Di akhir bulan Ramadan yang tinggal menghitung hari ini, kita kembali digegerkan dengan beredarnya video di dunia maya yang berisi sekelompok orang yang diduga sebagai pengurus sebuah masjid yang sedang mengusir seseorang yang akan melaksanakan shalat menggunakan masker. Dalam konteks protokol kesehatan saja ini sudah jelas kontra produktif, terlebih ada salah seorang diantara mereka yang dengan percaya diri menyodorkan ayat sebagai pembenaran atas tindakan pengusiran tersebut.
Tentu ini tidak sesederhana kelihatannya, ketika orang-orang mulai berani menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai tameng untuk menjastifikasi tindakan arogansi dan intimidasi supaya kesemenang-menangan mereka dianggap sebuah tindakan yang agamis. Lalu apakah benar penggalan ayat wa man dakhalahu kana amina (di video disebut ayat 96, yang benar ayat 97 surah Ali Imran) yang terekam dalam video benar mengisyaratkan tentang memasuki masjid pasti akan menjadi aman, termasuk terhadap virus covid-19, sehingga dilarang untuk memakai masker di masjid karena dianggap denial terhadap isi al-Qur’an?.
Dalam beberapa literatur tafsir seperti misalnya di kitab Jami’ul Bayan fi Ta’wil al-Qur’an al-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain Jalaluddin al-Suyuthi wa al-Mahalli, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil al-Baidhawi disebutkan bahwa ayat ini sebenarnya sedang membicarakan tentang kota Makkah dan hal-hal yang berkaitan dengan ibadah Haji. Selain itu, perlu diperhatikan dengan seksama bahwa ayat ini sebenarnya masih memiliki munasabah –relevansi— dengan ayat sebelumnya yang juga membicaraan hal sama.
Para mufasir ini sepakat bahwa dhamir “hu” yang ada pada penggalan ayat tadi merujuk kepada masjidil haram (makkah), dan kata “amina” disini ditafsiri aman dari perbuatan-perbutan dosa dan maksiat. sehingga maksud dari wa man dakhalahu kana amina adalah orang-orang yang masuk ke Makkah dijaga keamanannya untuk tidak melakukaan perbuatan-perbuatan tercela, maka ketika kita melaksanakan ibadah haji ada beberapa larangan yang harus kita hindari seperti berburu atau membunuh hewan, mencaci, bertengkar, mengucapkan kata-kata kotor, bahkan memotong kayu dan mencabut rumput juga dilarang ketika sudah masuk ihram.
Di mana keterangan ini masih memiliki munasabah dengan ayat lain (al-Baqarah: 197) yang menyebutkan fa man faradha fihinna al-hajja fala rafatsa wala fusuqa wala jidala fi al-hajj. Penafsiran ini tentu jauh berbeda dengan stigmasi dangkal sebagaimana yang ada dalam video yang tengah beredar tersebut.Masjidil Haram sendiri yang jelas-jelas dirujuk dalam ayat tersebut dan dijamin oleh al-Qur’an aman saja, justru sangat ketat menerapkan protokol kesehatan, memakai masker dan menjaga jarak. Kemudian logika macam apa yang dipakai oleh takmir masjid tersebut ketika melarang para jama’ah memakai masker ketika shalat, bahkan sampai mengusir ketika mereka tidak mau mencopot maskernya. Apakah secara tidak langsung masjid itu diklaim lebih aman daripada Masjidil Haram yang ada di Makkah? Toh sendainya tidak memakai masker sudah diyakini aman, bukannya harusnya memakai masker menjadi lebih aman lagi? Lha ini memakai masker malah dianggap membahayakan. Angel wes.
Berislam tentu saja tidak bisa hanya bermodal hafal beberapa ayat atau hadis dan tahu sedikit terjemahnya, lalu dengan gagah menghakimi sana-sini. Untuk memahami satu ayat saja kita harus tahu perangkat-perangkat penafsiran apa saja yang diperlukan, seperti munasabah, asbab al-nuzul, naskh mansukh, muhkam mutasyabih, qira’at al-Qur’an, dst. Itu pun belum membahas masalah perbedaan pendapat yang ada dalam setiap penjelasan di dalamnya. Sebagaimana kasus video viral ini, konsep al-Quran yufassiru ba’dhuhu ba’dhan –al-Qur’an itu saling menafsiri antara ayat satu dengaan ayat yang lain— juga menjadi hal yang sering diabaikan.
Hal ini disebabkan mereka ini terlalu fanatik dan bersemangat dengan satu ayat tertentu, lalu seolah-olah menafikan adanya ayat-ayat lain yang sebetulnya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi tafsiran ayat satu sama lain. Setelah misalnya kita melewati tahapan-tahapan itu untuk memahami sebuah pemahaman ayat, metode penyampaian yang digunakan pun harus dengan cara yang ma’ruf. Tidak dengan mengumpat, memaksa, meneriaki atau gaya-gaya serampangan lainnya yang justru membuat orang yang sedang kita ajak dialog merasa dipojokkan.
La ikraha fi al-din –tidak ada paksaan dalam beragama—, bahkan untuk hal yang sudah jelas kebenarannya saja kita musti baik dalam penyampaiannya, supaya baik pula dalam penerimaannya. Maka sangat disayangkan, jika untuk hal yang berdasar keegoisan berfikir dan kedangkalan literasi agama bisa-bisanya dipaksakan sedemikian rupa. Oleh karenanya menjadi penting untuk mengimbangi semangat keberagamaan kita dengan pengetahuan keagamaan, semangat tanpa pengetahuan hanya akan berujung pada arogansi, tapi semangat yang didukung dengan pengetahuan yang mumpuni akan berakhir menjadi solusi. Semoga kita umat Islam semakin dewasa dalam merespon tantangan-tantangan zaman, tidak menjadi umat kagetan yang mudah menyalahkan-nyalahkan. Wallahua’lam.
Oleh: Waffada Najiyya