opini

Populisme yang Memonopoli Kebenaran

3 Mins read

الإسلام حقيقة كاملة تبدأ بالمعرفة الصحيحة لله، وتنتهي بالعبودية الصادقة لله، وانما تنهض البنية التشريعية قوية باسقة ضمن الطرفين، فمن دونهما لا يمكن أن ينهض للإسلام أي نظام الخلقي أو تشريعي.

Islam adalah hakikat yang sempurna, dimulai dari pengetahuan yang benar tentang Allah dan berakhir dengan penghambaan yang benar pula terhadap-Nya. Bangunan syari’at hanya dapat menjulang kokoh melalui keduanya, tanpa keduanya niscaya Islam tak akan bangkit, baik secara khalq (aturan yang dibuat makhluk) ataupun tasyri’ (aturan dari Allah).

(Dr. Muhammad Sa’id Ramadlan al-Buthi, Rahimahullah)

Pernyataan Menteri Agama (Menag) – Gus Yaqut – tentang Islam Populis, menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Dalam beberapa cuitan, menyalahkan Menag soal pemahaman dan penyempitan makna terhadap kata “populisme”. Kalau ditelisik secara mendalam, memang benar bahwa telah terjadi reduksi terhadap pemaknaan populisme yang sedang kita perbincangkan. Pasalnya, dari makna lughawi, kita dapat mengartikan populisme adalah hal yang baik, apalagi visinya yang memperjuangkan asas kerakyatan dan kepentingan rakyat kecil. Menurut KBBI, populisme berarti mengakui dan menjunjung hak, kearifan, dan keutamaan rakyat kecil. Tapi tentu saja dengan ditambahkan Islam di depan atau di belakangnya, artinya akan jauh berbeda. Senada dengan kata radikal, apabila dibarengi kata Islam di depan atau di belakangnya akan melahirkan konotasi yang berbeda.

Islam Populis atau Populisme Islam harus dimaknai menjadi satu kesatuan yang utuh (ta’rif laqabi) tidak dimaknai secara satu-persatu atau terpisah (ta’rif idhafi). Sehingga, lahirlah sebuah pengertian baru yang akan kita bahas ini. Jadi ada baiknya sebelum kita mengetahui baik dan buruknya sesuatu kita kembali menelaah definisinya secara mendasar dan menyeluruh. Bisa jadi apa yang kita pahami itu jauh berbeda dari pemahaman yang beredar, atau bisa jadi pemahaman yang menyebar luas di masyarakat lah yang kacau karena kesalahan penafsiran dari penggabungan dua kata yang memiliki sumbu berbeda.

Baca Juga  Idulfitri Kudus Kulon: Pelajaran Kecil dari Opor Ayam dan Toples Botol

Artinya, secara tidak langsung kita semua juga melakukan apa yang disebut populisme, atau kita bisa disebut orang yang populis. Kenapa? Karena kita memiliki sifat alamiah untuk menyuarakan pendapat, apakah menyuarakan pendapat tidak boleh? Sah-sah saja selama berada dalam koridor dan ketentuan yang benar.

Kau ini bagaimana?// kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya // kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir //

aku harus bagaimana?// kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai // kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai //

Penggalan puisi Gus Mus diatas agaknya sesuai dengan yang kita bahas diatas. Ada sebagian atau beberapa kelompok, yang dengan bangga mengatasnamakan dirinya sebagai  perwakilan dari semua golongan. Dalih mereka ini dalam kaidah manthiqi dapat disebut dengan Ithlaq al-juz’ wa iradah al-kul dimana penyebutan “sebagian” tapi yang dimaksud adalah seluruhnya. Lalu, apa yang terjadi? Tentu saja, pembenaran absolut terhadap apa yang “mereka kehendaki” kebenaran yang seharusnya disandarkan pada nash dan logika ilmiah hanya disandarkan pada nafsu kepentingan belaka.

Maraknya kasus berbau agama yang dilancarkan banyak pihak merupakan suatu kemunduran dalam pemahaman keagamaan itu sendiri. Orang-orang cenderung memahami Islam (agama) secara tekstual tanpa memahami konsteksnya. Hal inilah yang terkadang menjadi sebuah bom waktu bagi umat beragama. Karena semua bermula pada pemahaman dan kepercayaan. Jika perspektif pemahaman agama ini hanya di dasari dengan pandangan yang “subjekif” maka umat beragama hanya akan mengulang sejarah perpecahan umat di masa lampau.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Nabi bersabda: “Janganlah kalian salat Ashar kecuali jika telah sampai perkampungan Bani Quraizah (la yusaliyanna ahad al-‘asra illa fi Bani Quraizah)” Ketika sahabat berangkat, di tengah perjalanan waktu salat Ashar tiba. Di antara mereka ada yang memahami secara tekstual, sehingga tidak salat Ashar sebelum sampai tujuan. Ada juga yang memahami secara kontekstual, sehingga salat di tengah perjalanan. Meskipun demikian, mereka tidak saling mencela satu sama lain. Ketika peristiwa itu dilaporkan kepada Nabi, beliau tidak menyalahkan keduanya.

Baca Juga  KH. Muhammad Sya’roni Achmadi adalah Guru Bangsa

Peristiwa di atas adalah cerminan bagaimana menghadapi perbedaan, serta bagaimana untuk tidak memaksakan pendapat. Mungkin inilah yang dikhawatirkan sebagai populisme yang memonopoli kebenaran. Karena suatu kelompok yang dibiarkan terus menerus untuk menyuarakan pendapatnya secara mutlak tanpa adanya kontrol dan pengawasan akan lupa diri tentang suara-suara lain disekelilingnya. Maka sudah seharusnya Pemahaman dan penafsiran yang berbeda disikapi dengan kepala dingin. Mashadir al-tasyri’ (al-Qur’an, Hadits, Ijma’, Qiyas) harus dijalankan sesuai dengan ketentuan dan syarat yang berlaku. Banyak jalan menuju Roma, banyak jalan juga untuk menyimpulkan suatu hukum. Istinbath hukum tidak hanya ada pada satu sudut pandang dan satu jalan, tetapi banyak jalan untuk sampai kepadanya. maka dari itu, terciptalah konsep madzhab, karena satu nash dapat melahirkan berbagai macam interpretasi hukum.

Populisme cara pandang Islam

Islam yang seharusnya kita praktikkan adalah ia yang saling menghargai perbedaan. Dimana setiap aspirasi dan pendapat tidak bisa dimonopoli oleh satu pihak saja. Mendeklarasikan diri  sebagai yang paling shahih adalah tindakan yang tidak bisa diterima dalam kehidupan beragama. Setidaknya kita telah memiliki program empat sehat lima sempurna untuk membendung fanatisme golongan ini, yang kita kenal dengan empat konsep manhaj al-fikr dan lima poin mabadi’ khaira ummah.

Manhaj al-Fikr ahl al-sunnah wa al-jama’ah yang terdiri dari Tawasuth (jalan tengah), I’tidal (tegak lurus), Tawazun (seimbang), Tasamuh (toleransi), dapat dikorleasikan dengan as-Shidqu (memiliki integritas kejujuran), al-amanah walwafa bil’ahdi (terpercaya dan taat memenuhi janji), al’Adalah (tegak lurus dalam meneguhkan rasa adil dan keadilan), at-Ta’awun (saling menolong), al-Istiqomah (konsisten). Jika kita semua dapat mengamalkan nilai-nilai tersebut, niscaya kejayaan Islam akan kembali bangkit dan menyinari dunia. Intinya adalah pada internal umat Islam sendiri, jika perseteruan di dalam umat telah teratasi, agama dan umat kita akan kuat.

Baca Juga  Ramadan di Australia; Toleransi Terasa Indah Ketika Kita Menjadi Minoritas

Fanatisme golongan bisa berakibat terjebaknya pikiran-pikiran yang terlalu eksklusif. Sehingga tanpa sadar kita akan menganggap golongan kita yang paling benar. Selain itu, fanatisme juga mencerminkan betapa sempitnya pemikiran kita. Orang jawa bilang, “ngopine kurang wengi, dolane kurang adoh” dari kaidah tersebut kita paham bahwa interaksi sosial antar sesama manusia sangat diperlukan. Tujuannya agar membuka pandangan kita tentang pespektif orang lain. Dengan sering bertegur sapa, berdiskusi dan tentu saja berkomunikasi kita dapat melengkapi apa yang belum kita dapat.

Baca artikel menarik lainnya disini.

Komentar
1 posts

About author
IKSAB Tahun 2017, sekarang melanjutkan pendidikan di Jami'ah Bilad al-Syam Damaskus
Articles
Related posts
Essaiopini

Bulan Ramadhan dan Tantangan di Dalamnya

2 Mins read
Dibaca: 180 Oleh: Moh. Haidar Latief Saat ini kita memasuki bulan yang mulia, bulan yang dinantikan kehadirannya oleh seluruh umat Muslim seluruh…
opinipendidikanpesantrensantri

Masa Depan, Santri Dituntut Harus Bisa Bahasa Mandarin

1 Mins read
Dibaca: 335 Santri ialah mereka yang mengikuti pendidikan agama Islam di pesantren. Santri biasanya menetap di asrama (pondok) dengan kurun waktu tertentu….
opini

Olimpiade Tokyo 2020: Cobaan Greysia Terbalas Emas

2 Mins read
Ujian Greysia semakin berat semenjak kakaknya meninggalkannya pada akhir tahun 2020, beberapa anggota keluarganya juga terpapar covid-19.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.