keduanya benar, keduanya salah, atau salah satunya benar dan salah satunya salah. Dalam hal ini, mengingat semakin luasnya ilmu yang ada di dunia ini, dan nyaris mustahil bagi kita menguasai semuanya, maka satu sikap paling mudah diambil jalur amannya adalah: tidak mudah menyalahkan orang lain.
Boleh menganggap ilmu yang kita miliki benar, tetapi jangan sampai saat melihat orang lain yang berbeda pemahaman maka langsung mengecapnya salah. Kembali ke tiga kemungkinan di atas. Dengan kunci “tidak mudah menyalahkan orang lain” inilah diharapkan dapat meyakinkan orang-orang yang terkadang mengungkapkan keluhannya, “Saya ingin belajar Islam, tetapi Islam yang manakah, sepertinya Islam itu banyak, saya malah menjadi bingung.”
Dengan demikian, keluhan orang itu dapat diubah menjadi, “Saya melihat banyak warna dalam Islam, dan karena saya baru belajar satu warna maka saya yakini satu warna ini sebagai kebenaran. Adapun warna lainnya, saya harus belajar jauh lebih dalam lagi untuk mengomentarinya. Bisa jadi saya tidak punya cukup waktu bahkan untuk sekadar mendalami luasnya samudra ilmu satu warna ini sehingga cukuplah bagi saya untuk memegang satu warna tanpa menyalahkan warna lain.”
Sabda Rasulullah saw.—sebagian meyakini sebagai perkataan tabi’in—menyebutkan bahwa perbedaan di antara umat Islam adalah rahmat. Dengan demikian, setiap perbedaan yang ada harus disikapi secara bijak. Perbedaan dianggap sebagai bentuk kasih sayang Allah, bukan sumber perpecahan.
Ada baiknya kita terus belajar. Terus mendalami ilmu yang masih sebagian kecil saja kita raih, daripada sibuk menyalahkan pemahaman atau praktik yang berbeda dari orang lain. (edited-212)
Iligan City, 1 Agustus 2016
Agus Hidayatulloh, alumnus Madrasah TBS Kudus, kini tengah bertugas di Filipina Selatan atas mandat dari kantor tempatnya bekerja, Kemlu RI