Shiyam merupakan salah satu pilar dari rukun Islam. Secara eksplisit, puasa menjadi satu-satunya pilar yang memiliki tujuan signifikan dalam membentuk insan yang bertaqwa (QS. Al Baqarah: 183). Alasannya, puasa mempunyai relasi antara pribadi orang yang berpuasa dengan Allah, baik secara sir (ruang privat) maupun jahr (ruang publik). Selain itu, disengaja/diniatkan puasa melalui proses mabit an niyyat (menginapkan niat). Sehingga hanya diri orang yang berpuasa dan Allah saja yang mengetahuinya.
Syaikh Abdul Qadir al Jailaniy dalam kitab Sir al Asrar wa Mathhar al Anwar mengklasifikasikan puasa menjadi tiga level. Pertama, Puasa Syari’ah, yaitu puasa yang hanya sekadar menahan dari hal-hal yang membatalkan puasa. Pada Level ini Syaikh Abdul Qadir al Janilaniy menekan aspek keabsahan puasa secara syar’i. Sehingga regulasi puasa pada level pertama ini masih bersifat formal. Umumnya hanya yang menggugurkan kewajiban berpuasa (bara’ah al Dzimmah). Level ini umum dilakukan oleh khalayak yang awam dalam pengetahuan agama, atau orang yang mengetahui pengetahuan agama tetapi berprilaku “sembrono”.
Puasa pada level pertama ini sifatnya masih terbatas dengan waktu, yaitu mulai terbitnya fajar shadiq hingga terbenamnya matahari. Selain itu, akan mudah terjerumus pada perilaku yang secara etika agama tidak diperkenankan, namun tidak membatalkan keabsahan puasanya. Contohnya seperti menggosip, menyakiti hati orang lain dan sebagainya. Nabi Muhammad berkata; “banyak sekali orang-orang berpuasa namun tidak mendapatkan manfaat dari puasanya melainkan hanya lapar dan dahaga”.
Kedua, Puasa Thariqah, yaitu puasa yang tidak hanya pada bulan ramadan saja, melainkan puasa sepanjang masa hingga akhir hayatnya. Sedangkan iftharnya ketika memasuki surga dan dapat rukyah kepada Allah. Dapat diartikan Puasa Thariqah sebagai puasa yang tidak hanya melakukan rukun formalnya saja, tetapi juga harus memperhatikan aspek etikanya. Pada tingkatan ini, Sha’im (orang yang berpuasa) akan menjaga seluruh anggota badan dari perbuatan tercela, haram, larangan-larangan, baik secara lahir maupun batin, pada waktu siang maupun malam.
Pada level kedua ini Syaikh abdul Qodir al Jailaniy menekankan pentingnya aspek intrinsik (batiniy). Aspek tersebut erat kaitannya dengan adab dan kemurnian proses berpuasa dari hal-hal yang tercela. Sedikit saja melakukan kemungkaran, dapat menggugurkan subtansi puasa itu sendiri. Artinya, apabila sha’im melakukan salah satu kemungkaran, maka dianggap batal puasa thariqahnya. Hal ini berdasarkan ungkapan “banyak orang yang berpuasa namun hakikatnya berbuka (tidak puasa) dan banyak orang yang tidak puasa namun hakikatnya mereka berpuasa”. Karena, menjaga anggota tubuhnya dari larangan-larangan Allah dan menjaga anggota tubuhnya untuk tidak menyakiti orang lain, dapat diganjar seperti puasa.
Dari ungkapan tersebut, puasa dapat diartikan secara hakiki dan juga dapat berarti majazi. Hakiki yaitu puasa formal yang dilakukan pada hari dan bulan tertentu, termasuk bulan Ramadan. Makna puasa ini, secara hakikatnya memiliki nilai, jika puasa tersebut disertai dengan etika batiniy (menjaga anggota tubuh dari sesuatu yang tercela atau dilarang). Namun sebaliknya, jika Sha’im mengabaikan etika dan adab-adab berpuasa maka dianggap Mufthir (tidak berpuasa).
Makna majazi berarti bahwa pengertian puasa di sini tidak terbatas pada bulan suci ramadan saja. Melainkan seseorang dikatakan puasa, apabila mampu mencegah dirinya dari segala bentuk larangan, muharramat dan maksiat a’malul qalbi. Pada tingkatan level kedua inilah setidaknya kita semua dapat mengikhtiarkan sebisa mungkin supaya benar-benar mencapai derajat muttaqin.
Sedangkan puasa level ketiga adalah Puasa Hakikat, yaitu puasa yang lepas akan batas-batas hakiki. Level ini seseorang dapat menjaga hatinya hanya fokus kepada Allah dan menjauhkan diri segala sesuatu selainNya. Sehingga tujuan dan target hidupnya sudah mencapai maqam puasa hakikat. Tiada sesuatu yang dicintai kecuali Allah, dan tiada yang dicari baik di muka bumi maupun akhirat melainkan hanya Allah. Inilah tingkatan maqamnya para Nabi, Shiddiqin dan Muqarrobin.
Dengan demikian, setelah mengetahui dari level-level puasa perspektif Syaikh Abdul Qadir al jailaniy, setidaknya ada usaha untuk meningkatkan grade pada level diatasnya supaya benar-benar mencapai nilai subtansi berpuasa yang bermuara menjadi insan Muttaqin. Amin
Baca lainnya disini, atau telusuri lainnya.