Di akhir 2018 jagad media sosial digegerkan dengan status facebook atas nama Abdalla Badri yang meresensi buku KH. Asnawi Satu Abad Qudsiyyah Jejak Kiprah Santri Menara (di buku ini disebut SAQ). Status tersebut menuai banyak komentar dan menuntut klarifikasi dari penulis buku SAQ. Mereka diminta meminta maaf terkait konten buku yang merendahkan nama madrasah TBS dan KH. Ma’mun Ahmad.
Abdalla Badri setidaknya menyesalkan 2 poin yang tertulis di buku karya alumni Qudsiyyah tersebut. Pertama, tuduhan bahwa TBS berkompromi dengan Belanda akibat (pernah) digunakannya School. Kedua, “pelecehan” terhadap KH. Ma’mun Ahmad yang disebut di buku SAQ sebagai kiai yang biasa-biasa saja, tidak alim, dan dibandingkan dengan kiai lain.
Buku ini merupakan perkembangan dari status facebook Abdalla Badri dan sebagai perlawanan untuk buku Satu Abad Qudsiyyah. Di bagian awal penulis menjelaskan kronologi latar belakang mengapa buku ini terbit. Abdullah Badri secara rinci mendeskripsikan apa yang terjadi di grup WA alumni TBS yang berisi kemarahan alumni ketika almamaternya “dilecehkan” oleh lembaga lain. Foto-foto dokumentasi rapat dan naskah somasi menjadi konten yang menguatkan argumentasi dan seriusnya buku ini ditulis.
Terlepas dari “kompetensi” antara TBS dan Qudsiyyah yang saya pernah dengar dari sahabat yang merupakan salah satu alumni TBS, kegelisahan anggota IKSAB dapat dimaklumi. Siapa yang tidak marah jika sosok yang dihormati di TBS “dilecehkan” oleh penulis yang notabene alumni dari madrasah kompetitor TBS. Terlebih deskripsi yang merendahkan KH. Ma’mun Ahmad itu termaktub dalam buku yang tidak bertujuan untuk menulis sejarah TBS, melainkan sejarah Qudsiyyah.
M. Abdulah Badri menyodorkan data-data untuk menolak apa yang ditulis oleh tim penulis buku SAQ. Dia menyebutkan ada beberapa versi tentang pendirian TBS, biografi para muasis TBS dan lain sebagainya. Dia cukup berhati-hati menampilkan data yang terkait dengan waktu. Daripada memilih salah satunya, dia lebih baik menampilkan data-data waktu yang berbeda itu.
Yang menarik adalah analisis Abdullah Badri terkait tanggal pendirian TBS sesuai kalender hijriyah. Dia mengajak kita untuk bertamasya pada indahnya ilmu falak. Kesimpulan yang didapat dari adanyaa perbedaan versi tanggal berdirinya TBS berangkat dari perbedaan selamatan dan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). TBS didirikan hari Selasa Pahing pada 7 Jumadal Akhiroh tahun 1347 H, dan KBM dilaksanakan Rabu Pon tanggal 8 Jumadal Akhiroh tahun 1347 H/20 dan 21 November 1928 M (hlm 81).
Buku yang dipenuhi dengan isi kitab Ta’limul Muta’alim ini menegaskan bahwa pendidikan di TBS berorientasi akhirat. Abdullah Badri berupaya menangkap pola, model, dan motivasi dari masyayikh yang bersandar pada nilai-nilai dari kitab ta’lim. Misalnya memulai pengajaran pada hari Rabu atau Ahad, siswa menghadap kiblat, dan ketakutan para masyayikh kalau siswa TBS bergantung pada dunia ketika ikut Ujian negara.
Buku ini berhasil membawa perdebatan yang lebih bermartarbat. Kritik yang tidak argumentatif dijawab dengan resensi kritis yang lebih argumentatif. Di sisi lain, justru membuat pembaca ingin membaca buku SAQ. Kira-kira bagaimana isi buku SAQ yang membuat anggota IKSAB merasa berang dan mensomasi penulis buku SAQ itu.
Inilah buku yang turut “memartabatkan” buku yang dikritiknya. Buku SAQ mungkin juga sedang diburu untuk memuaskan penasaran pembaca buku Dalil Sejarah TBS ini. Maka membaca keduanya akan membuat pembaca mengetahui kelemahan buku yang dikritik, di mana titik singgungnya sehingga buku dibantah dengan buku.
Buku ini menyisakan kritik tersendiri bagaimana lemahnya pengarsipan di Indonesia. Lemahnya pengarsipan membawa konsekuensi butanya generasi mendatang akan sejarah diri, masyarakat, dan komunitasnya. Tentu sangat disesalkan jika almamater yang mencetak ribuan alumni dan berusia seabad minim dokumentasi dan arsip. Mungkin karena orang dulu tidak menyangka, TBS dan Qudsiyyah akan menjadi madrasah unggulan yang berhasil mencetak ribuan alumni yang kiprahnya menasional dan menginternasional.
Semoga dengan terbitnya buku ini, akan memunculkan buku bantahan lain dari alumni Qudsiyyah, sehingga diharapkan muncul iklim diskusi yang sehat antar dua madrasah unggulan di Kudus ini. Terlalu eman-eman jika sejarah madrasah dan biografi pendirinya ditulis dengan nafsu merasa unggul dari yang lain.