Oleh: Muhammad Asna Maulana
Sebagai masyarakat Islam yang lahir dan besar di pulau Jawa, Bulan Sya’ban lekat kaitannya dengan tradisi Ruwahan. Istilah tersebut muncul karena dalam penanggalan jawa, bulan Sya’ban disebut sebagai Ruwah. Kata Ruwah sendiri berasal dari kata arwah atau ruh. Bisa jadi bulan Ruwah adalah pengingat untuk ruh atau jiwa kita sendiri, atau mendoakan kepada arwah leluhur dan sanak saudara yang sudah meninggal.
Di Kudus, Ruwahan biasanya digelar acara semacam tasyakuran bersama di masjid dan musala terdekat. Orang-orang yang hadir biasanya membawa bekal dari rumah yang nantinya di bagikan bersama setelah acara doa bersama. Isi bekal tersebut kebanyakan berisi Puli dan Apem.
Secara maksud dan tujuan sebakul bekal yang dibawa, Puli dan Apem menjelma doa yang secara makna terkandung maksud tertentu. Puli dimaksudkan sebagai makna ngumpulno sing do lali, yang dalam bahasa indonesia berarti mengumpulkan orang-orang yang saling melupakan satu sama lain karena kesibukannya agar dapat bertemu, berkumpul, dan mengingat satu sama lain.
Sedang Apem yang diketahui berasal dari bahasa Arab, ‘Afwan’, yang artinya memohon ampunan. Memohonkan ampunan untuk diri sendiri, sanak saudara, ataupun memohonkan ampunan untuk leluhur yang sudah meninggal. Apem berarti sifat sosialis saling memohonkan ketika keseharian kita disibukkan dengan kesibukan duniawi untuk memperkaya diri sendiri.
Tradisi Ruwahan sendiri hadir atas dasar dakwah Walisongo yang secara akulturasi masuk dalam kepercayaan ajaran Kapitayan. Kapitayan adalah kepercayaan penduduk jawa sebelum Hindu-Budha masuk ke Jawa. Orang Kejawen – penganut Kapitayan – meyakini dan menyembah Sang Hyang Taya yang berarti kehampaan. Hampa bukan berarti tanpa tuhan dan ketiadaan, hampa menurut keyakinan kejawen adalan sebuah keadaan berada akan tetapi tak kasat mata. Mungkin bisa diartikan semacam Buddhis yang meyakini bahwa “Kosong adalah isi, isi adalah kosong”.
Sebelum mengetahui adanya Allah Ta’ala, Masyarakat Jawa kuno sudah mengakui keberadaan entitas yang tidak kasat mata atau ghoib. Tetapi “sesuatu yang ghoib” yang mereka yakini bukanlah Allah ta’ala. Melainkan Sang Hyang Taya.
Ketika memasuki bulan kedelapan dalam penanggalan Jawa atau disebut bulan Ruwah, orang Kapitayan atau orang Kejawen selalu melaksanakan ritual penyembahan pohon, gua, batu besar, atau benda yang dianggapnya keramat. Mereka percaya bahwa benda yang mereka sembah didalamnya ada makhluk halus atau ruh. Padahal dalam ajaran Islam menyembah selain Allah ta’ala adalah perbuatan syirik.
Ketika itulah Walisongo datang ke Pulau Jawa, yang berniat untuk menghilangkan kebiasaan keseharian tersebut. Tetapi Walisongo tidak asal-asalan dalam bertindak. Dengan kejeniusannya, Walisongo menggunakan pendekatan yang unik dan luwes, yaitu dengan Islamisasi budaya atau yang lebih populer dengan sebutan akulturasi budaya. Hal itu agar mudah diterima oleh masyarakat.
Walisongo menyadari jika ia mengatakan bahwa yang dilakukan oleh mereka (masyarakat Jawa kuno) merupakan perbuatan yang salah, maka tidak akan diterima. Karena ketika seseorang sudah mempercayai sesuatu bahwa yang dilakukan adalah hal yang baik, maka seseorang tersebut akan mempercayainya dan melakukan hal tersebut.
Ketika ada yang menyelanya bahwa yang dilakukan adalah perbuatan yang salah maka mereka akan menolaknya. Bahkan tak segan mereka akan memarahi dan membenci orang yang menyelanya. Untuk itu agar diterima, Walisongo menggunakan metode Islamisasi budaya.
Budaya yang sudah ada tidak dihilangkan, melainkan dikembangkan dengan cara disisipi dengan nilai-nilai ke-Islaman. Sepertinya halnya Ruwahan. Walisongo telah mengembangkan tradisi Ruwahan yang awalnya menyembah arwah menjadi mengirim doa kepada arwah. Biasanya dibarengi dengan ziarah dan bersih-bersih kubur. Tentunya hal tersebut diperbolehkan oleh agama.
Kontek ini menggaris bawahi kata “mendoakan” yang berarti meminta doa kepada Allah subhanahuwataala kepada ruh yang dimaksud. Bukan meminta doa kepada ruh yang kadang kala disalahpahami oleh kebanyakan orang.
Bagaimanapun budaya adalah kebiasaan leluhur yang patut untuk dilestarikan. Namun, kadang, kebudayaan tersebut melenceng dari Islam yang menyembah selain Allah Ta’ala.
Penulis: Muhammad Asna Maulana, IKSAB Tahun 2016, Mahasiswa Psikologi, Universitas Nahdlatul Ulama
Editor: Ade Achmad Ismail