Pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung setahun lebih. Akibatnya telah berdampak krisis di berbagai dimensi. Bukan hanya virus yang mewabah, begitu juga kepanikan. Panic Buying menjadi sifat yang sulit untuk dibendung. Disisi lain, taraf ekonomi dan pendapatan terus merosot.
Kebahagiaan juga sebenarnya bukan diukur dari materi yang berada. Badan Pusat Statistik (BPS) pernah melansir indeks kebahagiaan penduduk di Indonesia. Jakarta, sebagai kota paling maju di Indonesia, angka kebahagiaan penduduknya hanya 69,21 dari skala 100. Angka ini berada di bawah Provinsi Riau 72,42, lalu Maluku 72,12, dan disusul Kalimantan Timur 71,46.
Ada sepuluh indikator kebahagiaan yang dikelompokkan dalam dua dimensi: Pertama, Dimensi materi, meliputi tiga aspek: pekerjaan, pendapatan rumah tangga dan kondisi rumah dan aset: Kedua, Dimensi non-materi, meliputi tujuh aspek: pendidikan, kesehatan, keharmonisan keluarga, hubungan sosial, ketersediaan waktu luang, keadaan lingkungan dan keamanan.
Jakarta, dengan kemajuan perputaran ekonomi yang tinggi, ternyata tidak serta merta membuat penduduknya merasa bahagia. Artinya bahwa kebahagiaan tidak melulu dilihat dari dimensi materi. Kekayaan materi yang sebenarnya bukan menjadi sumber utama kebahagiaan, selama ini membuat manusia membabibuta. Kiai Ahmad Musthofa Bisri atau Gus Mus, menyebut fenomena ini sebagai “negeri daging” sekaligus menjadi judul buku yang terbit pertama kali pada tahun 2002.
Konsep Bahagia
Dari data BPS tersebut, memang sebagian aspek kebahagian bersumber dari kekayaan materi. Sebagaimana yang terjadi di Jakarta, dengan jutaan manusia yang setiap harinya hanya mengejar kekayaan materi, tetapi angka kebahagiaannya masih sedikit. Aristoteles menyebutkan bahwa kebahagiaan bisa diperoleh melalui lima kelompok. Pertama, kebahagian yang terdapat pada kondisi sehat badan dan kelembutan indrawi. Kedua, kebahagiaan karena mempunyai sahabat. Ketiga, kebahagiaan karena mempunyai nama baik dan populer. Keempat, kebahagiaan karena sukses dalam berbagai hal. Kelima, kebahagiaan karena mempunyai pola pikir yang benar dan punya keyakinan yang mantap. Dalam perspektif tersebut bahagia pada dasarnya berkaitan dengan kondisi kejiwaan manusia.
Menurut Al-Ghazaly kunci kebahagiaan lebih menekankan pentingnya arti cinta kepada Allah. Pengetahuan tentang Tuhan merupakan kunci untuk mencintai Allah. Tidak akan lahir cinta kalau tidak kenal dan tidak merasakan indahnya berinteraksi dengan sesuatu yang dicintainya.
Menurut al-Qur’an jalan kebahagiaan bisa diraih melalui dua jalur yaitu ilmu dan amal. Orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya sehingga kebahagiaan bisa diraih (QS. Al-Mujadilah : 11). Hal ini juga seperti kisah Nabi Sulaiman AS ketika dimanjakan oleh Allah diminta memilih ilmu, harta atau tahta. Karena beliau memilih ilmu, akhirnya mendapatkan ketiganya sehingga kebahagian diraihnya.
Kebahagiaan juga bisa dilalui melalui jalur amal sholeh sebagai buah dari ilmu. Amal sholeh merupakan mata rantai dari keimanan dan bagi yang melaksanakannya akan memperoleh kebahagiaan, baik itu pria maupun wanita (QS. An-Nahl : 97)
Dapat dipahami bahwa kebahagian lebih banyak ditentukan oleh aspek non-materi alias dimensi jiwa (ruhaniah), dimensi materi sedikit ikut menentukan. Ibadah puasa adalah ritual ibadah menekankan aspek ruhaniah. Sampai dalam hadits Qudsy: “Puasa untuk-Ku (Allah) dan Aku yang akan membalasnya” (Al-Hadis)”.
Spesialnya lagi bagi yang berpuasa akan mendapatkan jalur khusus masuk Surga melalui pintu Rayyan (Al-Hadist). Dimana Surga adalah ruang kebahagian hakiki, tidak bisa ditandingi dengan kebahagian selama di dunia. Dengan berpuasalah, manusia akan terasah kecerdasan empatinya sehingga bisa menumbuhkan rasa kasih sayang kepada sesama umat manusia untuk beramal saleh. Maka begitu kita berbagi kebaikan kepada orang lain, maka kebagian akan langsung terasa di dunia dan Surga adalah imbalannya. Wallahu a’lam.
Baca artikel lainnya disini, atau telusuri hal menarik lainnya.