Oleh: Arif Chasanul Muna, Divisi Penguatan Aswaja PP. IKSAB TBS
Riḥlah telah menjadi tradisi para ulama sejak dulu. Riḥlah para ulama utamanya didorong untuk memburu berkah menemui guru, meningkatkan ilmu dan juga untuk menempa diri menjadi pribadi yang luhur dan mumpuni. Tradisi ini menghasilkan khasanah yang bernilai tinggi. Selama melakukan perjalanan, para raḥḥalah (penjelajah) mengamati kota-kota yang disinggahi, termasuk adat dan tradisi. Pengalaman-pengalaman menarik yang mereka alami tidak dilewatkan begitu saja. Mereka menulisnya yang kemudian menjadi kitab mengenai catatan riḥlah.
Tidak seperti Ibnu Bathuthah (w. 779 H.) yang sudah sering kita dengar, nama Ibnu Jubair mungkin masih kurang familier di kalangan sebagian pembaca. Ibnu Jubair hidup satu abad sebelum Ibn Bathuthah, ia – Ibnu Jubair – traveler yang lahir di Valencia, Spanyol pada tahun 540 Hijriah. Kitabnya, Tadzkirah al-Akhbār ‘an Ittifāqāt al-Asfār menjadi bukti kejeliannya memotret kisah-kisah pengembaraanya yang pertama. Namun, kitab tergolong penting, karena menggambarkan tradisi riḥlah ulama masa itu.
Perjalanan Ibnu Jubair sendiri dimulai dari Spanyol saat ia berusia 38 tahun. Tujuan awalnya adalah untuk melaksanakan ibadah Haji ke tanah suci Makkah. Pada bulan Syawal 578 H Ibnu Jubair memulai perjalanan menuju Alexandria dengan menyeberangi lautan, kemudian perjalanan darat menuju Kairo. Ibnu Jubair kemudian menyebrangi Laut Merah menuju ke Makkah dan Madinah. Setelah sekian lama di dua kota suci tersebut, ia menuju Kufah, Baghdad, Mushal, Halab dan tinggal beberapa bulan di Damaskus. Setelah itu, Ibnu Jubair kembali menuju Spanyol. Pengembaraan yang memakan waktu hampir tiga tahun ini berakhir pada Muharram 581 H.
Ibnu Jubair mendeskripsikan kota-kota yang dilaluinya dengan pendekatan sastrawi dan begitu detail. Hingga pembaca terbawa ke masa silam menyusuri keindahan kota (jamāliyah al-makān) dan juga menikmati keunikan peristiwa yang dialaminya hari demi hari.
Di antara peristiwa yang menarik adalah saat Ibnu Jubair hampir sembilan bulan berada di Makkah. Yaitu dari bulan Rabi’ al-Akhir hingga Dzulhijjah 579 H. Saat malam pertengahan bulan Sya’ban atau yang biasa disebut dengan lailah al-nishf min sya’bān. Ibnu Jubair menyaksikan kemeriahan kota Makkah. Penduduk memuliakan malam itu dengan penuh ta’zhīm melakukan amal-amal kebajikan.
Mereka menata Masjidil Haram dan membersihkannya, menggelar tikar untuk shalat dan dzikir. Tidak seperti biasanya, malam itu warga bersukaria menyalakan lilin dan api-api penerang. Malam yang sebenarnya sudah terang dengan rembulan purnama, semakin tambah bercahaya dengan lampu-lampu tradisional yang dipasang di sekitar Ka’bah. Ibnu Jubair mendeskripsikannya dengan indah, “Malam itu Masjidil Haram menjadi tempat berkumpulnya banyak cahaya yang semakin menambah terang ‘cahaya’ tempat yang mulia itu.”
Selain menceritakan keadaan Makkah pada malam itu, Ibnu Jubair juga menerangkan ibadah yang dilakukan pada malam itu. Setelah Shalat Isya, sebagian orang memilih menghabiskan malam tersebut dengan menjalankan shalat sunnah. Sebagian ada yang menunaikan shalat sunnah secara berkelompok. Terdapat tujuh sampai delapan kelompok dengan dipimpin seorang imam. Namun ada juga yang memilih bermunajat menjalankan shalat sunnah sendirian di Hijr Ismail. Sebagian lagi ada yang melaksanakan umrah bahkan ada yang memilih melakukan thawaf.
Sebagaimana para pengikut Mazhab Maliki, yang tidak memperkenankan menyambut malam nisfu sya’ban dengan cara berjamaah. Semua peristiwa tersebut dinamai dengan perayaan agung (iḥtifāl azhīm) menyambut malam mulia.
Dalam riḥlah-nya Ibnu Jubair tidak sendirian. Ia ditemani seorang kawan setia bernama Ahmad ibn Hassan. Pada malam nishfu sya’bān tersebut terjadi peristiwa menarik dan unik yang dialami kawannya tersebut. Ibnu Jubair mencatat peristiwa ini dalam kitabnya dengan penuh antusias.
Malam sudah larut, bahkan sudah hampir fajar. Ahmad ibn Hassan mulai merasa mengantuk. Ia menuju ke teras (mishthabah) yang mengelilingi kubah sumur zamzam. Letaknya berhadap-hadapan dengan arah pintu Ka’bah dan Hajar Aswad. Ahmad ibn Hassan merebahkan tubuhnya di sana untuk menggapai lelap. Saat hendak memejamkan mata, terlihat olehnya seseorang datang lalu duduk di teras, di arah sampingnya.
Orang tersebut lalu membaca al-Qur’an dengan suara merdu dan penuh penghayatan. Ibnu Jubair menggambarkan bacaan orang tersebut sebagai “bacaan yang menumbuhkan rindu dan menyentuh hati” (yaqra’u bi tasywīq wa tarqīq). Indahnya lantunan al-Qur’an itu sanggup menggetarkan hati yang kosong, menyelinap-mengisi relung-relung jiwa dan juga menggugah kesadaran. Kadang orang tersebut sesenggukan dalam tangisan.
Tergetar dengan hal itu, Ahmad ibn Hassan pun tidak jadi tidur karena hanyut dalam kenikmatan. Ia merasa rindunya terobati dan turut tenggelam dalam kekhusyu’an. Setelah sekian lama membaca al-Qur’an akhirnya orang tersebut berhenti lalu pelan-pelan melantunkan qasidah:
إِنْ كَانَ سُوْءُ الفِعَالِ أَبْعَدَنِي * فَحُسْنُ ظّنِّي إِلَيْكَ قَرَّبَنِي
Artinya: Jika buruknya prilaku-(ku) menyebabkan jauh (dari-Mu) * maka prasangka baikku kepada-Mu mendekatkanku (kepada-Mu).
Qasidah pengakuan atas kesalahan dan harapan atas rahmat dan ampunan ini dilantunkan berulang-ulang dengan irama yang sangat menggetarkan hati, mata orang tersebut mulai berlinang, meneteskan butiran-butiran air mata. Suaranya yang asalnya tinggi mulai pelan hingga tak terdengar lagi kemudian ia jatuh tersungkur dan pingsan.
Penggambaran Ibnu Jubair di area suci seputar Ka’bah ini memberikan panorama menarik bahwa orang-orang waktu itu sangat antusias, khusu’ dan bersungguh-sungguh penuh penghayatan dalam menggapai rahmat dan ampunan di malam nishfu sya’bān.
Dalam lintasan sejarah, masyarakat Makkah menghidupkan malam nishfu sya’bān bukan hanya terjadi pada abad ke enam hijriah, saat Ibnu Jubair singgah di sana. Pada masa-masa sebelumnya, secara berkesinambungan masyarakat Makkah juga tercatat melakukan aktifitas tahunan menjelang Ramadhan.
Tiga abad sebelum Ibnu Jubair, seorang sejarawan Makkah, Muhammad ibn Ishaq al-Fakihi (w. 272) menuliskan aktifitas penduduk Makkah pada malam nishfu sya’bān. Ia menulis dalam kitabnya Akhbāru Makkah tentang aktifitas yang dilakukan penduduk Makkah di Masjidil Haram malam itu.
“Penduduk Makkah dari dulu hingga sekarang saat malam nishfu sya’bān, kebanyakan laki-laki dan perempuan melangkahkan kaki menuju Masjidil-Haram. Mereka menjalankan shalat, thawaf dan menghidupkan malam itu hingga Shubuh dengan membaca al-Qur’an di Masjidil Haram hingga mengkhatamkan keseluruhannya. Di antara mereka juga ada yang menjalankan shalat pada malam itu sebanyak seratus rakaat. Setiap rakaat membaca al-Fatihah, dilanjutkan membaca Qul HuwaLlāh sepuluh kali. Pada malam tersebut mereka juga mengambil air zamzam untuk diminum, digunakan untuk mengguyur tubuh, atau dibawa pulang diberikan kepada orang yang sedang sakit. Mereka melakukan ini semua untuk menggapai keberkahan malam tersebut.”
Malam nishfu sya’bān sepanjang sejarah diyakini umat Islam sebagai malam istimewa. Nabi Muhammad – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – sendiri menginformasikan keistimewaan tersebut. Nabi mengatakan bahwa pada malam tersebut pintu rahmat dan ampunan dibuka lebar. Maka, malam itu juga dikenal dengan sebutan lailah al-ghufrān (malam pengampunan dosa) dan lailah al-ijābah (malam dikabulkannya doa). Inilah yang menggugah umat Islam untuk tergerak beribadah secara khusyu’; mengakui dosa, sembari mengharap ampunan dan turunnya rahmat.
Sebagai pengembara yang juga faham ilmu syariah, Ibnu Jubair melihat peristiwa itu sebagai bentuk implementasi sunnah Nabi yang mentradisi (living hadis). Ia mengaitkan keindahan ibadah malam itu, dari inspirasi yang menjadi dasar munculnya tindakan tersebut. Ibnu Jubair mengatakan:
وَهَذه اللَّيْلَة الْمُبَاركَة، أَعْنِي لَيْلة النِّصْف مِنْ شَعْبَان، عِنْدَ أَهْلِ مَكَّة مُعَظَّمَة لِلأثر الْكَرِيْمِ الْوَارِدِ فِيْهَا
“Malam ini, malam pertengahan bulan Sya’ban, bagi penduduk Makkah adalah malam yang diagungkan, karena terdapat hadis mulia yang menjelaskan tentang malam tersebut.”
Menghidupkan malam nishfu sya’bān adalah tradisi yang dari sisi praktik dilakukan turun menurun dari generasi ke generasi, sedangkan dari sisi dalil diyakini bahwa keutamaan malamnya dipesankan sendiri oleh Nabi. Sebagian pihak mungkin mempermasalahkan tingkat kesahihan informasi mengenai keutamaan nishfu sya’ban yang dijadikan dasar itu, namun cukup kiranya penjelasan al-Mubārakfūrī (w. 1353 H.) pengarang Tuḥfah al-Aḥwādzī bi Syarḥ Jāmi’ al-Tirmdzī berikut ini menjadi pertimbangan,
اعْلَمْ أنَّه قَدْ وَرَدَ فِي فَضِيلة لَيْلَة النِّصْف مِنْ شَعْبان عِدَّة أَحَادِيْث مَجْمُوْعُهَا يَدُلَّ عَلَى أَنَّ لـَهَا أَصْلاً
“Ketahuilah, terdapat banyak hadis yang menerangkan mengenai keutamaan malam pertengahan bulan Sya’ban. Gabungan sekian banyak hadis tersebut menunjukkan bahwa informasi itu memang ada sumber asal yang dapat dipertanggungjawabkan.”
Setelah menyebutkan beberapa hadis mengenai keutamaan malam nishfu sya’bān, al-Mubārakfūrī juga menegaskan:
فَهذه الأَحَادِيث بـِمـَجْمُوعِهَا حُجَّةٌ عَلى مَنْ زَعَمَ أنه لَم يَثْبُت فِي فَضِيلة ليلةِ النِّصْفِ مِنْ شَعبان شيءٌ
“Hadis-hadis ini keseluruhannya menjadi jawaban bagi orang yang mengira bahwa tidak ada dalil yang kokoh mengenai keutamaan malam nishfu sya’bān.”
Kitab rihlah Ibnu Jubair, mengungkapkan bahwa bentuk ibadah untuk menghidupkan malam nishfu sya’bān memang sangat beragam. Teknis dan aturan pelaksanaannya sebenarnya telah dijelaskan oleh para ulama ahli fikih. Di antaranya oleh Sayyid Muḥammad ibn ‘Alawi al-Māliki (Makkah), Syaikh Muḥammad Zaki Ibrāhīm (Mesir), dan Syaikh ‘Abd al-Fattāḥ Quddaisy al-Yāfi’ī (Yaman).
Selain semangat menggapai ampunan, di malam itu juga menjadi semangat mengikis nafsu permusuhan dan kebencian. Salah satu hadis yang menerangakan keutaman malam nishfu sya’bān menyebutkan bahwa Nabi Muhammad – shallallāhu ‘alaihi wa sallam – mengingatkan:
إِنَّ الله لَيَطَّلِع فِي ليلة النِّصْف مِنْ شَعْبَان فَيَغْفِر لـِجَمِيْع خَلْقِهِ إِلا لـِمُشرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ
“Sesungguhnya pada malam pertengahan bulan Sya’ban, Allah – subḥānahu wa ta’ālā – mengampuni dosa semua makhluknya, kecuali orang yang menyekutukan-Nya atau orang yang di hatinya dipenuhi rasa permusuhan.” (HR Ibnu Majah melalui jalur Sahabat Abu Musa al-Asy’ari).
Penyikapan terhadap perbedaan juga telah dijelaskan oleh para alim tersebut. Harapannya tentu perbedaan pandangan fikih yang ada tidak berubah menjadi api permusuhan dan perpecahan. Para Ulama bersikap proporsional atas perbedaan pandangan terkait ibadah malam nishfu sya’bān ini. Hal tersebut diupayakan karena mereka sangat mafhum.
Sikap bijak dalam menghadapi perbedaan juga nampak jelas dalam catatan riḥlah Ibnu Jubair yang dengan apik memotret ragam ibadah yang dilakukan di area Masjidil Haram sesuai dengan keyakinan masing-masing. Meski mereka berbeda namun tetap saling menghargai.
Baca tulisan tentang Ruwah atau
tulisan Arif Chasanul Muna lainnya.