Oleh Yanuar Aris Budiarto
SANTRIMENARA.COM, ESAI – Dalam dunia fotografi, yang saya tahu ada istilah point of view. Secara sederhana saya mengartikannya sebagai sudut pandang utama dalam menyampaikan makna atau pesan dalam foto itu. Terlebih dalam fotografi jurnalistik, konon 1 foto bisa berarti sejuta kata, sejuta makna. Bisa ditulis berita begini dan bisa diberi catatan begitu.
Beberapa waktu lalu, foto duo jawara bulutangkis Indonesia, Tontowi dan Liliyyana, menjadi berita viral di sosial media. “Kado spesial di HUT Indonesia ke-71,” begitu kalimat yang mengiringi keterangan foto tersebut. Ini foto yang memiliki caption kado itu.
Bagi rakyat Indonesia pada umumnya, terlebih yang jiwa nasionalisme dan cinta tanah airnya tinggi, wa bil khusus bagi pecinta bulutangkis, foto di atas adalah jawaban dari doa yang telah dirajut dari jaman pemerintahan SBY dulu hingga era Jokowi saat ini. Karena prestasi tersebut merupakan raihan emas pertama dari kelas ganda campuran bulutangkis. Sebelumnya, prestasi terbaik di nomor ganda campuran adalah dua medali perak.
Tapi bagi para orang-orang yang nyiyir terhadap demokrasi, yang mempertanyakan dalil cinta negara, cinta tanah air, para pejuang khilafah, yang melihat suatu nasionalisme sebagai salah satu bentuk dari sistem kafir dan sebagainya, mungkin foto di atas akan memiliki sudut pandang lain, dan tentunya berbunyi lain. “Pasangan bukan muhrim, haram foto bersama,” begitu kira-kira caption foto di atas.
Bagi kalangan Islam ekstrimis dan dari sudut pandang syar’i, ada banyak hal yang berpeluang untuk dicaci oleh mereka. Badminton olahraga orang kafir, tidak ada dalam Al Quran dan Hadits, dukung badminton tidak ada dalilnya, dukung khilafah jelas pahalanya. Misalnya begitu.
Sinisme lain mungkin akan berbunyi seperti ini: ganda campuran haram, Lilliyana tidak berhijab, itu membuka aurat wanita, bergaya menyerupai lelaki, Tontowi-Liliyana ganda campuran bukan muhrim, Liliyana keturuan Cina, asing aseng dan sebagainya.
Tontowi Ahmad adalah atlet asal Banyumas dibesarkan dalam lingkungan agama Islam yang kuat. Konon katanya dia adalah keluarga dari tokoh NU di daerahnya. Sedangkan Liliyana Natsir berasal dari Manado dan dibesarkan dalam keluarga Katolik. Jika “mereka” mengetahui bahwa Lilliyana Natsir adalah atlet keturunan china, bisa jadi “mereka” akan menghujat atas nama ras dan agama, “Atlet aseng, Cina Katholik kafir,” dan seterusnya.
Inilah bentuk dan bukti Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda tapi tetap satu. Ini adalah bukti bahwa Indonesia menjadi kuat, Indonesia menjadi maju, Indonesia menjadi jaya saat dijalin simpul kerjasama dan kolaborasi persaudaraan lintas suku dan agama. Indonesia bukan cuma Islam saja.
Indonesia bukan cuma Jawa saja, ada suku lainnya juga. Inilah mengapa Indonesia menggunakan sistem demokrasi, bukan khilafah. Secara sederhana bisa disimpulkan, bahwa siapapun yang mencoba memecah belah, menghasut permusuhan lintas agama dan etnis, apapun dalihnya mereka adalah yang tidak ingin Indonesia jaya.
Kita boleh berbeda pendapat dan sudut pandang soal agama, tapi tetap harus menghargai siapapun sebagai manusia. Kita boleh berbeda sudut pandang soal beda agama, tapi harus tetap di sudut pandang yang sama dalam memanusiakan manusia. Apapun suku dan agamanya. Entah tu Cina, kafir, tidak berhijab, tidak islami, tidak syar’i, tidak lahir dari sistem khilafah atau lainnya. Selama mereka manusia, mereka saudara. Selama mereka Indonesia, mereka adalah kita. Satu Nusa Satu Bangsa Satu Bahasa, Indonesia.
Sekarang kita memiliki 26 huruf abjad yang sama. Wahai para ustdaz khilafah, kalian boleh menulis apapun tentang foto di atas. Tapi tolong, jangan berburuk sangka. Setidaknya sekali ini saja untuk merayakan kemenangan dan kemerdekaan bersama. Selamat dirgahayu Indonesia merdeka. Selamat atas kemenangan bulutangkis kita.
Yanuar Aris Budiarto, santri MUS-YQ Yanbu’ul Quran Kudus