Oleh Tub’ Yawaladie
SANTRI MENARA.COM, OPINI – Di tahun-tahun silam, jelas teringat pemandangan para santri berjajar di bawah Menara Kudus, mutholaah kitab atau menghafal nadham Alfiyyah bersama. Masih dengan mengenakan seragam madrasah masing-masing, satu berseragam batik setelan celana hijau, dan satunya lagi batik setelan celana putih. Mereka adalah santri menara, dua saudara tunggal bapak.
Santri Menara telah lama menjadi sebutan bagi semua santri yang menimba ilmu di haribaan para guru mulia di Kudus. Sebutan santri menara juga semakna tafa’ulan’, pengharapan baik yang dinisbatkan kepada sosok Sunan Kudus, sang waliyyul ilmi.
Istilah anak tunggal bapak mengingatkan kita kepada dawuh Syaikhina KH. Ma’ruf Irsyad (Allahu Yarhamuh), seorang ulama’ Kudus alumni Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) yang semasa hayatnya juga pernah menjadi Al Mudirul ‘Aam Madrasah Qudsiyyah. Pernah suatu ketika beliau menjelaskan bahwa kedua madrasah kecintaannya itu (TBS dan Qudsiyah) ibarat saudara tunggal bapak, “Akhun li Ab”, istilah beliau.
Bila ditilik dengan cermat, semangat persaudaraan tunggal bapak ini dapat dirunut dari kesatuan sanad keilmuan keduanya. Dari seluruh jajaran guru, masyayikh hingga mu’assis, dapat dirunut jalur sanad keilmuannya bertemu di sosok Syaikh Ahmad Zaini Dahlan, Makkah.
Hari ini, para kiai yang mengajar di kedua madrasah kebanggan Kudus itu, dapat dikatakan, kebanyakan merupakan lulusan dari berbagai pondok pesantren sepuh di Jawa, seperti dari Kudus sendiri, Pondok Lirboyo, Tebuireng, Sarang, Tegalrejo, Ploso, Krapyak, dan sebagainya. Seluruh dari pondok sepuh ini memiliki sanad keilmuan yang bertemu di guru yang sama, Syaikh Ahmad Zaini Dahlan.
Istilah ‘akhun li ab’ yang diutarakan Kiai Ma’ruf Irsyad tersebut mengingatkan kita bahwa tidak ada alasan bagi sesama santri yang tunggal guru untuk tidak saling bersaudara. Kemuliaan guru sebagai naung ilmu, menjadi titik pertemuan bagi santri manapun untuk merajut persaudaraan di dalam ilmu.
Renungan tentang santri menara dan saudara se-bapak ini, mengingatkan kita juga kepada Imam Ibnu Hajar Al Haitamy dan Imam Romli yang juga dua bersaudara tunggal guru kepada Syaikhul Islam Imam Zakariya Al Anshori. Keduanya, baik Imam Ibnu Hajar maupun Imam Romli sama-sama muncul sebagai ulama besar.
Uniknya, dua imam tunggal bapak ini terkadang berbeda qoul di dalam masalah fikih tertentu. Dan inilah inspirasi yang indah, ketika semangat persaudaraan tunggal guru mendorong murid-muridnya untuk ‘berlomba’ di dalam kebaikan; di dalam ilmu.
Maka sudah sepatutnya, teladan persaudaraan di dalam ilmu, juga persaudaraan tunggal guru ini, menjadi semangat yang terus-menerus dijaga di antara para santri, khususnya santri menara. Hingga kita akan kembali melihat guyub santri-santri di bawah Menara Kudus yang saling menyimak hafalan Alfiyyah mereka seperti tempo dulu. (smc-111/ edited-212)