Essai

Mengapa Allah Menciptakan Adam Duluan, dan Siti Hawa Belakangan?

6 Mins read

Oleh : Yanuar Aris Budiarto *

 

SANTRIMENARA.COM, ESAI– Sudah menjadi agenda tahunan, hari Kartini 21 April dirayakan dengan sanggul dan kebaya. Kemudian di sudut lain hari Kartini dirayakan dengan membicarakan emansipasi wanita & kesetaraanya. Untuk membahas sanggul dan kebaya, silahkan bicarakan dengan tukang rias, mbak-mbak Salon, atau make Up artist langgananmu. Di sini saya hendak membahas (dan belajar) emansipasi wanita, bukan dari Kartini sih, tapi dari penciptaan Adam-Hawa. Sebab membahas Kartini-an dengan Kartini seperti mencampur air putih dengan air putih: terlalu mainstream dan relatif sama saja. Mari kita ambil sudut pandang yang syar’i, tapi kalau itu bilang Kartinian itu Bid’ah, ya wes mbuh lah… karepmu.

Pada jaman baheula, Allah menciptakan Nabi Adam sebagai manusia pertama di jagad raya ini. Manusia pertama yang merasakan surga secara full service, dimana segala bentuk kebutuhan hidup telah tersedia tanpa bekerja. Bahkan kartu debit (ATM) dan kartu kredit dengan limit sebesar apapun tak perlu kau gesek, pesan makan dan pergi tak perlu Go-jek. Fiuh… Betapa enaknya surga. Sekali minta… langsung tersedia!

Meski begitu, Nabi Adam merasa kesepian karena tak mempunyai teman atau pasangan. Padahal ia melihat semua binatang yang ada di surga hidup berpasang-pasangan. Melihat hewan peliharaan surga, batin Nabi Adam terkoyak-koyak. “Ya Allah… hidup gue gini amat, hewan aja berpasangan, masa’ gue engggak?” batin Nabi Adam galau kala itu. Jadi para jomblo ngenes perlu tahu, Nabi Adam juga pernah merasakan kegalauan yang sama.

Rasa sepi dan sedih membuatnya letih. Ketika Nabi Adam tertidur pulas di bawah pohon yang teduh, Allah yang Maha Tahu mengetahui pula yang tergerak di hati Nabi Adam, yaitu ingin mempunyai pasangan. Maka selagi Nabi Adam tidur, Allah menciptakan manusia lagi yang diambil dari tulang rusuk Nabi Adam sendiri. Manusia itu lain jenisnya dengan Adam. Ia adalah seorang wanita yang dinamakan dengan Hawa.

Ketika Nabi Adam bangun dari tidurnya, ia pun terkejut. Nabi Adam mengusap matanya, seakan tak percaya. Ia melihat seseorang duduk di sampingnya. Kecantikan wanita itu menggambarkan semua keindahan yang menakjubkan, “Siapakah engkau? Mengapa ada di sini?” tanya Nabi Adam dengan tersenyum, kemudian wanita itu menjawab dengan malu-malu kucing, “Aku adalah Hawa yang diciptakan oleh Allah swt. untuk menjadi teman hidupmu.”

“Apa cuma sebatas teman?” tanya Adam mencari kejelasan status. Seakan-akan sejak di surga Nabi Adam sudah mengetahui bahwa kasus yang menimpa anak-cucunya di dunia; banyak pasangan yang mentok di status friendzone alias pertemanan saja. “Owhh tidak… akulah takdirmu, pasangan hidupmu,” jawab Hawa meyakinkan. Lha this’s it… relationship Goals!

* * *

Kisah Nabi Adam di atas tentunya dengan dialog versi imajinasi saya. Poin penting yang mau saya bahas dari skenario di atas adalah, mengapa Nabi Adam diciptakan duluan, dan Siti Hawa belakangan? Atau dalam kacamata gender; mengapa Tuhan menciptakan lelaki dulu, baru kemudian menciptakan perempuan?

Baca Juga  Beragama dengan Otak Kosong (4), Solawat Nariyah itu Syirik

Dulu saya sempat berfikir, jangan-jangan Allah memang menciptakan perempuan karena terpaksa, bukan atas kehendak-Nya sendiri, namun karena kasihan melihat Adam sendirian. Jika alasan penciptaan Siti hawa adalah karena Adam butuh lawan jenis untuk menciptakan generasi, saya jelas tidak setuju. Karena Allah punya otoritas dan kuasa penuh untuk menciptakan Adam dan generasinya dengan sekali ketuk. Kun Fayakun! Dengan rekayasa biologi-Nya, Allah tentu mampu membuat Adam memiliki rahim dan mengandung anak yang entah bagaimana, atau langsung menciptakan Adam plus bala kurawanya.

Dalam Al Quran dijelaskan, bahwa Adam (baca: Lelaki) diciptakan lebih dulu, baru Siti Hawa menyusul beberapa lama kemudian. Lelaki (baca: Adam) diajari ilmu pengetahuan, digembleng dengan tuntunan malaikat agar memiliki wawasan dan pengalaman. Ketika sudah dirasa mapan, barulah muncul kebutuhan akan berpasangan. Pasti ada alasannya, dari situ saya memahami bahwa lelaki dan perempuan tak pernah sama dan setara.

Sempat juga saya bertanya; kenapa Allah takdirkan ada Siti Hawa, sehingga Adam bersalah: tergoda bujuk rayuan perempuan? fakta berbicara, wanita memiliki kekuatan menaklukkan lelaki. Lihatlah Adam, ia rela melanggar aturan surga demi wanita bernama Hawa. Qobil membunuh Habil karena wanita bernama Iqlima, Perang Troya karena wanita bernama Helena, dan kamu (para lelaki) pasti pernah melanggar dosa karena wanita, meskipun hanya sebatas melihat yang bukan hak-nya. Fakta dalam Al Quran sekali lagi menjelaskan, Tuhan memberi ujian pada Nabi Adam untuk tidak mendekati pohon khuldi, namun Siti Hawa lah yang kemudian ngebet minta diambilkan buah Khuldi yang terlarang. Namun begitulah skenario itu dibuat agar ada kisah yang bisa diambil hikmahnya.

Tidak Sama Tapi Saling Melengkapi
Bagi saya, lelaki dan perempuan tidak pernah sama. Jika memang sama? Kenapa aturan pembagian warisan (dalam Al Quran) dalam kasus persaudaraan, lelaki mendapatkan 2 bagian sedangkan perempuan mendapatkan 1 bagian? Karena hak dan kewajibannya berbeda. Saudara lelaki masih berkewajiban mengayomi saudara perempuannya, sedangkan harta saudara perempuan untuk diri sendiri seutuhnya.

Lantas kembali pada topik ‘mengapa lelaki diciptakan duluan, sedangkan wanita belakangan?’ Saya mencoba memahaminya dari sudut spek, fisik, skill, perasaan, dan hal-ihwal wanita yang jauh lebih rumit dan lebih detail dibanding pria. Lihatlah ibu dan istrimu, kedua tangannya mampu menjaga banyak anak pada saat bersamaan, mereka punya pelukan yang dapat menyembuhkan segala bentuk kegalauan, dan ajaibnya, semua itu cukup hanya dengan 1 bibir dan 2 tangan. Mereka tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menentramkan jiwa.

Baca Juga  Antara Curiga dan Berburuk Sangka

Bahkan jika kau tahu, wanita mampu menyembuhkan luka sakitnya sendiri dan mampu melakukan pekerjaan (dan atau) uruan rumah tangga lebih dari 18 jam sehari, meskipun mereka nampak begitu lelah dan rapuh seolah-olah terlalu banyak beban baginya. Saya pernah melihat istri saya begitu kelelahan, menahan kantuk, namun berusaha tetap terjaga untuk menyusui anak saya di pukul 1 dini hari. Saya melihatnya nampak lemah, namun ternyata itu tidak seperti apa yang kita bayangkan, justru itu adalah bukti begitu kuatnya seorang ibu bagi anaknya.

Semua wanita pasti pernah menangis. Namun air mata baginya adalah salah satu cara bagaimana dia menunjukkan kegembiraan, kerisauan, kesepian, penderitaan, dan kebanggaan. Ibu saya menangis saat saya membelikannya gelang yang mungkin nilainya tak seberapa. Istri saya pernah menangis saat kami harus berpisah beberapa waktu untuk urusan kerja.

Perempuan dapat mengatasi beban lebih baik daripada lelaki, dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Dia mampu tersenyum ketika hatinya menjerit kesedihan, bahkan mampu tetap menyanyi ketika hatinnya menangis, bahkan beberapa tetap nampak tabah meski ketakutan.

Perempuan rela berkorban demi orang yang dicintainya. Kalau tak percaya, lihatlah film ‘Kisah Nyata’ di Indosiar. Coba ingat-ingat lagi pengorbanan wanita, di dalam kisah nyata seorang ibumu rela menggadaikan perhiasannya untuk membayar biaya kuliah anaknya, atau seorang istri rela menjual perhiasannya untuk melunasi cicilan kredit suaminya. Ingat-ingat lagi pengorbanan wanita di sekitarmu. Kalau setelah nonton film ‘kisah nyata’ di Indosiar kamu masih nggak ingat pengorbanan ibumu, istrimu, atau wanita di sekitarmu, sepertinya kamu lebih pantes nonton acara ‘Karma’ di ANTV.

Wanita mampu menahan rasa sakitnya kontraksi pra-persalinan, mampu melawan sakitnya proses persalinan. Bayangkan, fisik atau tubuh manusia hanya mampu menanggung rasa sakit hingga 45 dol (ukuran rasa sakit). Tetapi saat seorang wanita mengalami proses persalinan, terutama persalinan pertama, dia akan mengalami rasa sakit hingga 57 dol, level sakitnya seperti 20 tulang yang patah bersamaan. Mungkin dari luar, wanita boleh saja terlihat lemah dan rapuh, namun pria sekuat apapun takkan sanggup bertahan dari rasa sakitnya melahirkan, dan setelah itu ia kembali tersenyum begitu mendengar suara tangis bayinya.

Baca Juga  Beragama dengan Otak Kosong (3), Nasionalisme dan Hormat Lambang Negara Tidak Ada Dalilnya

Dari spesifikasi sederhana di atas, saya mencoba memahami mengapa Tuhan menciptakan wanita (Hawa) sedikit terlambat, karena spek-nya lebih rumit dan lebih banyak daripada pria (Adam). Akhirnya saya sadar, inilah alasan kenapa biasanya bayi perempuan rata-rata lama dalam kandungan dan waktu lahirnya lebih lama ketimbang bayi laki-laki. Studi kasus anak perempuan saya ngendon di rahim istri saya selama 10 bulan 10 hari. Keterlambatan penciptaan wanita adalah karena spek-nya yang lebih komplet, sebab wanita diciptakan untuk menjadi seorang yang istimewa.

Allah membuat bahu seorang wanita cukup kuat untuk menopang dunia, namun harus cukup lembut untuk memberikan kenyamanan pria dan anak-anaknya. Allah memberikan wanita kekuatan dari dalam untuk mampu melahirkan anak dalam rasa sakit dan tetap mengulangi rasa sakit lagi saat menerima penolakan yang seringkali datang dari anak-anaknya sendiri. Allah memberi wanita kepekaan untuk mencintai anak-anaknya dalam setiap keadaan, bahkan ketika anaknya bersikap sangat menyakiti hatinya.

Sekali lagi, baca tuh judul film ‘Kisah Nyata’ atau ‘Pintu Taubat’-nya Indosiar: “suamiku ternyata juga suami sahabatku”, “anakku menjadi anak mantan istri suamiku” , “aku menikahi mantan suami sahabatku” , “calon suamiku ternyata suami kakakku” , “tetanggaku mantan istri suamiku” dan masih banyak lagi judul film Indosiar yang hanya mampu dijalani dan dipahami oleh wanita.

Allah memberi wanita pelajaran betapa kerasnya kehidupan di dunia, bagaimana harus survive meskipun hidup sendirian. Hawa dipisahkan dengan Adam untuk waktu yang lama. Padahal kita tahu sendiri, yang dididik malaikat pasca penciptaan hanyalah Adam (saat itu Hawa belum tercipta). Namun kenapa Allah ‘tega’ melepaskan Hawa di daratan bumi yang masih belantara dan terpisah jutaan kilometer dengan Adam? semuanya adalah kuasa skenario Tuhan, kewajiban kita adalah mengambil hikmah atas setiap kejadian.  Alasan di atas harusnya mampu memberikan kita kebijaksanaan untuk menyadari bahwa seorang suami yang baik takkan pernah menyakiti isterinya. Ya kalau pun nyakitin ya dikit-dikit sih… sewajarnya aja.  

Bagi saya, lelaki dan perempuan tidak pernah sama. Emansipasi itu ada, setara itu ada, tapi bukan berarti memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ini bukan soal siapa yang lebih tinggi dan siapa yang lebih rendah, namun lebih pada bagaimana cara saling melengkapi dan mewarnai, sehingga bisa saling menghargai satu sama lainnya. Yang lelaki menyayangi wanita dan yang wanita menghormati lelakinya. Selamat hari Kartini ! (69)

* Yanuar Aris Budiarto, kolumnis part time, suami & ayah full time.

Komentar
Related posts
Essai

Sejarah dan Makna Larangan Menyembelih Sapi dalam Dakwah Sunan Kudus

2 Mins read
Dakwah yang dilakukan Sunan Kudus pada saat itu ialah merangkul bukan memukul.
EssaiSufismeteladan

Bahagia Ala Sufi Modern, Buya Hamka

2 Mins read
Dibaca: 244 Kebahagiaan menjadi salah satu hal yang diinginkan oleh setiap insan. Kemanapun gerak langkah kaki, kebahagiaan menjadi tujuan yang tidak bisa…
Essaiopini

Bulan Ramadhan dan Tantangan di Dalamnya

2 Mins read
Dibaca: 175 Oleh: Moh. Haidar Latief Saat ini kita memasuki bulan yang mulia, bulan yang dinantikan kehadirannya oleh seluruh umat Muslim seluruh…

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.