SANTRIMENARA.COM, KUDUS – Dalam sesi acara Ngaji Bareng Masyayikh di halaman MA TBS Kudus (23/07/2016), KH Choirozyad menyatakan bahwa sejarah Madrasah TBS Kudus itu bisa dipertanggungjawabkan, bukan karangan dan bukan pula isu karena ada saksi yang bisa dimintai keterangan. “Isu adalah info salah ucap,” ujarnya disambut tawa ribuan hadirin.
TBS tidak pernah mengalami mati suri. “Mulai berdiri TBS sehat segar wal afiyat. Tambah lama malah tambah kaya, gedungnya banyak,” terangnya, “umur TBS sekarang 90 tahun jika menggunakan hitungan tahun hijriyah,” tambah Kiai Zyad dalam bahasa Jawa.
Jika menggunakan hitungan tahun hijriyah, berdirinya Madrasah TBS selisih 3 tahun dari berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). TBS berdiri tahun 1347 H, sementara NU berdiri tahun 1344 H. Jika menggunakan hitungan tahun nasional, selisihnya 2 tahun. NU berdiri tahun 1926 M, TBS berdiri 1928 M.
Putra KH Turaichan Adjhuri tersebut juga mengingatkan istilah peringatan yang dipakai TBS. “Istilah peringatan untuk TBS adalah harlah, bukan ulang tahun. Bukan juga milad, karena milad punya saudara saya Muhammadiyah. Sekarang jadi saudara karena sudah tahlilan,” ungkapnya, hadirin pun tertawa.
Pemilihan istilah tersebut bukan tanpa alasan. Ultah, lanjut Kiai Zyad, berkonotasi kurang baik. Harlah adalah istilah yang menurut Kiai Zyad digunakan oleh NU ketika berjaya di usia 40 tahun, yakni pasca kejadian Gestapu PKI tahun 1965.
Nama pendiri Madrasah TBS adalah kakak ipar KH Ma’mun Ahmad; KH Nur Khudzrin. “Rumahnya di sebelah Barat KH Ma’mun,” jelasnya, “putranya ada yang tinggal di Inggris, namanya Mahfudz Noor (alm), Mansur (alm) dan Abdul Qadir Nur (alm), mukim di jalan lingkar dekat Ngembal Kudus,” imbuhnya.
Adalah KH Abdul Muhith bin Rahmat yang mengusulkan pertama kali kepada KH Nur Khudzrin untuk mendirikan madrasah TBS. Ide awal TBS berdiri adalah karena waktu itu belum ada sekolah formal berbasis Islam di Kudus.
Kiai Muhith yang dulu tinggal di depan masjid Langgardalem itu kemudian menyarakan kepada Kiai Khudzrin agar menggunakan nama yang sudah ada, yakni pondok pesantren Tasywiquth Thullab asuhan KH Ahmad, mertua Kiai Khudzrin. Disingkat dengan TB, bukan TS, mengikuti kultur akronim zaman itu.
Setelah ditambahi kata School (Belanda) di akhir, kemudian disingkat menjadi TBS, kepanjangan dari Tasywiquth Thullab School. Ini bukan berarti TBS kompromi dengan penjajah, bahkan TBS tidak pernah kompromi dengan Belanda sebagaimana NU yang di awal berdirinya juga menggunakan istilah Belanda.
Istilah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menurut Kiai Zyad, baru digunakan kemudian. Dulu, NU menyebut PBNU dengan HBNU, “Hoof Bestuur Nahdlatul Ulama atau disingkat HB NU,” paparnya. Untuk membaca lebih detail sejarah TBS, bisa klik di DUTAISLAM. (smc-212)